Di Raudah, Madinah Al-Munawwarah
jatim.nu.or.id

Di Raudah, Madinah Al-Munawwarah

Oleh: M. Faizi

Berziarah ke Raudah, sowan pada Rasulullah, adalah keinginan setiap peziarah Haramain. Meskipun sai dan tawafnya dilaksanakan di Mekkah, tapi berkunjung ke Madinah adalah bagian tak terelakkan dari kegiatan ritual ini. Sebagian orang bahkan sangat menggebu-gebu untuk bisa berziarah ke makam tersebut hingga berkali-kali.

Banyaknya peziarah umroh yang membeludak sejak adanya pembatasan haji membuat kunjungan ke Raudah juga dibatasi. Setiap orang dapat menggunakan aplikasi Nusuk dan rombongan dapat menggunakan fasilitas “tashrih” dari penyelenggara atau travel. Akan tetapi, acapkali, sebagaimana aplikasi itu, tashrih pun tidak diperoleh sehingga kesempatan berkunjung pun tidak dapat. Peziarah hanya bisa ziarah, melintas saja sambil berdoa dan menyampaikan salam titipan daripada sanak kerabatnya. Tidak perlu cemas. Tubuh saja yang tertahan, kalau niat pasti tetap masuk ke dalam.

Kebetulan, saya dan rombongan ENKA MADURA dapat giliran masuk pada hari Rabu kemarin, 5 Februari 2025, terjadwal 13.30, selepas shalat duhur. Saat antrian, tiba-tiba satu anggota kami, raib, entah ketelisut di mana. Ustad Wafi, sang pembimbing, pun bingung. Karena antrian mengular, terpaksa kami dikeluarkan dari barisan oleh petugas masjid: memulai antrian dari awal. Saya merasa kasihan,sementara saya mendorong Pak Mujarrab dengan kursi rodanya, dia sudah sepuh sedang putrinya jelas tidak bisa masuk, sedangkan Pak Mulaki belum kelihatan juga.

“Hei, Pak. Entar kaimma Sampeyan?” kata salah seorang dari kami saat Pak Mulaki tampak. Beliau tersenyum, tapi kecut.

“Toreh, bharis pole, ja’ apesaan,” kata Ustad Wafi.

Akhirnya, kami pun bisa masuk Raudah. Bahagianya tidak bisa dituliskan di sini.

Bagi saya, lumayan berat mendorong kursi roda di atas karpet tebal, tapi ternyata ‘bayaran’-nya impas: kami dapat prioritas, masuk lebih awal, keluar lebih akhir, juga lebih dekat ke البقعة الشريفة ketimbang yang lain. Dalam pada itu, saya mendoakan semua teman, orang-orang yang mengiringi keberangkatan saya, orang-orang yang “titip salam”, sampai-sampai saya lupa untuk memohon untuk diri sendiri kecuali ala kadar.

Saya pun tertegun di luar, memandang kubah perak yang memayungi mihrab dan kubah hijau yang menjadi penanda rumah Beliau yang posisinya bersisian. Dari jauh saya memandang, lalu mengenang perjalanan panjang dari Mekkah ke Madinah, diancam, diusik, dicaci, tapi beliau justru membangun Yatsrib menjadi kota tamaddun, kota peradaban yang cemerlang: Al-Madinah al Munawwarah.

Saya teringat tulisan Buya Hamka, “Empat Bulan di Amerika”, yang sebagiannya menggambarkan bagaimana negara adikuasa yang mengasongkan demokrasi dan kesetaraan ke seluruh dunia itu masih menunjukkan perbedaan rasial pada 70 tahun yang lalu, yang secara nyata tampak pada para penumpang kulit hitam yang tetap merasa inferior dan selalu duduk di belakang di atas angkutan umum. Kasus serupa bahkan masih banyak terjadi di akhir abad lalu, eh, bahkan mungkin hari ini.

Lalu, saya memandang Raudah dan melupakan agama dan atau apa pun itu namanya, lalu menghadirkan sesosok yatim yang telah mengajarkan kesetaraan 14 abad silam, menentang perbudakan, mengagungkan kemanusiaan, sehingga banyak pemikir Timur dan Barat, yang muslim maupun tidak, dari Iqbal sampai Rilke, dari Annimarie sampai Goethe, menyatakan utang budi umat manusia pada jasanua. Itulah dia, Nabi Muhammad saw.

“Mana bukti fotonya?” ada yang bertanya.

Maaf, saya tidak membuat dokumentasi apa pun di dalam. Terlalu banyak pujian yang harus disampaikan, terlalu sedikit waktu yang diberikan. Seperti hidup yang singkat ini, terlalu sayang jika dihabiskan tanpa banyak bersyukur.

M. Faizi. Sastrawan Indonesia

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *