Dalam beberapa tahun terakhir, diskursus moderasi beragama (MB) tampak menyeruak dan bergulir begitu masif dalam konteks keagamaan di Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya berbagai seminar, kajian, workshop, dan publikasi berbagai karya ilmiah seperti jurnal dan buku yang banyak membincang moderasi beragama. Tak hanya itu, media massa juga tak luput menyajikan tema-tema yang secara khusus mengulas moderasi beragama.
Apa itu moderasi beragama dan mengapa moderasi beragama? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu terlebih dahulu menjawab bertanya? Apa yang melatarbelakangi lahirnya diskursis moderasi beragama di Indonesia? Sebab, diskursus ini baru lahir dan menjadi wacana publik yang begitu intens dalam kurun waktu empat tahun terakhir dan tidak terdengar secara masif pada tahun-tahun sebelumnya.
Dalam konteks Indonesia, awal mula bergulirnya diskursus moderasi beragama ketika pada tahun 2019 pemerintah membuat agenda program Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan. Melalui program itu, moderasi beragama dicanangkan dalam sub Prioritas Nasional keempat dalam apa yang disebut sebagai RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024.
Dalam RPJMN itu, MB diturunkan ke dalam lima kegiatan prioritas yang mencakup; pertama, penguatan cara pandang, sikap, dan praktik keagamaan jalan tenga. Kedua, penguatan harmoni dan kerukunan umat beragama. Ketiga, penguatan relasi agama dan budaya. Keempat, peningkatan kualitas pelayanan kehidupan beragama, dan kelima, pengembangan ekonomi dan sumberdaya keagamaan.
Melalui RPJMN itulah, diksursus MB mulai menggelora di gelanggang sosial dan keagamaan tanah air. Jika dilihat dari cakupan kegiatan prioritas di atas, dan posisi trategis MB dalam keseluruhan tata kelola pemerintahan, tampak jelas bahwa gagasan MB akan mempengaruhi langgam dan gerak kehidupan keagamaan di tanah air. Jika dicermati, tampak pula bahwa suasana kehidupan keagamaan dalam beberapa tahun terakhir ini banyak dipengaruhi oleh diskursus ini.
Lahirnya MB sebagai program yang dicanangkan pemerintah sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dan tren yang terjadi secara global. Bahkan PBB pun merasa perlu untuk menetapkan tahun 2019 sebagai International Year of Moderation. Dua tahun sebelumnya, inisiasi Gerakan Global Moderasi juga telah dikumandangkan di PBB dan menghasilkan draft resolusi berjudul “Moderasi” pada tahun 2017.
Diskursus moderasi secara global ini terjadi salah satu tujuannya adalah untuk membendung arus gerakan-garakan radikal dan terorisme yang sedang melanda dunia, khususnya terkait gejolak agama dan sosil politik yang terjadi di Timur Tengah. Gerakan-gerakan radikal secara global juga banyak mempengaruhi Indonesia, sebab banyak organisasi Islam transnasional yang masuk ke negeri ini. Sehingga membuat pemerintah merasa penting untuk menggalakkan program moderasi, baik sebagai upaya menangkal radikalisme, maupun untuk memupuk paradigma moderasi dalam konteks beragama dan keberagamaan di Indonesia.
Mengapa Moderasi Beragama?
Menurut Lukman Hakim Saifuddin (Moderasi Beragama, 2019), yang juga merupakan penggagas program MB, bahwa moderasi beragama merupakan cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama. Bila dikaitkan dengan sikap beragama, maka MB adalah upaya mengurangi kekerasan, atau menghindari ekstrema dalam praktik keagamaan.
Mengapa moderasi beragama itu penting? Jawabannya adalah karena keragaman dalam beragama itu niscaya, tidak mungkin dihilangkan. Ide dasar moderasi adalah untuk mencari persamaan dan bukan mempertajam perbedaan. Jika dielaborasi lebih lanjut, setidaknya ada tiga alasan utama mengapa kita perlu moderasi beragama;
Pertama, salah satu esensi kehadiran agama adalah untuk menjaga martabat manusia sebagai makhluk mulia ciptaan Tuhan, termasuk menjaga untuk tidak menghilangkan nyawanya. Itulah mengapa setiap agama selalu membawa misi damai dan keselamatan.
Kedua, ribuan tahun setelah agama-agama lahir, manusia semakin bertambah dan beragam, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, beraneka warna kulit, tersebar diberbagai negeri. Seiring dengan perkembangan dan persebaran umat manusia, agama juga turut berkembang dan tersebar. Karya-karya ulama terdahulu yang ditulis dalam bahasa Arab tidak lagi memadai untuk mewadahi seluruh kompelsitas persoalan kemanusiaan.
Teks-teks agama pun mengalami multitafsir, kebenaran menjadi beranak pinak, sebagian pemeluk agama tidak lagi berpegang teguh pada esensi dan hakikat ajaran agamanya, melainkan bersikap fanatik pada tafsir kebenaran versi yang disukainya, dan terkadang tafsir yang sesuai dengan kepentingan politiknya. Konteks inilah yang menyebabkan pentingnya moderasi beragama.
Ketiga, khususnya dalam konteks Indonesia, MB diperlukan sebagai strategi kebudayaan kita dalam merawat keindonesiaan. Sebagai bangsa yang heterogen, sejak awal para pendiri bangsa sudah berhasil mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang telah nyata berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya.
Dalam Islam sendiri, paradigma moderasi beragama terwujud dalam istilah wasathiyyah, yang artinya tengah-tengah, adil, baik, dan ada di antara dua ujung. Al-Qur’an banyak menyebut kata wasathiyyah dalam berbagai bentuk, tetapi intinya mengacu pada satu pemahaman, yakni moderasi atau moderat.
Melalui pemahaman di atas, kita menjadi tahu bahwa MB dirumuskan sebagai salah satu upaya untuk membangun paradigma keagamaan yang lentur dan luwes dengan menghindarkan sikap ekstrem dalam beragama. Ekstrem di sini maksudnya adalah ekstrem kiri dan kanan, di mana kiri artinya liberal dan kanan adalah konservatif. Keduanya sama-sama dianggap berbahaya dalam pengamalan agama di ranah individu maupun sosial.
Namun demikian, sebagai sebuah program yang dicanangkan oleh negara, aplikasi atau penerapan program MB tidak mulus sebagaimana yang dibayangkan. Beragam tanggapan muncul di lapisan masyarakat, ada yang sepenuhnya setuju, ada yang setuju dengan sedikit koreksi, ada pula yang menolak sepenuhnya program MB ini.
Di antara kelompok yang setuju perpendapat bahwa program MB ini penting sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan di masyarakat. Seperti kita tahu bahwa kasus-kasus kekerasan atas nama agama sering terjadi di Indonesia, mulai dari persekusi, swipping, hingga aksi-aksi terorisme. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan, sehingga kehadiran negara sangat diperlukan di dalam menjamin ketertiban dan keamanan.
Kelompok yang setuju tetapi memberi sedikit koreksi biasanya berasal dari kelompok-kelompok Islam yang lebih formalistik dan terlalu ketat menjaga syariat agama. Misalnya seperti Muhammadiyah dan Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA). Salah satu indikator seseorang berparadigma MB adalah akomodatif terhadap budaya lokal, nah pada sisi inilah mereka yang tidak mau mengakomodasi budaya lokal menolak keras bila disebut tidak moderat. Sehingga, mereka menyatakan dirinya moderat tetapi tidak mau mengadaptasi praktik-praktik budaya yang dianggap tidak sejalan dengan Islam. Hal ini berbeda dengan organisasi NU yang menerima sepenuhnya program MB sebagai upaya untuk mewujudkan harmoni agama di Indonesia.
Semantara itu, kelompok yang secara total menentang keras program MB adalah dari kalangan akademisi. Menurut mereka, program moderasi beragama yang dicanangkan pemerintah merupakan bentuk intervensi negara terhadap penganut agama di Indonesia. Maksudnya, secara konstitusional, negara harusnya menjamin kebebasan warga negara di dalam memilih dan mengekspresikan agamanya, bukan malah ikut campur terhadap ekspresi keagamaan seseorang seperti dalam program MB ini.
Program MB ini tidak hanya dianggap sebentuk intervensi negara terhadap umat beragama, tetapi juga dalam beberapa hal dianggap melanggar HAM, yakni asas-asas kebebasan dalam menjalankan praktik-praktik keagamaan.
Terlepas dari itu semua, dalam perspektif apapun, paradigma MB sangatlah penting menjadi pedoman setiap warga negara agar ia dapat beragama sesuai dengan kaidah-kaidah yang benar. Semua agama sendiri mengajarkan misi moderasi, sehingga bila seseorang beragama tetapi malah melakukan kekerasan dan pemaksaan, maka sebetulnya ia telah keluar dari esensi agama itu sendiri. Apalagi, berbagai kasus kekerasan atas nama agama banyak terjadi di negeri ini, yang seringkali menjadi momok yang sangat menakutkan bagi segenap pemeluk agama.