Oleh: M.S Arifin
Jika kita berbicara eksistensialisme mau tidak mau kita akan teringat nama Sartre, meskipun jika dirunut dengan teliti justru bukan dirinya yang memulai mazhab ini. Kita akan mengenal para pendahulu seperti Kierkegaard, Nietzsche, dan Heidegger. Jika lebih spesifik lagi, yaitu eksistensials-humanis, mau tidak mau kita harus mengingat nama Sartre, karena pada tahun 1954 ia menerbitkan buku yang sebelumnya berupa naskah seminar yang berjudul “Eksistensialisme dan Humanisme”. Buku ini menegaskan sekali lagi (setelah Being and Nothingness) mazhab Sartre sebagai eksistensialis, sekaligus mendakukan mazhab ini sebagai bagian dari humanisme. Di buku ini juga Sartre secara terang-terangan mengakui bahwa eksistensialisme yang ia usung adalah eksistensialisme ateis.
Sesungguhnya pertanyaan yang saya ajukan di judul sudah dijwab oleh Sartre sendiri ketika ia membedakan dua jenis eksistensialisme. Pertama, eksistensialis Katolik (yang diwakili oleh Karl Jaspers dan Kierkegaard). Kedua, eksitensialis ateis (yang diwakili oleh Nietzsche, Heidegger, dan tentu, Sartre sendiri). Tetapi justru dari sini saya ingin mempertanyakan lebih lanjut: apakah mungkin orang bisa menjadi radikal seperti layaknya eksistensialis ateis tetapi tetap mempertahankan keyakinannya kepada Tuhan? Sebelum itu tentunya kita harus mengetahui lebih dahulu apa bentuk-bentuk keradikalan yang telah dicapai oleh eksistensialis ateis.
Eksistensialisme pada mulanya berbicara tentang manusia yang selalu punya pilihan dalam kehidupan ini. Berbeda dari benda-benda korporeal yang tidak punya pilihan atas hidupnya, manusia adalah satu-satunya makhluk yang sudah dari sononya punya pilihannya sendiri. Memang manusia itu sama dengan benda dalam hal: ia terlempar begitu saja ke dunia. Tetapi setelah keterlemparan itu, manusia bisa menentukan esensinya sendiri—yang mana tidak dipunyai oleh benda-benda itu. Inilah apa yang sering diganungkan oleh eksistensialisme, yaitu, ‘eksistensi mendahului esensi’.
Keradikalan seperti ini berbeda dari eksistensialis agamis yang menerjemahkan manusia dengan pretensi-pretensi transeden yang sudah selalu dipunyainya bahkan semenjak ia belum dilahirkan ke dunia. Dalam Islam sendiri, kita mengenal perjanjian antara Tuhan dengan hamba-Nya yang termaktub di dalam Al-Quran yang berbunyi: “Bukankah aku adalah Tuhanmu?” Dan manusia menjawab: “Tentu, dan kami bersaksi atas itu.” (liha Q.S. Al-A’raf: 17). Manusia sudah selalui terdefinisikan memiliki esensi bawaan sebagai hamba Tuhan, dilahirkan ke dunia tidak lain adalah untuk menyembah dan berbakti kepada-Nya.
Eksistensialisme yang dikaitkan dengan humanisme menurut versi ateis adalah tidak adanya “suatu esensi universal yang dapat disebut sebagai sifat atau watak manusia, ada yang namanya ‘kondisi’ manusia yang universal”. Yang ingin ditemukan oleh eksistensialis adalah kondisi universal manusia dan bukan esensi universal. Dan konsisi adalah sesuatu yang dinamis, selalu bergerak dari suatu tolakan dan berakhir di satu titik untuk kemudian menjadikan titik itu sebagai tolakan lagi untuk mencapai titik yang lain lagi.
Pendek kata: manusia adalah sebuah proses, atau dalam bahasa Sartre, manusia adalah apa yang ia perbuat. Berbeda dari eksistensialis agamis yang sudah selalu mencari dan mendapatkan jawaban memuaskan dari agama bahwa manusia memiliki esensi universal yang bisa dijadikan definisi pungkas siapa manusia itu. Dalam kaitannya dengan Tuhan, manusia adalah seorang hamba yang harus tunduk terhadap semua perintah-Nya. Sementara itu, eksistensialis ateis justru menganggap bahwa Tuhan adalah penghalang manusia untuk memilih kebebasannya. Sastre sendiri berkata: “Manusia adalah kebebasan.” Adanya Tuhan justru membatalkan ‘kondisi’ universal kebebasan manusia ini.
Nah, setelah panjang lebar, barulah kita boleh bertanya: apakah mungkin menjadi eksistensialis-humanis tapi tetap percaya adanya Tuhan?
Berkaitan dengan esensi yang diterjemahkan oleh agama untuk menggambarkan kedudukan manusia di dunia, kita hampir tidak mungkin untuk mendamaikannya dengan tesis eksistensialis ateis yang berpendapat bahwa eksistensi mendahului esensi. Tetapi kita bisa menggali motif kenapa agama berkata sebaliknya. Esensi keberadaan manusia di dunia adalah ‘kondisi’ universal dan bukan ‘esensi’ universal. Kenapa demikian? Kita mesti berangkat dari satu tesis bahwa iman itu tidak statis. Iman yang dipeluk oleh manusia tidak bersifat transenden dan di luar jangkauan kehidupan sehari-hari manusia.
Manusia eksistensialis bisa menjadi bebas dengan anggapan bahwa iman dia adalah hasil dari pilihannya sendiri, entah pilihan yang naif maupun pilihan yang berdasarkan pijakan tertentu. Iman yang dinamis menjadikan manusia yang eksistensinya (dalam perngertian yang paling asali) mendahului esensinya bisa berproses dalam kondisi apa pun. Iman adalah konsisi yang bergesekan dengan waktu dan tempat. Dari sini kita punya makna lebih daripada makna yang diungkapkan oleh teologi (Islam) soal iman yang bertambah dan berkurang—yang diperdebatkan berabad-abad itu. Iman yang dinamis berarti suatu kondisi penghayatan keimanan yang berkait-kelindan dengan waktu dan tempat yang lebih bersifat sosial daripada personal.
Berkaitan dengan kebebasan manusia yang mutlak yang diagungkan oleh eksistensialis ateis, kita bisa dan mungkin sangat bisa mendamaikannya dengan eksistensialis agamis. Di dalam dunia ini tidak ada kebebasan yang mutlak, karena tidak ada satu kondisi pun yang mutlak atau absolut yang memungkinkan manusia untuk menanggalkan kemanusiaannya. Kebebasan manusia untuk memilih selalu berkaitan dengan pilihan yang tersedia untuk ia pilih. Di antara banyak pilihan yang selalu terbatas, memang manusia punya pilihan untuk tidak memilih. Tetapi pilihan untuk tidak memilih adalah juga satu kondisi yang tidak mutlak.
Ketidak-mutlakan itu ditunjukkan dengan adanya pra-kondisi sebelum memilih yang lebih banyak menyetir pilihan manusia atas segala sesuatu. Pilihan moralitas yang sangat pelik biasanya menuntut kita ke titik untuk memilih berdasarkan pra-kondisi manusia daripada kondisi yang sudah selalu diterjemahkan oleh pengalaman berkehidupannya. Jadi, eksistensialis agamis pun sesungguhnya tak pernah merasa tidak-bebas kecuali pada taraf psikologis, tidak ontologis-filosofis.
M.S Arifin. Alumnus Universitas Al-Azhar Mesir