Pernikahan Muhallil
nu.or.id

Pernikahan Muhallil

Oleh: Mahdum Kholid al Asror

Masyarakat Arab jahiliyah tidak memiliki batas maksimal dalam menjatuhkan talak. Terkadang seorang suami menjatuhkan talak pada istrinya kemudian merujuknya kembali. Suami ingin menyakiti istri maka dia menceraikannya dan sebelum habis masa iddah dia segera merujuk, kemudian menjatuhkan talak lagi, begitu seterusnya. Maka Allah menurunkan ayat dalam al-Baqarah 229-230 yang melarang menyakiti wanita melalui talak.

Urwah menceritakan dari ayahyahnya, “ketika seorang lelaki menceraikan istinya, kemudian merujuknya kembali sebelum habisnya masa iddah, maka wanita itu kembali menjadi istrinya walaupun dia menceraikannya seribu kali. Seorang suami berangkat menemui istinya kemudian menceraikannya, kemudian dibiarkan sampai hampir habis masa iddahnya, setelah itu wanita itu dirujuk kembali, dan di taceraikan lagi. Lelaki itu berkata: demi Allah aku tidak akan tinggal bersamamu, juga tidak akan melepaskanmu untuk selamanya”.

Ayat dalam surat al-Baqarah 229-230 menjelaskan bahwa talak raj’i, sebagaimana yang tersirat dalam ayat “wal muthallaqâtu yatarabbashna” dapat dilakukan dua kali. Ketika talak telah dijatuhkan, suami diberikan dua alternatif, dia boleh merujuk kembali dengan cara yang baik (ma’ruf) yaitu dengan niat yang baik untuk melanggengkan hubungan perkawinan dan bergaul dengan cara yang baik, atau melepaskan dengan cara yang baik (ihsan) yaitu dengan membiarkannya sampai habis masa iddahnya dengan tanpa terzalimi.

Kemudian ketika suami telah menjatuhkan talak tiga kali, maka wanita yang ditalak tersebut menjadi haram baginya sampai wanita tersebut menikah dengan lelaki lain dengan pernikahan yang sah dengan tujuan membangun keluarga yang abadi, bukan pernikahan yang sekedar diniatkan untuk muhallil agar suami pertama bisa kembali kepada istrinya. Penjelasan tersebut merupakan interpretasi dari ayat “hattâ tankiha zaujan ghairah”.

Selain itu suami kedua harus menyetubuhi perempuan tersebut dengan persetuhuhan hakiki dengan cara yang sah. Pemahaman tersebut berdasarkan pada hadis Rasulullah:

أَخْبَرَنِى عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ امْرَأَةَ رِفَاعَةَ الْقُرَظِىِّ جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ e فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَنِى فَبَتَّ طَلاَقِى، وَإِنِّى نَكَحْتُ بَعْدَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ الْقُرَظِىَّ، وَإِنَّمَا مَعَهُ مِثْلُ الْهُدْبَةِ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ e )لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِى إِلَى رِفَاعَةَ، لاَ، حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ وَتَذُوقِى عُسَيْلَتَهُ( )رواه البخاري(

Telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Aisyah telah mengabarkan kepadanya bahwa istri Rifa’ah al-Qurazhi datang menghadap Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Rifa’ah telah menceraikanku dan memutus perceraian denganku (talak tiga). Setelah itu aku pun menikah dengan Abdurrahman bin az-Zubair al-Qurazhi, dan ternyata kelelakiannya hanyalah seperti ujung kain (tidak mampu menyetubuhiku).” Rasulullah SAW pun bersabda: “Sepertinya kamu ingin kembali rujuk dengan Rifa’ah, tidak, hingga laki-laki kedua merasakan madumu dan kamu pun merasakan madunya.” (HR. Bukhari).

Jika suami kedua menceraikan wanita tersebut, suami pertama boleh kembali menikahinya setelah masa iddah berahir dengan akad yang baru.

Keduanya dinilai baik menjalin hubungan pernikahan kembali selama memiliki dugaan memiliki kemampuan melaksanakan hak-hak Allah dan melaksanakan kewajiban kepada pasangannya dengan penuh amanah dan ikhlas. Namun sebaliknya jika keduanya memiliki dugaan ketika mereka kembali membangun rumah tangga maka keduanya akan kembali pada kondisi sebelumnya, suami akan menyakiti istri, istri akan nusyuz, maka rujuk adalah sesutu yang tercela.

Sedangkan pernikahan at-tahlîl al-muaqqat (muhallil terbatas waktu), yaitu pernikahan yang dilakukan dengan tujuan menyela seorang wanita agar dia kembali menikah dengan suami pertamanya, dengan syarat yang disepakati dalam akad dan disertai dengan niat, maka pernikahan tersebut merupakan sebuah kemaksiatan yang pelakunya dilaknat oleh syarak. Pendapat diatas dianut oleh imam Malik, Ahmad, Stauri dan Dzahiriyah. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah pernikahan muhallil hukumnya sah namun makruh selama tidak disyaratkan dalam akad.

Pendapat pertama dinilai lebih sahih dan lebih baik diikuti karena banyak hadis yang melarang pernikahan muhallil. Imam Ibnu Katsir setidaknya menyebutkan tujuh hadis yang melarang pernikahan muhallil, diantaranya adalah hadis diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud berkata:

 لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ e الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ. )رواه ابن ماجه(

“Rasulullah SAW melaknat lelaki yang menjadi muhallil dan muhallal lah” (HR. Ibnu Majah).

Hikmah dari syariat di atas adalah, untuk mencegah suami-istri mengabaikan hak-hak suami istri dan mencegah mereka untuk menyepelekan urusan talak. Lelaki yang memiliki tabiat mulia dan jiwa yang terhormat, ketika mengetahui bahwa istri yang tertalak tiga tidak halal lagi baginya kecuali setelah istri tersebut digauli oleh pria lain, maka dia tidak akan mudah menjatuhkan talak, tidak tergesa-gesa, tidak gegabah dan berusaha memecahkan masalah rumah tangga dengan jalan musyawarah dan memperbaiki hubungan dengan pasangan secara bijaksana.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *