M.S Arifin
Setelah Perang Dunia II, pertanyaan seputar masa depan manusia muncul. Kejahatan perang telah menekan orang untuk mempertanyakan eksistensi manusia, tentang bagaimana manusia memperlakukan manusia lain, dan, terutama, tentang ideologi yang dapat melindungi manusia dari dirinya sendiri.
Pada tahun 1945 Sartre menyampaikan kuliah tentang humanisme di Paris. Setahun kemudian, yakni 1946, kuliah ini terbit dengan judul ‘Existentialism is a Humanism’. Secara umum, buku ini ingin menjawab tuduhan yang menentang eksistensialisme yang datang dari Marxisme dan Kristen.
Setelah buku Sartre terbit, seorang filsuf Prancis bernama Jean Beaufret yang memiliki ketertarikan dengan filsafat Jerman, menulis surat kepada Heidegger untuk menanggapi buku Sartre. Setahun kemudian, yakni 1947, Heidegger menjawab pertanyaan Beaufret dalam risalah berjudul Letter on Humanism.
Humanisme Sartre
Di bukunya Being and Nothingness (1943), Sartre telah mendudukkan pemikirannya tentang manusia, bahwa ia adalah being-for-itself, ada-untuk-dirinya-sendiri, yang mengimplikasikan bahwa manusia adalah suatu eksistensi yang sadar akan keberadannya dan oleh karenanya bebas sama sekali. Sementara itu, di sisi lain ada being-in-itself, yakni ada-dalam-dirinya-sendiri, suatu ada yang ada begitu saja, tidak bisa mengaktualkan dirinya karena tidak memiliki kesadaran yang selalu bersifat negatif, yakni, kesadaran tidak pernah identik dengan dirinya sendiri.
Being-for-itself, yang tidak lain adalah manusia itu sendiri, dengan demikian, adalah suatu ada yang bebas. Kebebasan ini adalah karakternya yang esensial. Manusia adalah manusia sepanjang ia bebas menentukan adanya, tidak ada potensialitas maupun kemungkinan. Manusia adalah totalitas serial apa yang diperbuatnya. Kuliahnya ‘Existentialism is a Humanism’ sepenuhnya didasarkan di atas ontologi fenomenologis ini.
Sartre menyebut eksistensialisme-nya sebagai humanisme untuk membantah dua kubu: (i) Komunisme dan (ii) agama Kristen. Dari arah komunisme, eksistensialisme dianggap ‘hanya’ sebagai filsafat kontemplatif, yang mana mencerminkan filsafat kaum borjuis. Dari arah Kristen, eksistensialisme dianggap telah melanggar aturan Tuhan karena mementingkan doktrin kebebasan.
Sartre kemudian menggolongkan eksistensialismenya ke dalam jajaran humanisme, berdasarkan doktrin bahwa eksistensialisme adalah suatu ideologi yang membela kemungkinan umat manusia dan juga suatu doktrin yang mengafirmasi tiap kebenaran dan aksi baik dalam lingkungan maupun subjektivitas manusia. Dengan demikian, bagi Sartre, menolak eksistensialisme sama saja menolak faktisistas manusia itu sendiri.
Humanisme Heidegger
Dalam bukunya Being and Time (1927), Heidegger menyatakan bahwa ontologi hanya mungkin sebagai fenomenologi. Selama ini, bagi Heideger, Ada dibicarakan oleh metafisika tetapi tidak dipertanyakan. BT hadir untuk mendekonstruksi metafisika. Caranya adalah dengan cara mempertanyakan makna Ada melalui agen yang dapat mempertanyakannya, ialah Dasein.
Dasein adalah istilah Heidegger untuk menyebut manusia. Manusia adalah ada-di-sana (being-there). Dasein ini adalah suatu Mengada yang memiliki faktisitas berupa (i) being-in-the-world, dan (ii) being-toward-death. Keberadaan Dasein di dunia tidak seperti keberadaan kursi di dalam ruangan, misalnya. Keberadaan Dasein di dunia adalah bahwa ia menghuni dunia dan betah di dalamnya, seraya larut dalam keseharian.
Pendasaran filosofis atas Dasein ini tidaklah dalam arti metafisis; ia lebih mengarah ke ontologis. Dalam BT, substansi (Heidegger menghindari diksi esensi) Dasein adalah Being-in-the-world. Dalam LH, substansi manusia adalah pada ek-sistensi.
Kritik pertama Heidegger terhadap Sartre adalah pada masalah bahwa ketika Sartre mengusung humanisme eksistensial ia terjebak pada klaim yang bersifat metafisis, karena ia masih mencari esensi manusia, dan lebih dari itu: humanisme tidak bertanya tentang relasi Mengada terhadap esensi manusia.
Bagaimana agar pembicaraan tentang manusia tidak mengarah ke humanisme yang senantiasa bersifat metafisis? Heidegger menjawab: Pertanyaan tentang manusia itu harus diletakkan dalam konteks pertanyaan tentang kebenaran Ada (the truth of being). Apa masksudnya? Manusia harus dilihat sebagai ek-sistensi (ek-sistence), yang berarti ia yang selalu menjorok ke dalam kebenaran Ada. Dengan kata lain, manusia adalah suatu Mengada yang berada dalam takdir kebenaran (the destiny of truth).
Dengan demikian, alih-alih menyetujui humanisme ala Sartre dan lainnya, Heidegger boleh dibilang berada dalam pandangan inhumanisme. Karena manusia bagi Heidegger bukanlah Mengada yang sedang (bebas) mewujudkan eksistensinya (atau esensinya), tetapi manusia terikat dengan takdir Ada, dan Ada ini berumah di bahasa (bahasa adalah rumah bagi Ada). Manusia tinggal (betah/dwell) di rumah Ada tersebut.
Etika Sartrean
Esensi manusia, bagi Sartre, adalah kebebasannya. Telah ditunjukkan di muka bahwa ontologi fenomenologis Sartre telah mengantarkan Being-for-itself ke jantung esensinya, yakni tak ada penentu suatu hal bagi manusia kecuali manusia itu sendiri. Dengan demikian, tak ada determinisme.
Manusia dikutuk dengan kebebasan. Ia merupakan suatu subjek, suatu entitas dengan subjektivitas yang bebas. Maka, berdasarkan hal ini, pilihan untuk bertindak bagi manusia (atau pilihan etisnya) sama sekali bebas dari pengaruh luar, baik agama, negara, lingkungan, dan seterusnya.
Kebebasan yang diusung Sartre tidaklah membabi buta. Itu adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Manusia punya tanggung jawab untuk membiarkan manusia lain bertindak dengan kebebasannya. Dengan demikian, masalah perang dalam filsafat eksistensialis-humanis Sartre terletak di sini.
Jika semua manusia sadar atas doktrin eksistensialisme, maka tak ada manusia yang tidak bertanggung jawab atas eksistensi selain dirinya untuk mengaktualkan kebebasannya. Sama seperti inter-subjektivitas, dalam hal etis, eksistensialisme berpegang pada esensi manusia sebagai eksistensi yang mana tiap-tiap individunya mengendaki kebebasan masing-masing.
Di sinilah letak optimisme eksistensialisme Sartrean.
Inhumanisme Heideggerian
Berbicara menentang humanisme tidak berarti menunjukkan pandangan anti-humanisme, sebagaimana ketika kita berbicara menentang logika, tidak berarti pandangan kita tidak logis. Heidegger menentang humanisme, ya. Dan yang ditentang oleh Heidegger adalah humanisme yang dangkal, yang masih berpangkal pada metafisika Barat.
Seperti yang sudah disinggung di muka bahwa substansi (esensi) manusia adalah ek-sistensi, yang terarah ke kebenaran Ada. Lanjutan dari teori ini adalah: Kebenaran ada tersingkap lewat bahasa dan penyingkapan itu, bagi manusia, adalah dengan berpikir (thinking). Manusia sebagai ek-sistensi, dengan begitu, adalah manusia sepanjang terikat oleh pemikiran, karena pemikiran dibangun di atas rumah Ada, yang tidak lain adalah bahasa.
Dalam LH, ada satu pertanyaan yang berkaitan dengan sisi praksis: Jika pemikiran yang menimbang kebenaran Mengada mendefinsikan esensi humanitas sebagai ek-sistensi, apakah pemikiran itu hanya berkutat pada sisi teoritis saja; ataukah ada sisi yang bisa diaplikasikan ke kehidupan nyata? Heidegger menjawab bahwa berpikir tidak bersifat teoritis maupun praktis. Pemikiran sudah berdiri tegak sebelum ada pemisahan antara yang teoritis dan yang praktis. Berpikir adalah mengumpulkan ulang (recollenting) Ada.
Dalam LH, Heidegger sedang mengupayakan restorasi makna humanisme. Meski tak terkait secara eksplisit dengan masalah perang, namun secara prinsipil Heidegger mengajak orang untuk kembali kepada eksistensinya dengan cara berpikir. Di akhir LH, Heidegger berkata: “Apa yang dibutuhkan di dunia yang krisis sekarang ini bukanlah filsafat, melainkan perhatian lebih dalam berpikir.” Krisis di sini bermakna amat luas, termasuk perang dan kejahatan kemanusiaan, yang mana terbukti tidak bisa diredam dengan filsafat.
Krisis dapat dibendung jika manusia benar-benar menjadi Dasein yang autentik.
Penutup
Terlepas dari perdebatan antara Sartre dan Heidegger, eksistensialisme dengan maknanya yang jernih, adalah suatu panduan (kendati tidak terlalu teknikal dan praktis) untuk menemukan kemanusiaan manusia di tengah gurun globalisasi, nomadisme informasi dan ekonomi, krisis lingkungan, dan absennya nilai-nilai (nihilisme). Perang barangkali sama tuanya dengan manusia yang secara faktis tak mungkin diredam. Fokus perhatian filsafat (berpikir—Heidegger) bukanlah secara politis dapat mewujudkan kedamaian, melainkan bersibuk diri dengan eksistensi diri sendiri, sehingga tak ada waktu untuk mewujudkan perang, menghancurkan dunia-bersama (Mitsein). Dan kutipan F. Budi Hardiman dalam Heidegger dan Mistik Keseharian akan tepat untuk mengakhiri presentasi ini:
“Dasein bukanlah subjek atau cogito yang murni dari segala pengalaman konkret dan menjadi originator kenyataan di luarnya, seperti dibayangkan oleh rasionalisme abad ke-17. Dasein juga bukan Vernunft (rasio) layaknya Pencerahan abad ke-18 yang berambisi untuk menjelaskan segala pelosok realitas secara ilmiah atau memprediksi gejala di masa depan demi tujuan bernama progress. Akhirnya, Dasein juga bukan emansipator sejarah seperti dibayangkan di abah ke-19 oleh Karl Marx. Humanisme universal, subjek, rasio, dan emansipasi adalah ide-ide yang tumbuh dalam konteks Besorgen das Man, yang tidak hanya merintangi kontak dengan Ada tetapi juga ditandai dengan kelupaan akan Ada (Seinvergessenheit). Mengapa? Ide-ide itu terperangkap dalam pola hubungan manusia dengan dunia piranti (Zuhandene) dan benda-benda (Vorhandene), yakni memakai, memanipulasi, mengkalkulasi, mengobjek, dan seterusnya. Ini semua khas mentalitas yang banyak beroperasi di pusat-pusat perdagangan dan kuil-kuil konsumerisme serta hedonisme di metropolis.” (hal. 151-152)
M.S Arifin. Alumni Universitas Al-Azhar Mesir

