Memeluk Agama: Ketinggalan Zaman?
liputan6.com

Memeluk Agama: Ketinggalan Zaman?

Oleh: M.S Arifin

Agama tidak pernah menghadapi tantangan segenting detik ini. Sebabnya tidak lain adalah banyaknya saintis yang tidak belajar filsafat. Kenapa dalam hal ini justru filsafat menjadi penting? Kita tunda dulu jawaban atas pertanyaan ini. Mari kita bahas dulu sejarah perkembangan sains. Para pengkaji metodologi dan filsafat sains berbeda pendapat tentang sejarah perkembangan sains. Para penganut positivisme seperti August Comte berpendapat bahwa sains berkembang secara akumulatif, yakni proses perkembangan sains yang dimulai dari penemuan-penemuan sebelumnya.

Artinya, sains berkembang secara bertahap dari generasi ke generasi. Satu teori dibangun dari dan membangun teori lainnya. Tetapi bagi Thomas Kuhn, perkembangan sains tidak bersifat akumulatif, melainkan secara revolusioner. Dalam bukunya ‘The Structure of Scientific Revolutions’, Kuhn menjelaskan bahwa sains bermula dari paradigma para saintis yang menyatukan mereka dalam memandang dunia, kemudian menuju sains normal (normal science), sampai akhirnya muncul anomali data dan krisis pemecahan yang mengantarkan kepada revolusi dalam bidang sains.

Dalam konteks sejarah sains, August Comte tidak sepenuhnya keliru. Pengetahuan manusia itu memang bersifat akumulatif, di mana pengetahuan dibangun dan membangun pengetahuan lainnya. Tetapi Comte keliru dalam konteks metodologi sains. Baginya, sains itu dibangun dari metode verifikasi. Jika suatu teori sudah terverifikasi kebenarannya lewat pengamatan dan penelitian, maka teori itu bisa menjadi dasar dari teori setelahnya. Artinya, suatu teori dapat dibenarkan dan menjadi pegangan jika sudah dibuktikan kebenarannya.

Karl Popper mengajukan teori ‘falsifikasi’, di mana suatu teori dianggap benar ketika diajukan berbagai ‘penyangkalan’ yang bisa membuktikan teori tersebut salah. Semakin banyak falsifikasi diajukan bagi suatu teori, maka semakin kecil kemungkinan teori tersebut bisa salah. Comte juga keliru dalam pandangan Kuhn karena mengesampingkan kesatuan paradigma yang dipeluk oleh sekelompok orang. Kesatuan paradigma ini menjadi titik tolak penting bagi kelahiran dan perkembangan sains dari masa ke masa.

Dari August Comte inilah muncul suatu pandangan yang minor tentang agama. Selain sebagai salah satu bapak positivisme, Comte juga merupakan seorang sosiolog. Pandangannya tentang agama berada di jantung positivismenya. Bahwa perkembangan manusia itu melalui tiga tahap: (1) tahap teologis, di mana manusia memandang bahwa alam semesta diatur oleh hal gaib (Dewa, Roh, Tuhan); (2) tahap metafisis, di mana manusia memandang bahwa setiap gejala alam memiliki inti kekuatan yang melatarbelakanginya (tidak harus berupa person); dan (3) tahap positif, di mana manusia berpikir secara ilmiah dalam memandang setiap kejadian melalui fakta dan uji verifikasi yang ketat.

Dari pandangan Comte inilah para saintis sekarang (atau bahkan psudo-saintis) mengajukan gugatan terhadap agama, bahwa era revolusi sains menekan agama untuk berkomentar terhadap setiap kejadian, termasuk di antaranya asal mula alam semesta. Agama, akhirnya, dipandang sudah ketinggalan zaman. Ketika segala gejala di alam semesta (baik mikro maupun makro) sudah bisa dijelaskan oleh sains, maka tak ada tempat lagi untuk agama. Dengan kata yang lebih singkat, agama sudah tak berguna lagi.

Apakah benar bahwa sekarang ini memeluk agama sama dengan ketinggalan zaman?

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya mengajukan dua mukadimah. Pertama, kita harus menjernihkan lagi soal definisi agama. Dari definisi yang jernih dan tepat, nanti akan bisa kita lihat peran agama dalam kehidupan manusia di zaman kapanpun, tidak saja di zaman pra revolusi sains, tapi bahkan di zaman post-sains.

Dalam kitab Ad-Din, Syaikh Abdullah Draz, meneliti tentang definisi dan hakikat agama dari berbagai penjuru dunia, baik dari segi sejarah maupun filosofis. Abdullah Draz menemukan bahwa banyak sekali kekeliruan para pengkaji agama dalam mendefinisikan agama. Para pengkaji itu—yang sebagian besar dari ilmuan Barat—mendefinisikan agama dari pengandaian eksternal di luar hakikat agama itu sendiri, ada yang melalui filsafat (Herbert Spencer), sosiologi (Emile Durkheim), dan psikologi atau psikoanalisis (Sigmund Freud). Bagi Draz, definisi agama melalui hal eksternal di luar hakikat agama ini akan terjebak pada pemaksaan definitif, sehingga sifat integral (syumul) dan universalnya (kulli) hilang.

Alhasil agama hanya dinilai dari ‘sikap beragama’ (tadayyun) sekelompok manusia. Maka, bagi Draz harus ada pemisahan antara agama (din) dan beragama (tadayyun). Lantas Draz mengajukan definisi agama yang baginya berlaku integral dan universal, yaitu “peletakan (produk/tuntunan) yang bersifat metafisis (ilahiyah) yang mengantarkan kepada kebenaran (al-haq) dalam berkeyakinan dan kebaikan (al-khair) dalam bermoral (suluk) dan berinteraksi (muamalah).” Definisi inilah yang bagi Draz mencakup semua agama, baik samawi maupun natural. Titik persinggungannya terdapat pada keyakinan adanya kekuatan metafisis yang mengatur hukum alam. Definisi ini pulalah yang nantinya mengantarkan kepada jawaban atas pertanyakan di atas.

Kedua, kita harus menjernihkan makna ‘ketinggalan zaman’ dalam rangkaian diksi ‘memeluk agama’. Penjernihan itu bisa kita tempuh lewat penyangkalan atas teori August Comte. Tampaknya memang kontradiktif bahwa dalam pandangannya Comte menekankan kepada fakta dibanding opini dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Karena justru dalam teorinya tentang tahapan perkembangan manusia (teologis—metafisis—positif) Comte justru hanya berpegang pada opininya.

Kenapa demikian? Abdullah Draz dalam ‘Ad-Din’ menyangkal Comte dengan menyatakan bahwa justru jika dilihat secara historis teori Comte terbukti keliru. Draz mengajukan beberapa bantahan. Pertama, dari segi historis, perkambangan manusia melalui tiga tahap tidak berjalan gradual dan lempeng. Sering ada hentakan sejarah tak terduga, misalnya revolusi Copernicus saat tragedi ‘permusuhan antara sains dan agama’ di Eropa. Bukankah dengan demikian sampai detik ini pun manusia belum atau bahkan tidak sepenuhnya menjadi positif (dengan meninggalkan tahap teologis dan metafisis)! Teori Comte ini akhirnya gugur dengan fakta yang terjadi. Kalau Comte menganggap perkembangan manusia detik ini sudah sampai kepada tahap terakhir, kenapa banyak sekali orang yang masih memeluk agama? Dan toh, dengan memeluk agama, manusia tidak kehilangan sikap positifnya seratus persen). Kedua, dalam tingkat pribadi pun, secara faktual, manusia tidak meninggalkan pandangan mistisnya ketika beranjak usia dewasa.

Bahkan secara pribadi pun manusia dewasa ini mulai bisa memilah kapan harus positif (misalnya ketika sakit berobat ke dokter, bukan ke dukun), kapan harus metafisis (misalnya ketika memaknai hidup secara filosofis), dan kapan harus teologis (misalnya ketika mengakui qadla’ dan qadar dalam posisi tertentu). Pendek kata, teori Comte adalah klaim belaka yang tidak didukung fakta ilmiah. Dan oleh karenanya, memeluk agama tak pernah ketinggalan zaman.

Di muka telah saya singgung tentang pentingnya filsafat bagi para pegiat sains. Kenapa? Dengan belajar filsafat, para saintis tak akan congkak bahwa ilmu mereka akan bisa menjawab segalanya. Detik ini sains sudah berada di tahap spesialisasi, bahkan spesialisasi atas spesialisasi. Ilmu tentang mata (oftalmologi) sudah memisahkan diri dari fisiologi. Ketika ilmuan mata disuruh untuk menjelaskan kaita integral antara mata dengan seluruh sistem dalam tubuh mereka bungkam. Mereka akan bilang “kami hanya mengurusi mata, dan tidak mengurusi kaitannya dengan tubuh manusia, apalagi kaitan psikologisnya.”

Maka yang terjadi adalah sparasitas ilmu. Tak ada lagi kesatuan (unity) antar-ilmu, sehingga mereka akan mengabaikan faktor lain yang sebenarnya bersifat integral dalam diri manusia. Itulah yang terjadi dengan, misalnya, Dr. Ryu Hasan, seorang ahli bedah saraf otak. Ia dengan tegas menolak filsafat apalagi agama. Ia mendeklarasikan diri sebagai agnostik. Baginya segala gejala individu hanyalah urusan kerja saraf dalam otak. Ia akhirnya menyepelekan faktor lain di luar bidang kajiannya.

Separatisitas di antara sains juga mengantarkan kepada universalitas yang trivial. Alhasil, para saintis terjebak pada penyederhanaan realitas yang sebenarnya kompleks. Sains hanya menjelaskan tentang ‘cara kerja’, baik benda mati maupun makhluk hidup. Sains bisa menjelaskan bagaimana makhluk hidup bekerja, bagaimana manusia berkembang, bagaimana otak berkerja, dst., tetapi para saintis lupa bahwa mereka tidak bisa ‘memaknai’ hidup itu sendiri. Baik, itu memang bukan kerja mereka. Tetapi kenapa mereka menolak disiplin lain yang tugasnya mencari makna hidup? Itulah kecongkakan saintis yang kedua; mereka tutup mata atas hal-hal faktual (butuhnya manusia memaknai hidup mereka) dengan cara menolak segala jenis pemaknaan yang nonilmiah (induksi, verifikasi, falsifikasi).

Padahal, pencapaian sains selalu terkait dengan ‘pemaknaan’ hidup manusia. Setelah jatuhnya bom atom di Hirosima dan Nagasaki, dan setelah tragedi kekejian Nazi Jerman, apa yang bisa mengontrol sains? Tidak lain adalah filosofis kehidupan yang menjadi ‘paradigama’ bersama seluruh umat manusia. Maka, dalam hal ini, Thomas Kuhn bisa kita pakai dalam mengarahkan perkembangan sains. Sains, bagi Kuhn, tidaklah bebas nilai. Ia sarat dengan kepentingan sosial dan politik. Kepentingan inilah yang menyetir sains untuk menuju ke perkembangan yang bagaimana. Fakta sejarah telah menyatakan bahwa sains pun akan menjadi destruktif jika dihadapkan dengan kepentingan politik (lihat kasus Proyek Manhattam). Dari sana, sains harus mau berkolaborasi dengan filsafat untuk memaknai kehidupan manusia. Tanpa makna ini, hanya dalam hitungan jam, manusia telah musnah dari muka bumi.

Apabila para saintis mau mempelajari filsafat (atau minimal mengakui filsafat sebagai bagain dari deskripsi atas kehidupan) maka mereka akan lebih mudah menerima agama. Kenapa? Dari segi objek materialnya, filsafat dan agama sebetulnya sama. Keduanya berbeda dari segi objek formalnya, yakni titik mula dan paradigma. Dari sisi titik mula, filsafat tidak memiliki kekuasaan (sulthah) yang bersifat ilahiah yang mengikat manusia untuk mengarahkan tujuan hidupnya. Filsafat hanya mengakui dimensi rasio sebagai satu-satunya kekuasaan bagi pencarian akan kebenaran. Adapun paradigmanya adalah paradigma kebebasan berpikir.

Filsafat mengajarkan manusia untuk mandiri dalam berpikir sehingga patokan yang mempersatukan adalah patokan intelektualitas dengan basis common sense (akal sehat). Agama memiliki titik mula berupa keyakinan penuh kekuatan ilahiah yang bijak bestari yang mengarahkan manusia kepada tujuan yang terbaik bagi mereka. Paradigma yang dipakai adalah paradigma kekuasaan orde-orde kitab suci (maupun ilham para penempuh jalan spiritual seperti Budha). Berarti, filsafat menjadi penting untuk jalan masuk menuju agama. Karena ambang batas filsafat adalah ambang batas rasionalitas umum; di seberang ambang batas itulah agama berbicara. Maka, menurut saya, dengan mempelajari filsafat kita bisa mengetahui batas wilayah sains dan sekaligus batas wilayah filsafat itu sendiri. Jika sains tidak mengurusi makna hidup, maka filsafat mulai ambil bagian.

Tetapi, bisakah makna hidup dapat final lewat deskripsi filsafat? Inilah ujung dari diskursus yang saya angkat. Manusia secara individual maupun sosial itu sangatlah kompleks. Secara individual, manusia itu bukan hanya makhluk pengindra (saintis), tetapi juga makhluk intelektual (filsuf) dan makhluk intuitif (agamis). Secara sosial, manusia tidak hanya makhluk yang mengobjek alam (saintis), tetapi juga makhluk yang mengobjek dirinya sendiri (filsuf) dan makhluk yang bertaut dengan keyakinan (agamis). Sampai detik ini manusia masih eksis di bumi bukan hanya karena ia tidak musnah akibat bencana (jatuhnya meteor, misalnya), tetapi juga karena mereka bisa memaknai hidupnya (untuk tidak saling memusnahkan lewat senjata pemusnah massal, misalnya). Lebih dari itu, manusia masih eksis sampai detik ini juga karena mereka memiliki keyakinan tanpa syarat akan masa depan umat manusia (untuk mengontrol individu dan sosial dari kemusnahan dengan cara patuh terhadap perintah tuhan).

Tanpa pengontrol yang bersifat mengikat secara informal, nafsu manusia bisa sangat destruktif. Sains tidak bisa menjalankan fungsi pengontrol tersebut, karena isu kemanusiaan sering lepas dari kendali kepentingan saintifik. Sains tidak mungkin peduli dengan perang yang terjadi di Eropa di abad yang lalu, pun tak mungkin mengurusi penjajahan yang terjadi di Palestina detik ini. Sementara itu, filsafat tak bisa sepenuhnya mengontrol individu manusia, lantaran tak ada sosok yang harus ditakuti oleh seseorang ketika ia berbuat kejahatan. Bagi filsafat, manusia harus bertanggungjawab atas dirinya sendiri, namun seringkali manusia tak bisa berpikir jernih nan filosofis atas tindakan spontan mereka. Pun jika akhirnya pandangan filosofis diadopsi untuk menjadi institusi kekuasaan yang mengikat, kita melihat hasilnya dari sejarah Komunisme Uni Soviet.

Pandangan filosofis itu akhirnya (1) menjadi alat pemuasan kekuasaan segelintir pemangku kebijakan (Lenin, Stalin, dst.) dan (2) menjadi alat untuk mengebiri warna negaranya untuk bebas berpendapat dan berekspresi (termasuk ekspresi beragama). Alhasil, agama menjalankan perannya di bagian ini. Dengan adanya keyakinan akan adanya Tuhan yang Maha Mengawasi dan juga keyakinan adanya kehidupan setelah mati, agama mampu menjalankan fungsi ‘kontrol’ terhadap individu dan sosial. Tegaknya sistem sosial sesungguhnya bukan atas dasar ancaman dipenjara ketika korupsi atau mencuri (hukum positif), tetapi justru atas dasar kesadaran individu atas konsekuensi tindakannya bagi kehambaannya di hadapan Tuhan dan nasibnya di akhirat kelak. Bayangkan, berapa banyak biaya yang dihemat oleh negara lantaran kontrol informal agama jenis ini? Maka, sebagai kalimat penutup, saya amat setuju dengan pernyataan Mary Wortley Montagu sebagaimana yang dikutip oleh Donald B. Calne dalam bukunya ‘Batas Nalar’ (Rationality and Human Behavior):

“Tidak bisa disangkal bahwa agama merupakan penghiburan bagi yang sengsara, penyejuk bagi yang sakit, dan terkadang penghalang bagi yang jahat; karena itu, barangsiapa hendak menggugat atau meremehkannya tanpa memberi pengganti yang sedikit-banyak sepadan, patut diperlakukan sebagai musuh bersama.”

M.S Arifin. Alumni Universitas Al-Azhar Mesir

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *