Kolonialisme, Nasionalisme, dan Warisan Kebudayaan
pahamify.com

Kolonialisme, Nasionalisme, dan Warisan Kebudayaan

Belum lama ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung soal salah satu tujuan mengapa Ibu Kota Nusantara (IKN) perlu dibangun dan diwujudkan. Kita semua tahu bahwa pembangunan  IKN gencar dilakukan dalam dua tahun terakhir, salah satu targetnya adalah agar pada 17 Agustus 2024 dapat dipakai untuk pelaksanaan upacara HUT RI. Sehingga Istana Kepresidenan yang baru harus sudah selesai, minimal cukup rapi saat digunakan upacara nanti.

Dalam kaitannya dengan pembangunan IKN, Jokowi menyinggung bangunan Istana Kepresidenan Jakarta dan Bogor dengan mengatakan, “Sudah kita tempati 79 tahun. Ini bau-bau kolonial selalu saya rasakan setiap hari, dibayang-bayangi. Dan sekali lagi, kita ingin menunjukkan bahwa kita punya kemampuan untuk juga membangun ibu kota sesuai keinginan kita” (detik.com, Selasa, 13 Agustus 2024).

Kata kunci dalam pernyataan Jokowi di atas adalah kolonialisme. Sedangkan maksud yang hendak dikatakan Jokowi adalah mengobarkan semangat nasionalisme di mana Indonesia sebagai negara yang besar mampu berdiri sendiri dan mampu meninggalkan warisan kebudayaan kolonial di masa lalu.

Menurut catatan sejarah, Istana Kepresidenan Jakarta dan Bogor dibangun oleh Belanda. Bahkan Istana Negara dan Istana Merdeka pernah dihuni oleh dua kolonialis berbeda, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Pieter Gurardus van Overstraten dan Johan Wilhelm van Lansberge. Sedangkan Istana Bogor sempat ditempati oleh Gubernur Jenderal Gustaaf Willem van Imhoff.

Ketika pembangunan IKN dikritik oleh berbagai ahli dan banyak masyarakat sipil, Jokowi lalu menyinggung soal bagaimana Istana Kepresidenan yang ada di Jakarta dan Bogor merupakan warisan kolonal Belanda dan hendaknya kita membangun Istana yang sesuai dengan keinginan bangsa Indonesia. Dari sini, Jokowi ingin menyampaikan pesan nasionalisme dan semangat keindonesiaan dengan cara menginggalkan warisan kebudayaan Belanda.

Pertanyaannya, benarkah warisan Belanda hanya bangunan saja? Benarkan kita sungguh-sungguh ingin lepas dari warisan kolonial? Apakah kita mampu lepas dari warisan kolonialisme? Bukankah sudah terlalu banyak hal yang ada di Indonesia ini merupakan warisan kolonial? Kita juga dapat menduga-duga bahwa bisa jadi ungapakan Jokowi itu hanya “strategi politik” saja dengan memanfaatkan ‘emosi nasionalisme’ agar rakyat yang tidak setuju dengan pembangunan IKN dapat memahami pentingnya mendirikan Istana dan Ibu Kota baru.

Menurut Made Supriatma, Indonesia dalam semua hal adalah pewaris negara kolonial. Kita mewarisi semua hukum kolonial. Kita mewarisi wilayah yang persis sama dengan wilayah administrasi kolonial. Kita mewarisi semua infrastruktur fisik, infrastruktur ekonomi, dan bahkan infrastruktur kebudayaan serta politik kolonial.

Pernyataan Made di atas bukan hanya benar, tetapi itulah fakta sejarah yang benar-benar terjadi. Indonesia adalah negara warisan kolonial di mana selama lebih dari 70 tahun merdeka, bangsa Indonesia belum bisa benar-benar keluar dari cengkraman warisan itu. Ketidakmampuan meninggalkan warisan kebudayaan kolonial adalah bukti bahwa kita memang belum mampu membangun infratruktur kebangsaan yang benar-benar cocok sesuai dengan keinginan kita sebagai bangsa.

Kita juga bisa merenungkan bagaimana Indonesia tanpa negara kolonial. Tanpa adanya negara kolonial dan birokrasinya, pastinya Indonesia akan diisi oleh sistem pemerintahan oleh kerajaan-kerajaan kecil yang jumlahnya ratusan. Kerajaan-kerajaan kecil ini tidak menjamin adanya kesatuan dan keamanan, malahan berpotensi adanya perpecahan antar kekuasaan dan saling berperang satu sama lain.

Apakah ini artinya kita mendukung adanya kolonialisme yang memberi dampak besar bagi terciptanya persatuan bangsa? Tentu saja, dalam perspektif apapun, kolonialisme tidak bisa dibenarkan. Persatuan bangsa juga merupakan perjuangan bangsa Indonesia sendiri. Tetapi kita juga tidak boleh lupa bahwa kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia adalah bagian dari warisan kolonialisme. Bahkan, begitu banyak warisan kebudayaan kolonial yang masih kita pakai hingga sekarang ini.

Bila merujuk pada pernyataan Jokowi di awal, boleh jadi apa yang dikatakan Jokowi ada benarnya, yakni ingin secara perlahan meninggalkan warisan kebudayaan kolonial secara perlahan, salah satunya melalui pendirian Istana Kepresidenan baru di IKN. Tetapi bila alasannya adalah demi nasionalisme, maka apa yang disampaikan Jokowi sangatlah ironis dan cukup dangkal.

Jawaban dengan menggunakan retorika nasionalisme terhadap berbagai kritik yang dialamatkan pada pembangunan IKN merupakan sebentuk strategi politik di mana emosi masyarakat diaduk agar tumbuh semangat nasionalisme kebangsaan.

Memang benar, di dalam nasionalisme terselip semangat juang, ada gairah, dan memiliki emosi yang kuat. Tetapi, sadarkah kita bahwa nasionalisme itu adalah ideologi yang sangat miskin secara filosofis, tidak seperti kapitalisme dan sosialisme yang memiliki dasar argumentasi yang kuat tentang pasar dan eksploitasi manusia atas manusia sehingga keduanya menggugah hakikat manusia.

Seringkali, nasionalisme hanya dipahami sebagai emosi tanpa nalar atau argumentasi yang kokoh. Sehingga narasi nasionalisme seringkali disalahgunakan untuk tujuan-tujuan politis, persis sebagaimana yang dilakukan Jokowi dalam menangkal berbagai kritik terhadap pembangunan IKN. Dan, tidak ada jaminan bahwa Istana Kepresidenan di Jakarta dan Bogor akan benar-benar ditinggalkan, mengingat pembangunan IKN membutuhkan waktu puluhan tahun.

Tulisan singkat ini hendak mengatakan bahwa apa yang disampaikan Jokowi belum lama ini hanya sebatas strategi politik saja yang dilakukan guna menepis berbagai kritik terhadap pembangunan IKN. Bukan sesuatu yang benar-benar bertujuan untuk mengobarkan semangat nasionalisme, apalagi bertujuan meninggalkan warisan kebudayaan kolonial yang masih mustahil dilakukan.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *