Menikahi Wanita yang Berzina
inilah.com

Menikahi Wanita yang Berzina

Allah telah berfirman dalam surat an-Nur ayat 3:

اَلزَّانِيْ لَا يَنْكِحُ اِلَّا زَانِيَةً اَوْ مُشْرِكَةًۖ وَّالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَآ اِلَّا زَانٍ اَوْ مُشْرِكٌۚ وَحُرِّمَ ذٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ ۝٣

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin”.

Banyak riwayat mengenai asbabun nuzul ayat di atas. Menurut imam an-Nasa’i dari Abdullah bin Umar berkata: Ada seorang wanita bernama Ummu Mahzûl, dia adalah seorang pezina. Salah seorang sahabat Nabi ingin menikahinya, maka Allah menurunkan ayat di atas.

Menurut penjelasan para mufasir, ketika sahabat Muhajirin datang ke Madinah, di antara mereka adalah orang-orang fakir yang tidak memiliki harta. Sementara di Madinah ada beberapa wanita pelacur yang menyewakan dirinya. Pada masa itu, mereka adalah kelompok yang paling kaya di Madinah. Maka sebagian kaum muhajirin yang miskin menginginkan pendapatan mereka. Mereka berkata, “Jika kami menikahi mereka, maka kami bisa hidup bersama dengan mereka, sehingga Allah mencukupi kebutuhan kami melalui mereka”. Mereka kemudian meminta izin Nabi terkait hal tersebut. Maka turunlah ayat di atas yang mengharamkan menikah wanita pelacur, untuk menjaga kaum muslimin dari perbuaan tersebut.

Para mufassir memiliki pendapat yang beragam mengenai interpretasi ayat di atas, ada yang berpendapat bahwa ayat tersebut diturunkan menjelaskan sebagian orang yang meminta izin kepada Nabi SAW untuk menikahi wanita musyrikah yang dikenal sebagai tukang zina. Mereka adalah wanita-wanita yang memasang tanda bendera di atas pintu rumah (ashhâbu rayât) dan menyewakkan diri mereka. Maka Allah mengharamkan mereka untuk kaum muslimin. Dari latar asbab nuzul tersebut dapat diketahui bahwa lelaki muslim yang berzina tidak boleh menikah kecuali dengan wanita pezina atau wanita musyrikah, karena mereka memiliki kesamaan dengan lelaki tersebut. Sedangkan wanita yang berzina dari para pelacur tidak boleh menikah kecuali dengan lelaki muslim yang berzina, atau lelaki musyrikin, atau lelaki muyrik yang sama dengannya, sebab mereka adalah wanita-wanita musyrikah.

Setidaknya ada enam pendapat berbeda dari para ulama dalam mentakwil ayat di atas, salah satunya adalah pendapat yang diriwayatkan imam Malik dari Yahya bin Sa’id dari Sa’id bin Musayyab, menurut beliau ayat “az-zâni lâ yankihu illâ zâniyatan au musyrikatan, wazzaniyatu lâ yankihuhâ illâ zânin au musyrik” sinasakh dengan ayat setelahnya, yaitu “wa ankihul ayâma minkum” (an-Nur: 32). Ibnu ‘Amr menambahkan, “wanita pezina termasuk dalam kategori wanita-wanita yang ayâm (orang-orang yang sedirian) dari kaum muslimin.

Pendapat Sa’id bin Musayyab merupakan pendapat mayoritas ulama, sehingga jika ada lelaki yang berzina dengan seorang wanita, maka dia boleh menikahinya, atau orang lain juga boleh menikahinya. Pendapat ini diikuti oleh Ibnu Umar, Salim, Jabir bin Zaid, Atha’, Thawus, Malik bin Anas, Abu Hanifah dan paa muridnya. Imam Syafi’i juga menegaskan, “pendapat yang benar mengenai wanita yang berzina sesuai dengan pendapat Sa’id bin Musayyab, dan insyaallah ayat di atas merupakan ayat yang dinasakh”.

Sementara dalam diskursus fiqih dijelaskan, sah menikahi wanita pezina, apabila yang menikahi adalah pria yang berzina dengannya. Setelah pernikahan pria tersebut boleh langsung berhubungan badan dengannya, baik wanita tersebut hamil atau tidak. Pendapat ini disampaikan oleh ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah, alasannya adalah karena tidak ada kemuliaan atas kehamilan dari hubungan zina.

Sedangkan ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat, pria tersebut tidak boleh menikahi wanita tersebut sampai dirinya melakukan istibra’ (membersihkan) rahimnya dari sperma “kotor” dari lelaki yang berzina dengan dirinya. Istibra’ tersebut dilakukan demi menjaga agar tidak terjadi percampuran antara sperma yang “halal” dan yang “haram”.

Apabila yang akan menikahi adalah lelaki lain, yang tidak berzina dengannya dan wanita tersebut tidak hamil, maka diperbolehkan menikahinya dan menyetubuhinya seketika. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah, Abu Yusuf dan ulama Syafi’iyah.

Sedangkan menurut Muhammad dari kalangan Hanafiyah, perempuan yang berzina (al-mazni biha) boleh dinikahi namun makruh berhubungan badan dengannya sebelum dia melakukan istibra’ dengan satu kali haid, karena ada kemungkinan dia telah hamil dari hubungannya dengan zâni (lelaki yang berzina dengannya).   

Ulama Malikiyah dan Ahmad bin Hanbal berpendapat, wanita tersebut tidak boleh dinikahi kecuali setelah melakukan iddah. Tujuan dari iddah adalah untuk mengetahui bersihnya rahim, selain itu ketika nikah dilakukan sebelum iddah, maka ada kemungkinan wanita tersebut hamil, sehingga pernikahan tersebut batal, seperti halnya wanita yang disetubuhi karena syubhat.

Jika wanita tersebut telah hamil maka sah menikah dengannya, dan haram menyetubuhinya sampai melahirkan. Penjelasan ini perupakan pendapat Abu Hanifah dan Muhammmad. Dasarnya adalah sabda Nabi Muhammad SAW:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلا يَسْقِي مَاءَهُ وَلَدَ غَيْرِهِ ) رواه الطبراني(

Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka dia tidak boleh menyiramkan airnya pada anak (janin) orang lain”. (HR. Thabrani)

Menurut Syafi’iyah, boleh menikahi wanita tersebut dan menyetubuhinya jika yang menikahi adalah lelaki yang tidak berzina dengannya, sebagaimana diperbolehkan apabila yang menikahi adalah lelaki yang berzina dengannya, karena tidak ada kemulyaan dari hamil hasil zina.

Menurut Ahmad bin Hanbal dan Abu Yusuf, tidak sah menikah dengan wanita pezina yang hamil, karena memuliakan kehamilan tersebut, sebab wanita yang hamil tidak dihukum pidana. Dan tidak boleh menyetubuhinya sampai melahirkan. Jika dilarang menyetubuhi, berarti dilarang melakukan akad nikah. Juga tidak halal menikahinya sampai dia melahirkan.

Selain harus menjalani iddah, ulama Hanabilah mensyaratkan bagi wanita pezina yang akan menikah, mereka harus terlebih dahulu melakukan pertaubatan dari dosa zina.

Kesimpulan dari ayat di atas adalah, jika mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa ayat 3 dalam surat an-Nur adalah muhkamah, maka tidak boleh menikahi wanita yang berzina sekalipun yang menikahi adalah lelaki yang berzina dengannya, kecuali jika mereka telah bertaubat. Beberapa ulama salaf seperti sayyidina Ali, Aisyah, Barra’, dan Ibnu Mas’ud berpendapat, orang yang berzina dengan seorang wanita, atau wanita tersebut berzina dengan orang lain, maka orang tersebut tidak halal menikahinya. Ali mengatakan, “jika seorang lelaki berzina, maka dia dan istrinya dipisahkan. Dan jika seorang istri berzina maka dia dan suaminya dipisahkan”. Dasar dari pendapat mereka adalah karena khabar dalam ayat “az-zâni lâ yankihu” bermakna nahi. Dasar lainnya adalah hadis:

 قال النبي e: لا يدخل الجنة دُيّوث)  أبي داود الطيالسي(

Nabi SAW bersabda: “Tidak masuk surga seorang duyyuts (orang yang mengetahui keluarganya melakukan perbuatan tercela, namun dia tidak cemburu)”. (HR. Abu Dawud at-Tayalitsi).

Jika mengikuti pendapat yang mengatakan mansukhah atau hanya berlaku pada orang-orang yang menjadi sabab nuzul ayat, maka diperbolehkan menikahi wanita yang berzina dengan ketentuan sebagaimana dijelaskan di atas dengan berbagai perbedaan pendapat antar mazhab.

Wallahu a’lam bis shawab.

2 Comments

  1. Bagaimana korelasi nya di masyarakat Gus, pendapat mana yang paling banyak berlaku?

  2. Mahdum

    Masing² pendapat punya argumennya sendiri Gus, hukum kita identik dengan Mazhab Syafi’i. Sesuai dengan KHI yg di anut di Indonesia, diperbolehkan pria yg menghamili wanita diluar nikah untuk menikahi wanita tsb, walaupun masih dalam keadaan hamil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *