Hakikat Puasa Menurut Imam Al-Ghazali
kompas.com

Hakikat Puasa Menurut Imam Al-Ghazali

Islamadina.org – Saat ini umat Islam di seluruh dunia sedang menjalankan ibadah puasa satu bulan penuh di bulan suci Ramadan. Perintah berpuasa ini tercantum dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 183, “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu berpuasa”.

Bila melihat redaksi ayat di atas, kita akan langsung memahami bahwa perintah berpuasa sesungguhnya bukan hanya ditujukan kepada umat Islam, umat-umat terdahulu, seperti Yahudi dan Nasrani juga diberi perintah berpuasa, bahkan jauh sebelum itu, Allah telah memerintahkan berpuasa kepada hamba-hambanya, kendati demikian model berpuasanya berbeda antara satu umat dengan umat yang lain.

Ibadah puasa merupakan salah satu praktik ibadah paling tua di dunia, selain puasa ada ibadah lain yang usianya juga sama tuanya, misalnya berkurban dan do’a. Saking pentingnya ibadah puasa ini, kita juga bisa menyaksikan model-model puasa di umat agama lain selain dalam lingkaran agama Abrahamik. Misalnya dalama keyakinan agama Hindu dan Budha juga mengenal ibadah puasa.

Makna puasa sejatinya adalah menahan diri, bila seseorang sedang menahan diri, dalam konteks apapun, ia sesungguhnya telah menjalankan ibadah puasa. Namun demikian, dalam ajaran Islam, konsep menahan diri ini ada tatacaranya, baik secara lahir maupun batin. Hal ini penting sebab ibadah puasa harus dilakukan dengan sungguh-sungguh agar siapa saja yang berpuasa dapat mendapatkan hikmah sekaligus amal kebaikan yang dapat dihasilkannya.

Dalam Islam, ada salah satu tokoh yang memiliki gagasan puasa yang sangat menarik, beliau adalah Imam Al-Ghazali, seorang ulama mashur dan paling berpengaruh dalam sejarah peradaban Islam. Sebagai seorang sufi, Al-Ghazali menekankan perspektif batin agar kita dapat mengambil pelajaran berharga dari ibadah puasa.

Sebab, bila puasa tidak dipahami secara benar, kita hanya akan merasakan lapar dan dahaga saja. Bila begitu, kita nyaris tidak akan dapat menuai nilai hakiki dari ibadah puasa tersebut. Misalnya, ketika orang merasa malas bekerja dalam keadaan puasa, atau merasa berat melakukan aktivitas positif saat puasa, ia sesungguhnya telah kehilangan makna puasa, sebab rasa malas itu akan menuntut kita untuk sekedar menunggu magrib atau berbuka puasa. Hasilnya, kita seolah hidup untuk makan, bukan makan untuk hidup.

Dalam konteks di atas, Imam Al-Ghazali membagi model puasa ke dalam tiga level yang bertingkat, artinya dari ketiga level tersebut akan menggambarkan kualitas ketakwaan seorang hamba:

Pertama, puasa umum (Shaumul Umum). Puasa model ini hanya sekedar menahan diri dari lapar dan dahaga serta hawa nafsu. Puasa jenis ini umumnya dilakukan oleh orang-orang yang hanya sekedar menahan diri dari perkara fisik dan kurang memperhatikan aspek batin. Ini termasuk level puasa paling rendah yang bisa dilakukan oleh siapa saja, bahkan oleh binatang sekalipun.

Kedua, puasa khusus (Shaumul Khusus). Puasa model ini biasanya lebih mengutamakan menahan diri dari melakukan perbuatan maksiat secara badaniah, artinya orang-orang yang melaksanakan puasa di level ini cenderung menghindar dari dosa-dosa yang dapat membatalkan puasa tersebut. Puasa jenis ini juga kurang memperhatikan aspek batin karena lebih diorientasikan pada menahan diri dari perkara kemaksiatan dalam arti menjauhi larangan-larangan Allah.

Ketiga, puasa khusus dari yang khusus (Shaumu Khususil Khusus). Menurut Al-Ghazali, inilah jenis puasa paling tinggi dan mantab. Puasa model ini sudah tidak memperhatikan lagi aspek lahiriah dalam arti menahan diri dari lapar dan dahaga, juga tidak melulu berorientasi pada meninggalkan larangan Allah. Puasa jenis ini lebih mengedepankan aspek batin dengan cara selalu mengingat Allah dalam keadaan puasa, dan meninggalkan berbagai berkara nafsu duniawi, baik dalam praktik maupun sekedar memikirkannya.

Dari ketiga model puasa di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa praktik ibadah puasa itu berbeda-beda antara satu orang dengan yang lainnya, belum tentu orang yang sama-sama berpuasa mendapatkan nilai yang sama. Misalnya, puasa model pertama biasanya dilakukan oleh orang-orang awam, mereka hanya menahan lapar dan dahaga saja, sedangkan di lain hal mereka masih sering melakukan maksiat kendati sedang berpuasa.

Pada level kedua sudah agak maju, mereka melakukan puasa sekaligus menghindar dari berbagai larangan Allah. Ini umumnya dilakukan oleh orang-orang saleh yang lebih hati-hati daripada yang pertama. Namun demikian, pada level ketiga, orang sudah ada di level puncak yang hanya menyisakan ingatan tentang Allah. Puasa model ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *