Tiga Cara Wahyu Turun kepada Para Rasul
liputan6.com

Tiga Cara Wahyu Turun kepada Para Rasul

Manna’ al-Qaththan dalam Mabahits fi Ulumil Qur’an menjelaskan, secara bahasa wahyu adalah masdhar (infinitif) yang memiliki dua makna dasar, yaitu al-khafa’ (samar) dan as-sur’ah (cepat). Dari segi etimologi, wahyu dapat diartikan dengan pemberitahuan yang samar, yang cepat, dan bersifat spesifik bagi yang diberi tahu, sehingga yang lain tidak mengetahuinya.

Wahyu secara etimologi mencakup beberapa makna, yaitu:

Pertama, al-ilham al-fithri li al-insan (ilham yang bersifat fitrah bagi manusia), sebagaimana firman Allah:

وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ

dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia…”.” (Q.S. al-Qashash [28] : 7)

Kedua, al-ilham al-gharizi li al-hayawan (iham yang bersifat insting bagi hewan), sebagaimana firman Allah:

وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ

dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”. (Q.S. An-Nahl [16] : 68).

Ketiga, al-isyaarah as-sarii’ah ala sabiili ar-ramzi wa al-iihaa’ (isyarat yang cepat dengan memberikan anjuran dan saran), sebagaimana firman Allah:

فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ مِنَ الْمِحْرَابِ فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ أَنْ سَبِّحُوا بُكْرَةً وَعَشِيًّا

Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.” (Q.S. Maryam [19] : 11)

Keempat, waswasatu as-syaithaan wa tazyiinuhu asy-syar fii nafsi al-insaan (bisikan setan dan dia menghiasi keburukan dalam diri manusia), Allah berfirman:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا…

dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)…” (Q.S. Al-An’am [06] : 112)

Kelima, maa yulqiihillahu ila malaaikatihi min amrin li yaf’alahu (perintah Allah kepada para malaikat agar dilaksanakan). Allah bersabda:

إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آَمَنُوا …

“(ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku bersama kamu, Maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman”…” (Q.S. Al-Anfal [08] : 12).

Dalam ayat ini wahyu berarti perintah Allah Swt. kepada para malaikat agar meneguhkan hati para sahabat dalam perang Badar.

Sedangkan secara terminologi syarak, wahyu adalah: “Kalaamullah ta’ala al-munazzalu ‘ala Nabiyyin min Anbiyaaihi” (Firman Allah ta’ala yang di turunkan pada salah satu Nabi dari para Nabi Allah).

Allah menyampaikan wahyu-Nya kepada para Nabi dengan tiga cara, sebagaimana dalam firman Allah:

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ

dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (Malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Asy-Syura [42] : 51).

Al-Khazin dalam tafsirnya Lubab at-Ta’wil menjelaskan, yang dimaksud dengan perantara wahyu adalah melalui mimpi atau ilham. Kemudian yang dimaksud min waraa’i hijab adalah Nabi tersebut mendengar firman Allah dari balik tabir tetapi mereka tidak melihat-Nya, sebagaimana Allah berfirman kepada Nabi Musa. Lalu yang dimaksud mengutus Rasul adalah, Allah mengutus Malaikat seperti Malaikat Jibril.

Dari ayat tersebut bisa disimpulkan bahwa Allah menyampaikan wahyu-Nya kepada para Nabi melalu tiga cara yaitu: dengan ru’ya ash-shadiqah (mimpi yang benar), min waraa’i hijaab (dari balik tabir), dan yursila rasuulan (Melalui perantara Malaikat Jibril).

Pertama, Ru’ya ash-Shadiqah

Mimpi para Nabi adalah wahyu, sebagaimana yang dialami oleh Rasulullah sebelum menerima wahyu dari malaikat Jibril. Semula wahyu yang diterima Rasulullah adalah ru’ya ash-shalihah (mimpi yang benar) dalam tidur dan tampak jelas seperti cahaya waktu subuh.

Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Ithqan fi Ulum al-Quran menjelaskan, contoh ayat an-naumi (ayat yang diterima dalam mimpi) dalam al-Quran adalah surat al-Kautsar berdasarkan hadis riwayat Anas:

Suatu hari Rasulullah Saw. berada di tengah-tengah kami, kemudian beliau mengalami tidur ringan, lalu mengangkat kepalanya sambil tersenyum. Kami pun bertanya, “Apa yang membuatmu tersenyum wahai Rasulullah?

Rasulullah bersabda, “Baru saja diturunkan kepadaku sebuah surat”, lalu beliau membacakan surat al-Kautsar.

Sedangkan menurut ar-Rafi’i, semua wahyu dalam al-Quran diterima Rasulullah dalam keadaan terjaga, sedangkan penjelasan dari hadis di atas adalah: Surat al-Kautsar pernah terlintas dalam hati Rasulullah pada saat beliau tidur ringan, sementara surat tersebut diterima Rasul pada saat terjaga. Atau di dalam mimpi, Rasulullah ditunjukkan telaga al-Kautsar yaitu telaga yang telah disampaikan dalam surat tersebut.

Contoh lain dari wahyu yang diterima dalam mimpi adalah perintah Allah kepada Nabi Ibrahim agar menyembelih putranya, seperti dikisahkan dalam surat ash-Shaffat ayat 101-112.

Kedua, Min Waraa’i Hijaab

Penyampaian wahyu dengan cara ini dapat diterima langsung oleh para Nabi, tanpa melalui perantara Malaikat. Nabi yang mendapat wahyu mendengar firman Allah namun tidak melihat Dzat-Nya, seperti yang dialami Nabi Musa dalam surat al-A’raf, ayat : 143. Juga difirmankan dalam an-Nisa’ ayat : 164 “…dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung”.

Nabi Muhammad juga pernah menerima wahyu Allah dari balik tabir, pada saat perjalanan Isra’ Mi’raj.

Tidak ada satu pun ayat dalam al-Quran yang diterima dari balik tabir.

Ketiga, Melalui Perantara Malaikat

Ayat-ayat dalam al-Quran diturunkan Allah melalui perantara Malaikat Jibril. Ada dua cara yang digunakan Jibril dalam menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad: Pertama, datang seperti dentingan lonceng, dan kedua, datang dengan menjelma menjadi sosok manusia.

Kedua cara ini sebagaimana disampaikan dalam Sahih Bukhari:

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ -رضى الله عنها- أَنَّ الْحَارِثَ بْنَ هِشَامٍ -رضى الله عنه- سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَأْتِيكَ الْوَحْىُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- “أَحْيَانًا يَأْتِينِى مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ -وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَىَّ- فَيُفْصَمُ عَنِّى وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ ، وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِىَ الْمَلَكُ رَجُلاً فَيُكَلِّمُنِى فَأَعِى مَا يَقُولُ…”

Dari Aisyah Ummul Mukminin R.A, bahwa Harits bin Hisyam R.A. bertanya kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah! Bagaimana cara wahyu datang kepadamu?” Rasulullah menjawab, “Terkadang wahyu datang kepadaku seperti dentingan lonceng dan itu yang paling berat bagiku. Kemudian terhenti dan aku telah menghafalkan apa yang dia ucapkan. Dan terkadang malaikat tersebut menjelma sebagai seorang laki-laki kemudian berbicara denganku dan aku menghafal apa yang dia ucapkan...”

Semoga bermanfaat untuk menambah kecintaan kita untuk terus mengkaji Al-Quran dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya. Amin. []

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *