Al-Qur’an dan Ateisme
dompetalquran.or.id

Al-Qur’an dan Ateisme

Oleh: M.S Arifin

Kita tidak akan menemukan istilah dalam Al-Qur’an yang secara konseptual mewakili kata ateisme dewasa ini. Al-Qur’an tidak pernah berdebat dengan kaum ateis, karena pada zaman tersebut orang-orang yang dihadapi oleh Al-Qur’an tidak ada yang sama persis seperti bentuk dan variasi ateisme sekarang. Kata ‘kufur’ sendiri (kita sering mendengar dalam kata subjek: kafir Quraish atau Makah), sebetulnya adalah kaum yang menyembah Tuhan berupa berhala. Artinya kafir Quraish dalam kosakata dewasa ini tidak bisa dikelompokkan ke dalam jajaran ateis. Lalu apakah itu berarti Al-Qur’an tidak bisa membantah ateisme yang muncul di abad-abad berikutnya? Atau apakah Al-Qur’an punya pandangan sendiri soal ‘fenomena ketakbertuhanan’ manusia? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan memakai analisis semantik (baik diakronik maupun sinkronik) terhadap konsep Al-Qur’an tentang kata ‘kufr’, sekaligus membawanya kepada analisis realionalistik kata ateis belakangan ini.

Semantik adalah cabang ilmu Linguistik yang mempelajari tentang makna kata dan kalimat. Semantik sendiri dibagi menjadi dua: (1) diakronik, yakni mencari makna kata berdasarkan perkembangan dalam pemakaiannya; dan (2) sinkronik, yakni mencari makna kata berdasarkan pemakaiannya pada kurun waktu tertentu. Tiap kata memiliki konsep yang dipakai oleh penuturnya. Dan kata ini melintasi sejarah dan mengalir dari satu penutur ke penutur lain. Konsep atau makna kata sering bergeser akibat perbedaan penutur, adakalanya menyempit dan adakalanya meluas. Kata ‘tablet’, misalnya, sudah digunakan semenjak masa Babilonia kuno untuk menyebut lempengan tanah liat yang bertuliskan suatu informasi: kejadian, undang-undang, adat istiadat, dst. Namun, dewasa ini kata ‘tablet’ mengalami pergeseran makna, seperti (1) obat dalam bentuk butiran atau pipih, dan (2) perangkat bergerak yang berbentuk datar dan persegi panjang menyerupai majalah, biasaya memiliki layar sentuh, digunakan untuk mengakses internet, menonton video, membaca buku elektronik, dan sebagainya. (KBBI VI).

Untuk kepentingan tulisan ini, saya akan membedah makna ‘kufr’ dalam Al-Qur’an dalam kerangka medan semantik, baik diakronik maupun sinkronik. Al-Qur’an menyebut kata ‘kufr’ (dengan bentuk leksikom yang bermacam-macam) sebanyak 525 kali. Dalam penggunaan Al-Qur’an, kata ini merujuk kepada beberapa makna. Misalnya, ‘kufr’ bermakna mengingkari ajaran Nabi, mengingkari keesaan Tuhan, mengingkari nikmat, mengingkari ajaran Nabi dengan hati meski lidahnya mengaku beriman, dan lain sebagainya. Makna yang bermacam-macam ini sebetulnya terpadu dalam satu konsep: ingkar. Dalam semantik Al-Qur’an, kata ingkar mengandung konsep ‘kesesatan’ (dlalal). Toshihiko Izutsu dalam bukunya ‘Relasi Tuhan dan Manusia’ menyatakan bahwa kata ‘sesat’ berada dalam medan semantik ‘kufr’, yang artinya ada keterkaitan konsep antara kedua kata tersebut. Bahkan jika ditarik dalam konsekuensi logis, boleh dikatakan bahwa ‘setiap orang kafir pasti sesat’ dan ‘tiap orang sesat pasti kafir’. Tentu kita harus memahami kata ‘kufr’ (kafir) ini dalam sistem sinkronik Al-Qur’an, bukan penyebutan adati yang mengalami pergeseran makna dalam sistem diakronik, bahwa ‘tiap kafir pasti bukan muslim’. Dan tentu pula bahwa kata sesat (dlalal) harus dipahami dalam konsep Al-Qur’an sebagai ‘yang menyimpang dari jalan kebenaran’. Dan, akhirnya, nanti, konsep ‘dlalal’ harus terhubung secara logis dengan kata ‘istaqama’ (mustaqim) sebagai lawan dari sesat (dlallin).

Dalam tinjauan tafsir, makna ‘kufr’ yang setara dengan ateisme adalah ‘kufr ingkar’, yakni orang yang mengingkari keberadaan Tuhan, Rasul, dan seluruh ajaran yang dibawanya. Sesungguhnya Al-Qur’an tidak pernah mengkonsep makna ‘kufr’ semacam ini. Bagi Al-Qur’an orang yang menolak keberadaan Tuhan (sesembahan) itu tidak ada. Tentu saja kata Tuhan di sini haruslah jernih dalam terang medan semantik Al-Qur’an. Dalam medan semantik Al-Qur’an, konsep Tuhan tidak selalu merujuk kepada personalitas tertentu: berhala, Fir’aun, Allah, dst. Tuhan dalam semantik Al-Quran bisa merujuk kepada pihak internal maupun eksternal. Apa prameter internal dan eksternal di sini? Parameternya adalah manusia karena hanya manusia (atau subjek berkesadaran) yang memiliki konsep tentang segala hal. Dari konsep ini nantinya timbul sikap afirmasi maupun negasi. Al-Quran menyebut pihak eksternal dalam terang non-personal di dalam QS. Al-Jatsiyah: 24, yang berbunyi:

“Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.”

Masa atau waktu yang tertuang dalam ayat di atas merujuk kepada ‘kekuatan’ (force) eksternal dari manusia yang berkuasa atas kehidupan dan matinya. Mereka sering disebut, dalam arkeologi Ilmu Kalam, sebagai kaum ‘dahriyyun’. Jika kita menilik ayat ini dalam medan semantik Al-Qur’an, maka sesungguhnya kaum ‘dahriyyun’ bukanlah kaum ateis dalam konsep dewasa ini. Sementara itu, pihak internal dari manusia yang disebut Al-Qur’an tertuang dalam QS. Al-Jatsiyah: 23, yang berbunyi:

“Tahukah kamu (Nabi Muhammad), orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan dibiarkan sesat oleh Allah dengan pengetahuan-Nya.”

Di dalam ayat tersebut Al-Qur’an dengan jelas menyebutkan bahwa orang-orang kafir tersebut menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan. Hawa nafsu adalah sesuatu yang internal bagi manusia. Ia bukanlah personalitas, melainkan suatu daya yang laten dalam diri manusia itu sendiri. Berarti, kesimpulannya, konsep Tuhan, dalam semantik Al-Qur’an tidak harus merujuk kepada individu (baik berkesadaran seperti Fir’aun, maupun takberkesadaran seperti berhala). Tuhan, dengan demikian, memuat makna penyifatan (manusia) atas segala yang dianggap punya kekuatan. Dalam bahasa Al-Qur’an, penyandaran sifat Tuhan (dan sesembahan) memakai kata ‘ittakhadza’ yang artinya mengambil atau menjadikan. Artinya, manusia sendirilah yang menjadikan sesuatu sebagai Tuhannya.

Lalu bagaimana dengan ateisme dalam maknanya dewasa ini? Apakah Al-Qur’an luput dalam membantah ateisme? Jika iya, berarti Al-Qur’an—yang menanamkan keyakinan tauhid—tidak menjalankan fungsinya sebagai kitab petunjuk (hidayah). Namun jika tidak, lantas bagaimana Al-Qur’an menanggapi fenomena ateisme dewasa ini?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya akan membedah semantik kalimat “Tuhan Tidak Ada”. Alasannya adalah bahwa ateisme, sebagaimana yang ditulis oleh Lorens Bagus dalam ‘Kamus Filsafat’, didefinisikan sebagai ‘keyakinan bahwa Tuhan, atau dewa/dewi tidak ada’ (hal. 94). Bagi saya, kata kunci dalam definisi ateisme ada pada diksi ‘keyakinan’. Seobjektif apa pun seorang ateis membuktikan (meneliti) tentang ketidakadaan Tuhan, tetaplah mereka mendasarinya dengan sebentuk keyakinan. Di sinilah saya akan membedah konsep ateisme dalam terang medan semantik. Dalam semantik, tiap kata memiliki konsep yang dependen. Satu konsep berdiri di atas konsep lain atau satu konsep memuat konsep lain. Seperti kata ‘kufr’ dalam medan semantik Al-Qur’an yang memuat konsep ‘sesat’, kata ‘keyakinan’ juga memuat konsep lainnya. Apa itu? Keyakinan memiliki kaitan dengan konsep intensi. Intensi adalah keterarahan kepada objek. Berarti harus adalah subjek yang mengintensi. Intensi sendiri berdiri di atas pondasi ‘kesadaran’ (Husserl—intensionalitas). Seorang subjek mengarahkan kesadarannya kepada suatu objek untuk ia yakini. Dalam intensionalitas itulah muncul subjeksi yang memiliki aksi laten berupa afirmasi dan negasi. Dalam mengarahkan kesadaran kepada objek semisal ‘kuda bersayap’, kesadaran akan menindaklanjutinya dengan afirmasi atau negasi. Apakah kuda bersayap (pegasus) itu ada dalam kenyataan? Subjek bisa mengatakan “iya” (afirmasi) atau “tidak” (negasi). Nah, ternyata, subjeksi sangatlah terbatas pada apa yang pernah diamati oleh subjek. Orang akan mengatakan pegasus itu tidak ada jika kesadarannya tidak pernah menemukan hewan dengan bentuk tersebut. Hal ini juga berlaku kepada semua jenis subjeksi, termasuk Tuhan.

Terlepas sebagai sosok individu atau bukan, kata Tuhan tentunya merupakan suatu konsep. Meskipun pegasus itu tidak ada (negasi) atau belum ditemukan, ia tetaplah memiliki konsep tertentu. Tuhan (sebagai individu), yang dinegasikan (diingkari) oleh kaum ateis memiliki konsep yang terpahami oleh kesadaran intensional manusia, bahwa Tuhan itu begini dan begitu. Dalam konteks ateisme modern, terutama dari kalangan positivisme, Tuhan yang dinegasikan oleh mereka adalah sosok gaib yang mengatur alam semesta dari luar. Mereka menolak Tuhan jenis ini. Ketika mereka mengatakan “Tuhan tidak ada”, mereka merujuk kepada Tuhan gaib. Berarti dalam konteks ini, Tuhan yang dimaksud oleh mereka ada Khalik dan Rabb, Tuhan yang menciptakan dan merawat alam. Berarti konsep relasional Tuhan dengan alam adalah konsep pencipta dan ciptaan. Dalam kedua konsep ini, secara semantis, terdapat konsep asal usul alam semesta. Kaum teis akan menjawab bahwa ada dzat yang menciptakan alam ini, sementara ateis mengatakan bahwa alam semesta ada dengan sendirinya.

Ketika seorang ateis dari kalangan positivisme meyatakan bahwa “tuhan tidak ada”, sebenarnya mereka sedang melakukan subjeksi atas objek yang tidak bisa mereka temukan lewat metodologi mereka. Negasi mereka atas keberadaan Tuhan adalah negasi terhadap ‘konsep’ Tuhan. Sama halnya seperti orang yang menegasi konsep pegasus dengan dalih bahwa mereka tidak pernah menemukan hewan semacam itu dalam penelitian mereka. Jadi, penolakan atau penegasian terhadap Tuhan akan selalu mengarah kepada keyakinan. Keyakinan ini didasarkan pada keterbatasan subjeksi mereka. Dalam konteks semantik Al-Qur’an, ateisme jenis ini meyakini adanya konsep ketuhanan yang lain. Dan, lagi-lagi harus saya tegaskan, konsep ketuhanan tidak harus merujuk kepada sosok atau individu (entah gaib atau nyata). Dengan kata lain, ateisme dewasa ini masuk ke dalam jajaran teisme dalam terang semantik Al-Qur’an yang terwakili oleh kata ‘kufr’ dan ‘kafir’.

Sudah disinggung di atas bahwa ada jenis ‘kufr’ yang mentikberatkan pada pihak eksternal nonindividu/nonpersonal. Al-Qur’an menyebutkan kata ‘halaka’ (lihat lagi QS. Al-Jatsiyah: 43) yang berarti rusak atau musnah. Medan semantik dari kata ‘halaka’ adalah ‘khalaqa’ yang berarti tercipta/mewujud. Al-Qur’an menyatakan bahwa penyebab kerusakan adalah ‘dahr’ yang berarti masa atau waktu. Kata ‘halaka’ dan ‘khalaqa’ mengandung konsep berupa ‘perubahan’. Konsep perubahan tak mungkin terpahami tanpa konsep ‘waktu’. Berarti waktu menjalin intensi relasional terhadap kata ‘halaka’ dan ‘khalaqa’. Dalam ayat itu pun disinggung tentang konsep perubahan dalam diri manusia, yaitu hidup dan mati. Mati mewakili kata ‘halaka’. Dalam hal ini, manusia adalah bagian dari alam semesta. Ia merupakan mikro kosmos. Manusia dan alam semesta (makro kosmos) dipeluk oleh hukum perubahan dalam waktu. Nah, jika kerusakan dan penciptaan identik dengan waktu, maka ateisme dewasa ini termasuk ke dalam jenis ‘kufr’ ini. Seorang ateis yang menyatakan bahwa alam semesta menciptakan dirinya sendiri atau tercipta dengan dirinya sendiri (lewat Big-bang atau teori evolusi) sebenarnya tengah mendewakan alam semesta itu sendiri. Jenis pendewaan di sini tidaklah berupa penyembahan dan pengkultusan, karena kaum ‘Dahriyyun’ pun tidak menyembah waktu, namun pendewaan di sini bermakna ‘meyakini’ kekuatan alam sebagai ‘pencipta’ dan ‘penghancur’, baik bagi alam makro kosmos maupun mikro kosmos (manusia). Kaum ateis pun tidak lepas dari meyakini adanya kekuatan yang mengatur semesta. Kata apakah yang mewakili ‘kekuatan yang mengatur alam semesta’? Tuhan, Rabb, Khalik!

Jadi, menurut Anda, adakah orang yang ateis?

M.S Arifin. Alumni Universitas Al-Azhar Mesir

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *