Di kalangan penikmat tasawuf, tokoh sufi bernama Rumi kiranya sudah tidak asing lagi. Dia tidak hanya dikenal karena karya-karyanya yang menggugah jiwa, selain itu, dia juga meninggalkan warisan monumental berupa tarian sufi berputar yang hingga kini masih banyak dipraktikkan oleh sebagian umat Islam, terutama bagi mereka yang berminat dalam dunia kesufian.
Rumi dikenal memiliki nama asli Jalaluddin Muhammad Balkhi (1207-1273 M), namun beliau lebih masyhur dengan nama Jalaluddin Rumi. Rumi adalah seorang penyair sufi asal Persia. Hingga kini, karya-karyanya masih banyak dinikmati oleh sebagain umat Islam di seluruh dunia. Salah satu karya Rumi yang paling terkenal berjudul Matsnawi, kitab yang terdiri dari tujuh jilid ini berisi puisi-puisi cinta tentang kerinduan kepada Tuhan.
Tarian Rumi
Salah satu kontribusi besar Rumi dalam ilmu tasawuf adalah ia meninggalkan warisan berupa tarian sufi berputar yang hingga sekarang masih banyak ditemui di kalangan umat Islam. Tarian sufi ini dilakukan dengan cara berdiri dan berputar-putar sambil menghayati kehadiran Tuhan dalam diri sang mahluk.
Konon, tarian ini diciptakan Rumi untuk mengekspresikan kesedihannya saat ditinggal mati oleh sang guru bernama Syamsuddin Tabriz. Selama tiga hari tiga malam, Rumi menari berputar-putar untuk meluapkan kesedihannya, yang sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Tarian sufi atau juga dikenal dengan tarian Sema merupakan bentuk meditasi yang dilakukan oleh seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam tarian ini, para penari diharapkan dapat merasakan pengalaman batin dan melebur bersama sang Khalik. Untuk itu, mereka juga diharapkan bisa mencapai kesempurnaan iman dengan cara menanggalkan ego dan kesenangan duniawi.
Penulis sendiri pernah menyaksikan praktik tarian ini dalam sebuah acara kesufian di Pondok Pesantren Maulana Rumi asuhan Kiai Kuswaidi Syafi’i di Yogyakarta. Pondok ini dikenal sebagai tempat yang secara khusus mengkaji kitab-kitab Rumi seperti Matsnawi dan Fihi Ma Fihi. Bahkan pesantren ini pernah dikunjungi keturunan Rumi yang berasal dari Turki. Dalam sebulan sekali, pondok ini mengadakan rutinan kajian sufi bersama jamaah dari luar yang acaranya juga diiringi dengan tarian sufi tersebut.
Dalam praktiknya, sebelum murid-murid mulai menari, tarian mereka akan diiringi dengan musik. Kemudian para penari akan saling menangkupkan tangan dan membungkuk, sebagai bentuk mengakui nafas ilahi yang telah meniupkan nafas kehidupan dan ruh manusia. Selanjutnya, para sufi ini akan berputar-putar berlawanan dengan arah jarum jam sambil menengadahkan tangan agak ke atas.
Saat melakukan tarian sufi, sang penari dituntut untuk tenang, fokus, dan meninggalkan semua beban. Mata harus fokus menatap satu titik, senantiasa terbuka, dan tidak melirik. Sedangkan kepala tidak boleh bergerak, harus berada di satu titik dan tak boleh berpindah. Dengan cara ini, penari Sufi tidak akan merasa pusing, tak peduli berapa lama dia menari dan berputar.
Penari sufi dikenal memiliki kostum khas berupa baju jubah berukuran besar dengan bagian bawah seperti rok yang melebar dan menggunakan topi memanjang yang dikenal sebagai sikke. Di Timur Tengah, sikke dikenal sebagai perlambang batu nisan wali dan sufi. Jubah yang dikenakan juga memiliki warna yang bervariasi, ada yang putih, merah, atau hitam.
Setiap gerakan yang dilakukan selama penari melakukan tarian sufi memiliki makna filosofi tersendiri. Ada gerakan di mana tangan dibuka, sementara tangan satunya menutup. Itu bermakna ketika kita bersedekah dengan tangan kanan, tangan kiri tidak boleh mengetahuinya. Tangan menengadah juga sebagai bentuk meminta dan mendapat hidayah dari Tuhan. Gerakan berputar yang dilakukan oleh para penari ini juga menyimbolkan rangkulan kemanusiaan dengan cinta yang juga melambangkan putaran alam semesta dan putaran tawaf di Ka’bah.
Tampak jelas bahwa tarian sufi berputar memiliki makna yang sangat mendalam yang merupakan inti ajaran tasawuf. Dalam mempraktikkan dan menghayati tarian sufi ini, seorang hamba dapat merasakan kehadiran ilahi dan menikamati begitu lezatnya mendekatkan diri kepada Tuhan.
Kini tarian sufi ini telah dipraktikkan di berbagai belahan dunia, mereka yang gandrung dengan pemikiran Rumi sangat menyukai tarian ini. Dalam tarian ini, seorang hamba dapat betul-betul merasakan kehadiran ilahi yang seringkali sulit dijangkau oleh pengalaman manusia.
Dalam konteks tradisi Islam di Indonesia, tarian sufi ini bukan hanya secara eksklusif dipraktikkan dalam acara-acara keagamaan yang bercorak sufistik, tarian sufi ini juga sering dipraktikkan dalam acara-acara kebudayaan. Artinya, tarian ini telah menjadi bagian dari praktik budaya di Indonesia. Dan, tarian sufi ini menjadi bukti bahwa budaya Islam dapat bersinergi dengan budaya lokal dan dapat dijadikan sebagai sarana untuk memperkenalkan Islam kepada khalayak luas.