Oleh: Zanuri
Islamadina.org – Tokoh yang akan dikaji pada tulisan singkat ini bernama Haji Abdul Malik Karim Amdullah, atau orang biasa mengenal dengan singkatan HAMKA. Beliau merupakan seorang ulama, sastrawan, dan politikus Indonesia yang sangat terkenal.
Buya HAMKA lahir pada 17 Februari 1908 dan meninggal pada 24 Juli 1981. Semasa hidupnya, beliau berkarir sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia sempat berkecimpung di dunia politik Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan. Beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif di Muhammadiyah hingga akhir hayatnya.
Pemikiran HAMKA membentang sangat luas, mulai dari kajian kesusatraan, pemikiran Islam, hingga tafsir al-Qur’an. Namun demikian, tulisan singkat ini tidak akan masuk ke dalam sub-sub pemikiran Buya HAMKA yang sangat luas itu. Penulis hanya ingin mengambil satu aspek saja, yakni pemikiran etika HAMKA yang berbasis pada model etika Skriptural.
Pemikiran etika HAMKA sangat penting karena hampir seluruh landasan pemikirannya mendasarkan diri pada dimensi etika atau akhlak. HAMKA sendiri tidak menggunakan terminologi etika, beliau lebih sering menggunakan istilah akhlak, moral, budi, dan sebagainya. Namun demikian, berbagai istilah tersebut memiliki kemiripan dan searah satu sama lain.
Apa itu Etika Skriptural?
Etika skriptural adalah sebuah tipe dalam etika di mana keputusan-keputusan baik dan buruh diambil langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Artinya, konsep kebaikan dan keburukan dalam etika skriputral ini insiprasinya diambil dari teks-teks kitab suci. Biasanya konseptor utama dalam etika ini adalah para ahli hadits, mufasir, dan ahli hukum. Mereka berupaya menafsirkan teks-teks suci untuk memutuskan perkara-perkara dalam hal etika.
Pengambilan langsung dari kitab suci ini bisa dalam arti secara tekstual atau apa adanya, juga bisa dalam arti interpretasi-interpetasi. Para konseptor etika ini beranggapan bahwa teks kitab suci tidak bisa selalu dipahami secara langsung, tetapi butuh pemahaman lebih lanjut melalui kaidah-kaidah ilmu tafsir. Agar lebih mudah memahami etika skriptural ini, maka di bawah ini akan dijelaskan bagian-bagian penting yang menyangkut etika skriptual, di antaranya sebagai berikut:
Baik dan Buruk
HAMKA, memberikan tafsiran mengenai perbuatan baik dan buruk dengan mengutip ayat dalam al-Qur’an, bahwa di dalam al-Qur’an perbuatan baik dan buruk di umpamakan dua pohon kayu, sepohon kayu baik dan sepohon kayu jahat.
Artinya: Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut. (QS Ibrahim [14]: 24-26).
HAMKA dalam menafsirkan ayat di atas, merujuk kepada pendapat ahli tafsir, yang dimaksud dengan kayu yang baik di sini ialah tauhid dan kayu yang jahat ialah syirik. Kata setengahnya, kayu yang baik ialah perumpamaan tuntunan akal budi, dan kayu yang jahat perumpamaan dari perdayaan hawa-nafsu.
HAMKA melihat bahwa perbuatan baik dan buruk merujuk pada surat Ali-Imran ayat 110:
Artinya: Kamu adalah yang sebaik-baik umat, yang dikeluarkan Tuhan untuk seluruh manusia, menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang memperbuat yang salah, serta beriman kepada Tuhan, sekiranya orang ahli kitab itu beriman, sesungguhnya itu baik untuk mereka, sebagian mereka beriman, tetapi kebanyakan mereka orang-orang yang jahat.
HAMKA juga menafsirkan manusia sebagai makhluk pilihan ilahi yang dapat menentukan hidupnya sendiri. Seperti dalam kutipan berikut:
“Manusia itu adalah makhluk pilihan Ilahi. Diberi akal dan pikiran, sehingga terpisahlah hidupnya daripada makhluk yang lain di alam ini. Terpisah bukan menyisih, tetapi terpisah buat mencari rahasia yang tersembunyi di dalam alam itu, yang disimpan Tuhan untuk dikeluarkannya. Yang terpenting daripada kelebihan manusia dengan akalnya itu ialah kesanggupannya membedakan dan menyisihkan di antara yang buruk dengan yang baik. Manusia melihat alam sekelilingnya dengan alat pancainderanya, maka menggetarlah yang kelihatannya atau kedengaran itu ke dalam jiwa. Maka tergambarlah bekasnya itu di dalam jiwa tadi dan menjadi kenangan. Dengan melihat dan mendengar, tergambar dan mengenang itulah manusia membentuk persediaanya menempuh hidup. Dengan itu pulalah dua mengenal mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang jelek dan mana yang indah. Filsafat mengatakan bahwasanya timbangan buruk dan baik adalah budi (etika). Penyisihan jelek dan indah adalah keindahan (estetika). Sebab itu maka persediaan buat berbudi dan tahu yang indah telah ada dalam jiwa manusia, menurut pertumbuhan kecerdasan akalnya”.
Dalam Firman Allah swt.:
Artinya: Sesungguhnya orang yang berbuat baik adalah dalam surga. Dan sesungguhnya orang durjana adalah dalam neraka. (QS. Al-Infitar. 82 : 13-14).
Dengan ke-Esa-an kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, timbullah persatuan kemanusiaan dan teguhlah persaudaraan dan cinta mencintai di antara sesama manusa. Keesaan kepercayaan (tauhid) menghilangkan perbedaan suku, bahasa, bangsa, daerah dan keturunan. Maka dari ke-Esa-an kepercayaan yang dengan sendirinya menimbulkan persaudaraan dan cinta itu, bersedialah manusia dituntut menuju kebahagiaannya, meskipun akalnya sekali-kali tidak boleh berhenti. Tujuan ialah kebahagiaan sesudah mati. Maka dipergunakanlah akal buat membanding segala ketentuan syari’at sesuatu yang dilarang adalah buruknya. Akal yang suci menerima dengan segala senang hati akan larangan itu, suruhan pun demikian pula. Tidak ada satu perintah atau suruhan, yang tidak mengakibatkan kebaikan bagi hidup manusia. Sehingga di dalam sabda Nabi Muhammad ada tersebut:
“Bahwasanya dosa itu ialah apa yang tergetar dalam hati sendiri dan berdebar dalam dada.“(dirawikan oleh Imam Ahmad dan Ad-Darimi dari An-Nawwas bin Sam’an).
Dengan melihat penyataan-penyataan HAMKA di atas mengenai perbuatan baik dan buruk, memberikan argumen yang kuat bahwa motif moral al-Qur’an yang paling dominan adalah ketetapan bahwa manusia harus menempatkan dirinya dalam hubungan yang layak dengan Tuhanatau perintah-Nya jika ia hendak memuaskan kondisi kebajikan (birr) atau ketaqwaan atau mengusahakan posisi yang benar di surga.
Bagaimana pun interpretasi dilakukan, ketetapan ini berakar dalam konsep kewajiban agama (taklîf) dan prasyaratnya yang tak terelakkan adalah ketaatan (thâ’ah). Melanggar petunjuk-petunjuk ini dengan tujuan untuk melakukan hubungan yang salah antara Tuhan sebagai Pengatur dan Pencipta dan manusia sebagai makhlukatau budak tentu saja dinyatakan oleh al-Qur’an sebagai kemaksiatan (al-ma’siyah) atau dosa.
Keadilan Tuhan
Keadilan menjadi salah satu masalah yang dibahas dalam pemikiran HAMKA dalam masalah kehidupan manusia. HAMKA mengatakan bahwa tak seorang pun manusia yang dapat menyingkir dari pergaulan ramai, pertukaran kepentingan dan pergantian pemikiran. Yang jadi pengawas dalam masyarakat ramai itu ialah keadilan. Keadilan amat luas dan banyak lagi keutamaan lain yang bergantung kepadanya, seperti berbuat baik kepada orang lain, tulus dan ikhlas, membela kemanusiaan, mencintai tanah air, menjaga budi pekerti, dermawan, dan menjaga hak persamaan. Pandangan HAMKA tersebut sesuai dengan Firman Allah Swt. Sebagai berikut:
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Q.S An-Nahl: 90)
HAMKA menafsirkan tentang tabiat manusia ialah mengejar kemajuan. Sedangkan pertukaran abad kesembilan belas kepada abad dua puluh, sudah nyata bagaimana tabiat manusia dalam mengejar kemajuan. Apalagi kalau dibandingkan dengan zaman purbakala. Dan manusia itupun suka berkumpul bersama-sama. Lantaran hidup bersama, selalulah bertemu kepentingan seseorang manusia dengan manusia yang lain. Harus ada batas agar tidak sampai terganggu kepentingan dalam masyarakat. Batas-batas itulah yang bernama keadilan menurut hukum budi.
Tanggung Jawab Manusia
HAMKA, mengibaratkan manusia tidak memiliki kekuasaan jauh melampaui Tuhan. Karena manusia mempunyai keterbatasan. HAMKA Mengatakan, “Nyatalah bahwa kekuasaan Tuhan itu tidak terbatas. Sehingga kita telah mengurangi kekuasaan Tuhan, kalau kita katakan bahwa Tuhan tidaklah menjadikan yang buruk, tidaklah menjadikan miskin dan tidaklah menjadikan bodoh. Tetapi untuk “Taadduban” untuk sopan santun kita kepada Ilahi, ada pula caranya sendiri yang harus kita lalui. Banyak perkara-perkara yang memang Tuhan menjadikan, sekali-kali tak kuasa orang lain menjadikannya. Tetapi tidaklah sanggup mulut orang yang beradab mengatakan bahwa itu dijadikan Tuhan. Dan memanglah amat janggal kalau sekiranya seorang durjana, yang ketika hendak dipotong tangannya, menjalankan hukum pencurinya, dia mengatakan tak usah hukum dijalankan, sebab dia mencuri ini adalah atas kehendak kodrat iradat Tuhan”.. Beliau merupakan seorang ulama, sastrawan, dan politikus Indonesia yang sangat terkenal.
Zanuri. Magister Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta