Oleh: MS Arifin
Islamadina.org – Berpuluh tahun yang lalu, KH. MA. Sahal Mahfudh dalam ‘Nuansa Fiqh Sosial’, telah menyebut era kita sebagai era “tinggal landas”, yaitu era di mana “kapitalisasi makin merambah berbagai aspek kehidupan dan industrialisasi mulai menjangkau semua aspek komoditas, etos kerja makin meningkat, peran ketrampilan dan modal makin dominan. Perhitungan untung rugi secara meteriil makin kuat posisinya. Akibatnya, nilai religius terbentur dan terlempar.” Inilah era di mana secara simbolis pasar dipisahkan dari masjid, yakni era yang timpang antara imarah (pembangunan) dan ibadah (penghambaan).
Dengan maraknya isu sosial dan lingkungan yang bergulir dewasa ini, kita dituntut untuk mencari jalan keluar yang solutif. Berbagai studi telah dilakukan. Bermacam teori telah dipakai. Spesialisasi dari berbagai disiplin ilmu telah dilibatkan untuk berkolaborasi. Upaya semacam ini bukannya tanpa hasil, namun kita kadang lupa untuk terus memupuk jalan yang dianggap normatif. Jalan yang normatif itu adalah penanaman dan pengamalan nilai-nilai transendental manusia beragama.
Padahal, nilai-nilai transendental bukan sekadar doktrin moral yang bersifat personal, melainkan fondasi etis yang mestinya menjiwai seluruh struktur sosial, ekonomi, dan ekologis kita. Ketika nilai-nilai ini disingkirkan dari ranah publik dan digeser ke ruang privat—disekat dalam ibadah formal semata—maka pembangunan kehilangan arah etiknya. Pembangunan yang kehilangan spiritualitas akan menjelma menjadi kerakusan. Sebaliknya, ibadah yang tercerabut dari realitas sosial akan mengerdil menjadi pelarian individual.
Islam sendiri sejak awal telah memadukan dua jalan ini: ibadah yang membumi, dan imarah yang melangit. Ketika Nabi mendirikan pasar di Madinah, beliau tidak hanya memberi ruang transaksi, tetapi juga menanamkan nilai. Beliau menghapus praktik monopoli, melarang penimbunan, meluruskan takaran, dan meletakkan prinsip keadilan sebagai fondasi muamalah. Masjid dan pasar berdampingan secara fisik, tapi juga saling menopang secara moral.
Dalam konteks ini, isu sosial dan lingkungan dewasa ini—mulai dari kesenjangan ekonomi, krisis ekologi, hingga degradasi moral—sebetulnya adalah panggilan untuk menyatukan kembali ibadah dan imarah. Tidak cukup kita mendaur ulang sampah, jika cara pandang kita terhadap alam masih eksploitatif. Tidak cukup kita memberi bantuan sosial, jika struktur pasar masih dikuasai oleh logika ketidakadilan. Semua itu menuntut penanaman kembali etika transendental dalam setiap aspek kehidupan.
Ditilik dari sudut pandang fikih sosial, penanaman nilai-nilai transendental memainkan peran utamanya dalam sosial-kemasyarakatan. Nilai-nilai itu kini bergeser ke nilai-nilai yang profan, sehingga individu dalam struktur sosialnya hanya fokus pada pemenuhan kepuasan jasadi saja, menanggalkan tujuan utama dari diciptakannya manusia di muka bumi. Islam, lewat kitab sucinya, mengatur masalah imarah sampai ke akar-akarnya. Tuhan tahu bahwa akal budi manusia yang boleh jadi tercerahkan secara ilmiah bisa saja kalah dengan nafsu yang destruktif. Maka Islam terlebih dahulu mendidik umatnya untuk mengatur dan menakhlukkan nafsunya sendiri. Jika manusia kalah dengan nafsunya sendiri, maka akal budinya (sekalipun telah tercerahkan secara ilmiah) tak bisa berfungsi sebagai pengontrol. Di sinilah al-Qur’an menyatakan bahwa nafsu telah tertipu oleh gemerlap dunia. KH. MA. Sahal Mahfudh berkata:
“Era tinggal landas memang selalu menjanjikan kehidupan yang menggiurkan dan kesejahteraan yang spektakuler. Namun justru di situlah nilai-nilai iman dan tawakal terancam. Di situ pula unsur ‘ghurur ad-dunya’ makin mendapat peluang untuk menggiring nafsu manusia pada puncak keangkaramurkaannya.”
Maka tantangan terbesar umat beragama hari ini bukan sekadar bertahan dalam badai modernitas yang menggiurkan, tetapi bagaimana menghadirkan kembali nilai-nilai ilahiah ke dalam denyut kehidupan publik—di dalam pasar, sekolah, kantor, kebijakan negara, dan ekosistem digital. Ibadah tidak boleh berhenti di sajadah, dan imarah tidak boleh berjalan tanpa cahaya wahyu.
Fikih sosial yang diilhamkan KH. MA. Sahal Mahfudh bukan hanya bentuk respons atas problem kontemporer, melainkan paradigma menyeluruh tentang bagaimana agama harus bertindak dalam realitas. Ia mempersatukan nalar dan nurani, hukum dan hikmah, teks dan konteks. Dalam kerangka ini, masjid tidak cukup hanya menjadi tempat menyuarakan adzan, tapi juga menjadi pusat advokasi nilai. Pasar tidak cukup hanya menjadi tempat jual beli, tetapi tempat ditegakkannya prinsip kejujuran, keseimbangan, dan keberkahan.
Kita perlu membangun kembali simpul-simpul etis di antara masjid dan pasar—dari pendidikan karakter di majelis taklim, hingga praktik muamalah yang berkeadilan dalam ekonomi komunitas. Masjid harus membuka diri menjadi ruang penguatan kapasitas sosial umat, menghidupkan koperasi syariah, mendampingi usaha kecil, hingga menjadi pusat literasi ekologi. Pasar, di sisi lain, harus kembali ditundukkan di bawah pengawasan akhlak, bukan sekadar pengawasan harga.
Tanpa itu semua, kita hanya akan menyaksikan keberagamaan yang megah secara simbolik tapi rapuh secara sosial. Sebab iman yang tidak ditanamkan dalam struktur kehidupan hanya akan menjadi gema hampa. Dan pembangunan yang tidak dinaungi oleh nilai transendental hanya akan menjadi jalan sunyi menuju kehancuran ekologis dan keterasingan manusia dari fitrahnya.
MS. Arifin. Alumni Universitas Al-Azhar Mesir

