Mayoritas muslimin Indonesia memahami bahwa salah satu tujuan pernikahan adalah untuk memiliki anak sebagai penerus sebuah generasi. Namun saat ini childfree menjadi salah satu tren pernikahan para pasangan muda, dan telah banya dipraktikkan di beberapa negara maju seperti Jepang, Korea Selatan dan Jerman.
Di Indonesia trend chidfree juga cukup tinggi, menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statisitk (BPS) sebagaimana dilansir databoks.katadata.co.id. terdapat 8,2% perempuan usia produktif yang memilih pernikahan childfree pada tahun 2022. Proporsi childfree ini berasal dari wanita usia 15-49 tahun yang pernah menikah dan belum memiliki anak dan tidak menggunakan alat kontrasepsi.
Berdasarkan wilayah, Banten merupakan provinsi dengan childfree tertinggi di pulau Jawa, mencapai 15,3% pada tahun 2022. Diikuti oleh DKI Jakarta mencapai 14,3%, Jawa Barat 11,3%, D.I Yogyakarta 8,4%, Jawa Timur 8,4% dan Jawa Tengah 5%.
Chilldfree merupakan istilah yang mengacu pada pernikahan yang tidak mengharapkan keturunan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak antara suami dan istri. Sedangkan childless adalah sebuah tindakan untuk tidak memiliki keturunan dengan pertimbangan penuh. Istilah childless lebih mengacu pada kondisi ketika seseorang tidak memiliki keturunan karena kondisi fisik atau biologis, sehingga terpaksa memilih untuk tidak memiliki anak.
Semula childfree digagas oleh Santa Augustibe seorang penganut aliran maniisme (manikheisme). Dalam kepercayaannya, mengandung dan memiliki anak termasuk sikap yang tidak bermoral, karena menyebabkan jiwa-jiwa anak terjebak sementara dalam rahim ibunya. Childfree merupakan istilah yang telah lama dikelanal sebelum abad ke-19 dan istilah tersebut terdapat dalam kamus Merriam-webster. Sedangkan di Amerika Serikat, istilah childfree muncul pada tahun 1970-an ketika para wanita banyak yang memilih childfree dengan berbagai upaya agar tidak memiliki anak salah satunya adalah dengan menggunakan alat kontrasepsi.
Beberapa pasangan memilih childfree dengan berbagai alasan, yaitu
- Faktor pendidikan yang diwariskan oleh orang tuanya melalui pola parenting yang tidak tepat, atau pasangan yang memiliki pendidikan tinggi dan tinggal di perkotaan hasil dari pemikiran panjang akan kehidupan mereka.
- faktor ekonomi yang belum mapan sehingga orang tua merasa berat memikul beban kebutuhan anak, karena bagaimanapun orang tua nantinya harus mengeluarkan biaya yang terkait dengan anak, mulai dari biaya melahirkan, peralatan bayi, pendidikan dan lain sebagainya.
- Ingin lebih dekat dengan pasangan karena pasing-masing pasangan memiliki pandangan bahwa anak akan merubah pola kasing sayang mereka pada pasangannya dan anak akan mengganggu kebersamaan mereka.
- Faktor kesehatan yang mengakibatkan mereka tidak bisa memiliki keturunan, atau faktor medis yang mengharuskan mereka mendapatkan perawatan khusus, sehingga khawatir keberadaan anak akan lebih merepotkan mereka.
- Peristiwa psikologis yaitu traumamtis di masa lalu yang tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya sehingga memunculkan kekhawatiran tidak mampu membimbing dan memberikan contoh yang baik pada anak.
- Keputusan bersama dengan pertimbangan mendalam yang diambil oleh kedua pasangan dengan anggapan bahwa mereka harus saling memotivasi dalam peningkatan karir dan tidak berpikir untuk memiliki keturunan, atau beranggapan bahwa pernikahan bukanlah pabrik reproduksi anak karena mengurus anak merupakan tanggungjawab besar yang akan membebani mereka.
- Generasi sandwich yaitu orang yang terhimpit beban tanggung jawab, sehingga dalam membangun rumah tangga ia terbebani oleh keluarga, dan pada saat bersamaan dia terbebani oleh tanggungan adik dan juga orang tua. Dari himpitan tersebut kedua padangan kemudian memilih untuk menunda keturunan sampai pada usia yang tidak produktif untuk memiliki keturunan.
- Faktor lingkungan sosial dimana banyak orang tua yang menerlantarkan anak menjadikan anak sebagai alat investasi yang nantinya diharapkan membiayai dan merawat mereka ketika sudah tua. Selain itu overpopulasi juga menjadi salah satu alasan childfree karena populasi yang berlebihan akan menyebabkan kemerosotan kualitas lingkungan dan menimbulkan masalah baru seperti keterbatasan lahan pemukiman, peningkatan jumlah limbah dan sampah, kemiskinan, kelaparan, pencemaran, kepunahan hewan, dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana childfree dan childless dalam pandangan syariah? Salah satu tujuan pernikahan sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah adalah untuk mendapatkan anak, “Menikahlah kalian dengan wanita yang produktif (subur) dan lembut hatinya, karena (dengan kalian) aku akan memperbanyak umat pada hari kiamat”. Hadis tersebut menunjukkan bahwa meminta dan mengharapkan keturunan hukumnya adalah sunah karena keberadaan anak diharapkan membawa kemanfaatan di dunia dan akhirat.
Jika childfree dilakukan dengan cara memutus peluang memiliki keturunan secara permanen para ulama fikih menyatakan bahwa hukumnya adalah haram sebagaimana dijelaskan dalam ar-Ramli dalam Nihayatul Muhtaj dan Ibrahim al-Bajuri dalam Hasyiyah al-Bajuri.
Hukum tersebut sejalan dengan maqashid syariah yaitu untuk menjaga keturunan (hifdzu an-nasl), dimana menjaga keturunan hukumnya adalah wajib. Salah satu dalil kewajiban menjaga keturunan dijelaskan oleh Imam Bukhari, “Rasulullah melarang Utsman bin Mazh’un untuk hidup membujang. Sekiranya beliau mengizinkannya niscaya kami (sahabat) akan mengebiri diri kami”.
Sementara jika childfree dilakukan dengan cara memakai alat yang tidak memutus keturunan secara permanen, semisal menggunakan alat-alat kontrasepsi atau dengan cara azl (coitus interruptus), maka hukumnya adalah makruh. Syekh Ibrahim al-Bajuri menjelaskan, “Penggunaan sesuatu atau obat-obatan pada wanita yang bertujuan untuk memperlambat kehamilan atau memutuskannya secara permanen, maka dalam kasus yang pertama hukumnya makruh dan untuk kasus yang kedua hukumnya haram.”. Logika hukumnya adalah, syariah mensunnahkan kita berharap memiliki anak, sedangkan keinginan untuk tidak memiliki anak berarti bertolak-belakang dengan sunah (khilafussunnah), dan perbuatan yang tidak sesuai dengan sunah adalah makruh.
Pilihan untuk tidak memiliki anak diperbolehkan dalam kondisi darurat untuk menjaga kesehatan berdasarkan rekomendasi dokter yang kompeten (childless).
Wallahu A’lam.