Talak Tiga dan Nikah Muhallil
detik.com

Talak Tiga dan Nikah Muhallil

Bagi suami diperbolehkan mentalak raj’i istrinya sampai dua kali, dan diperbolehkan kembali merujuk istrinya selama masa iddah. Ketika talak telah dijatuhkan untuk ke tiga kalinya maka terjadilah talak ba’in kubra, di mana suami tidak boleh merujuk istinya, dan tidak boleh menikahinya kembali kecuali setelah istrinya menikah dengan orang lain dan bercerai darinya, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Baqarah 229-230:

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آَتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (229) فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (230)

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”.

Sebab ayat ini turun adalah karena masyarakat Arab jahiliyah tidak memiliki batas dalam menjatuhkan talak. Terkadang seorang suami menjatuhkan talak pada istrinya kemudian merujuknya kembali. Jika suami ingin menyakiti istrinya, maka sebelum habis masa iddah dia segera merujuk, kemudian menjatuhkan talak lagi, begitu seterusnya. Maka ayat di atas diturunkan untuk melarang melakukan tindakan yang menyakiti wanita melalui talak.

Urwah menceritakan dari ayahyahnya tentang tradisi jahiliyah tersebut, “Ketika seorang lelaki menceraikan istinya, kemudian merujuknya kembali sebelum habisnya masa iddah, maka wanita itu kembali menjadi istrinya walaupun dia menceraikannya seribu kali. Seorang suami berangkat menemui istinya kemudian menceraikannya, kemudian dibiarkan sampai hampir habis masa iddahnya, setelah itu wanita itu dirujuk kembali, dan di ceraikan lagi. Lelaki itu berkata: demi Allah aku tidak akan tinggal bersamamu, juga tidak akan melepaskanmu untuk selamanya. Maka kemudian Allah menurunkan ayat di atas.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa talak raj’i, sebagaimana yang tersirat dalam ayat “wal muthallaqâtu yatarabbashna” dapat dilakukan dua kali. Ketika talak telah dijatuhkan, suami diberikan dua alternatif, dia boleh merujuk kembali dengan cara yang baik (ma’ruf) yaitu dengan niat yang baik untuk melanggengkan hubungan perkawinan dan bergaul dengan cara yang baik, atau melepaskan dengan cara yang baik (ihsan) yaitu dengan membiarkannya sampai habis masa iddahnya dengan tanpa terzalimi.

Kemudian ketika suami telah menjatuhkan talak tiga kali, maka wanita yang ditalak menjadi haram baginya sampai wanita tersebut menikah dengan lelaki lain dengan pernikahan syar’i yang sah, suami yang beru telah menyetubuhinya dan menggaulinya secara syar’i sebagaimana pada umumnya para suami menggauli istri mereka.

Maksud dari ayat “hattâ tankiha zaujan ghairah” adalah sampai wanita tersebut menikah dengan lelaki lain dengan pernikahan syar’i yang sah dengan tujuan membangun keluarga yang abadi, bukan pernikahan yang hanya diniatkan untuk muhallil agar suami pertama bisa kembali kepada istrinya. Selain itu suami kedua harus menyetubuhi perempuan tersebut dengan persetuhuhan hakiki dengan cara yang sah. Pemahaman tersebut berdasarkan pada hadis Rasulullah:

أَخْبَرَنِى عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ امْرَأَةَ رِفَاعَةَ الْقُرَظِىِّ جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه سلم، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَنِى فَبَتَّ طَلاَقِى، وَإِنِّى نَكَحْتُ بَعْدَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ الْقُرَظِىَّ، وَإِنَّمَا مَعَهُ مِثْلُ الْهُدْبَةِ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه سلم (لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِى إِلَى رِفَاعَةَ، لاَ، حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ وَتَذُوقِى عُسَيْلَتَهُ) (رواه البخاري)

Telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Aisyah telah mengabarkan kepadanya bahwa istri Rifa’ah al-Qurazhi datang menghadap Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Rifa’ah telah menceraikanku dan memutus perceraian denganku (talak tiga). Setelah itu, aku pun menikah dengan Abdurrahman bin az-Zubair al-Qurazhi, dan ternyata kelelakiannya hanyalah seperti ujung kain (tidak mampu menyetubuhiku).” Rasulullah SAW pun bersabda: “Sepertinya kamu ingin kembali rujuk dengan Rifa’ah, tidak, hingga laki-laki kedua merasakan madumu dan kamu pun merasakan madunya.” (HR. Bukhari).

Jika suami kedua menceraikan wanita tersebut, suami pertama boleh kembali menikahinya setelah masa iddah berahir menggunakan akad baru. Keduanya dinilai baik untuk menjalin hubungan pernikahan kembali selama memiliki dugaan akan mampu melaksanakan hak-hak Allah dan melaksanakan kewajiban kepada pasangannya dengan penuh amanah dan ikhlas. Sebaliknya jika keduanya memiliki dugaan ketika kembali membangun rumah tangga maka keduanya akan kembali pada kondisi sebelumnya, suami akan menyakiti istri, istri akan nusyuz, maka rujuk adalah sesutu yang tercela.

Sedangkan pernikahan at-tahlîl al-muaqqat (muhallil terbatas waktu), yaitu pernikahan yang dilakukan dengan tujuan menyela seorang wanita dengan suami pertamanya dengan syarat-syarat atau dengan kesepakatan ketika akad dan disertai dengan dengan niat. Pernikahan tersebut dinilai sebagai perbuatan maksiat yang pelakunya dilaknat oleh syarak. Pendapat di atas dianut oleh imam Malik, Ahmad, Stauri dan Dzahiriyah. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah pernikahan muhallil hukumnya sah namun makruh selama tidak disyaratkan dalam akad.

Pendapat pertama dinilai lebih sahih dan lebih baik diikuti karena banyak hadis yang melarang pernikahan muhallil. Imam Ibnu Katsir setidaknya menyebutkan tujuh hadis yang melarang pernikahan muhallil, diantaranya adalah hadis diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه سلم الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ. (رواه ابن ماجه)

“Rasulullah SAW melaknat lelaki yang menjadi muhallil dan muhallal lah” (HR. Ibnu Majah).

Hikmah dari syariat di atas adalah, untuk mencegah suami-istri agar tidak meremehkan hak-hak pasangan dan mencegah mereka untuk meremehkan urusan talak. Karena lelaki yang memiliki tabiat mulia dan jiwa yang terhormat, tatkala mengetahui bahwa istrinya tidak halal lagi baginya setelah terjadinya talak tiga kecuali setelah digauli oleh pria lain, maka dia tidak akan mudah menjatuhkan talak, tidak tergesa-gesa, tidak gegabah dan berusaha memperbaiki hubungan dengan istrinya dengan cara yang bijaksana.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *