Oleh: Wahyu Setiawan
Islam Moderat dimaksudkan bukan sebagai sebuah mazhab pemikiran, namun lebih sebagai teori interpretasi sistematis terkait masalah hukum, teologi, etika, dan politik di dalam Islam. Istilah moderat yang tersemat dalam term Islam Moderat bukan dalam konseptualisasi pandangan teleologis Hegelian-Fukoyamian tentang sejarah atau waktu terkait keniscayaan perubahan, namun terbatas pada realisme kemungkinan perubahan.
Islam Moderat tidak mengklaim memiliki epistemologi komplit dalam interpretasi tradisi masa lalu. World-view kelompok moderat hanya menolak pandangan statis tradisi Islam yang dibangun Islam Puritan. Pemahaman Islam Moderat terhadap tradisi didasarkan pada premis fundamental bahwa sumber-sumber tekstual utama di dalam Islam (Al- Qur’an dan sunnah) merupakan subjek bagi proses interpretasi yang dikonstruksi manusia.
Terdapat pemilahan jelas antara agama dan pengetahuan keagamaan, antara Islam normatif dan Islam historis, antara sharī‘ah dan fiqh. Islam Moderat menyerukan bentuk interpretasi dengan analisis yang hati-hati terhadap asumsi dasar yang kompleks dalam hukum dan filsafat etis. Dibutuhkan pergeseran paradigma dan epistemologi dengan internalisasi ide dan konsep modern sebagai refleksi keragaman sumber dalam interpretasi teks.
Islam moderat menurut Abou El-Fadl, adalah mereka yang meyakini Islam, menghormati kewajiban-kewajiban kepada Tuhan, dan meyakini bahwa Islam sangat pas untuk setiap saat dan zaman, ṣāliḥ li kull zamān wa makān. Tidak memperlakukan agama laksana monumen yang baku, tetapi memperlakukannya dalam kerangka iman yang dinamis dan aktif. Konsekuensinya, Islam moderat menghargai pencapaian-pencapaian sesama Muslim di masa silam, untuk direaktualisasikan konteks kekinian.
Kebenaran tidak selamanya bersumber dan ada pada al-Qur’an dan sunnah, tetapi nalar (al-‘aql) juga dapat menemukan kebenarannya sendiri. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa kelompok ini menafikan kebenaran al-Qur’an dan sunnah. Hanya saja kebenaran tidak terletak pada teks lahiriah al-Qur’an dan sunnah, tetapi ada pada nilai-nilai dasar yang terkandung dalam kedua sumber tersebut. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman rasional dan juga penggalian atas nilai-nilai dasar yang terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah yang tentu tidak bisa dilakukan tanpa campur tangan nalar.
Dengan demikian, kelompok moderat mendudukkan nalar dalam posisi yang sangat penting dalam proses mencari kebenaran. Adonis mengidentifikasi kelompok ini sebagai pemikiran yang berdasarkan pada teks, namun melalui interpretasi yang membuat teks dapat beradaptasi dengan realitas dan perubahan. Dengan kata lain, melalui kerangka ‘Abid al-Jabiri sebagai kelompok yang berupaya melakukan pemaduan antara nalar bayānī dan burhānī.
Modernitas dan berbagai produknya dipandang Islam Moderat sebagai hasil dari proses trans-kultural, trans-sosial, dan trans-politik antar peradaban, bukan murni dan monopoli produk kebudayaan Barat. Islam Moderat tidak seperti Islam Puritan ataupun pendekatan berbasis mazhab yang memandang turāth (tradisi tekstual masa lalu) sebagai sesuatu yang statis, namun sebagai khazanah ilmiah yang bersifat dinamis. Kelompok ini berupaya menghubungkan antara masa lalu yang menghasilkan turāth dengan masa sekarang melalui interpretasi yang tetap menghadirkan turāth.
Hubungan dialektis antara masa lalu dan masa sekarang mengarahkan Islam Moderat untuk melakukan kajian terhadap turāth dalam kerangka masa sekarang, masalah kontemporer, dan kebutuhan yang dihadapi. Karateristik metodologis Islam Moderat berupa realisasi kebutuhan dalam kontekstualisasi sumber utama sharī‘ah (Al-Qur’an dan sunnah) yang tidak hanya berbasis disiplin ilmu tradisional namun juga antropologi, sosiologi, politik, ekonomi politik, psikologi, hermeneutik, dan disiplin ilmu modern lainnya.
Wahyu Setiawan. Dosen IAIN Metro Lampung