Review Kitab Maqashid al-Falasifah Karya Imam Al-Ghazali
youtube.com

Review Kitab Maqashid al-Falasifah Karya Imam Al-Ghazali

Oleh: Zaprulkhan

Salah satu karya Imam al-Ghazali yang berbicara tentang wacana filsafat adalah Maqashid al-Falasifah. Secara global, buku ini mendiskusikan wacana logika, metafisika, dan fisika. Imam al-Ghazali menguraikan sebagian besar persoalan logika, metafisika, dan fisika. Buku ini ditulis Imam al-Ghazali sebagai pengantar atau pintu masuk pada karya kritiknya, Tahafut al-Falasifah.

Namun yang dikritik Imam al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah hanya bidang metafisika dan fisika saja. Wacana yang dikritik juga hanya sebagian bidang metafisika dan sebagian kecil fisika. Dalam karya kritiknya, Tahafut al-Falasifah, Imam al-Ghazali tidak melakukan kritik terhadap logika. Tapi logika dibahas juga oleh Imam al-Ghazali secara cukup luas. Ternyata logika hanya dijadikan sebagai sarana dalam mewujudkan tujuan penulisan Tahafut al-Falasifah.

Tapi di sinilah kita bisa melihat sikap profesional Imam al-Ghazali yakni sebelum melakukan kritik Imam al-Ghazali ingin menunjukkan bahwa ia sangat menguasai subjek yang akan dikritiknya. Bayangkan saja untuk melakukan kritik filosofis ini, Imam al-Ghazali fokus mendalami subjek yang akan dikiriknya kurang lebih selama tiga tahun. Di sinilah kita bisa belajar pada sikap profesional Imam al-Ghazali dalam melakukan kritik.

Secara akademik, ketika seseorang hendak melakukan kritik terhadap pemikiran orang lain, sebenarnya ada syarat yang tidak mudah untuk melontarkan kritik tersebut. Salah satu syarat kritik yang berdasar harus didahului dengan suatu yang bisa kita sebut sebagai discernment yakni suatu pemahaman yang utuh terhadap wacana yang akan kita kritik. Pemahaman disini bukan hanya melihat produk suatu wacana ketika digulirkan, tapi juga menelisik latar belakangnya, epistemologi, dan metode atau pendekatan yang digunakan oleh orang yang menggulirkan wacana tersebut.

Dengan discernment ini, seseorang mampu membuat identifikasi atas unsur-unsur yang termasuk dalam satu argumentasi supaya menjadi jelas: ia sedang berbicara tentang apa dan menemukan hubungan antara satu unsur dan unsur-unsur lain, dengan maksud untuk mendapatkan satu gambaran yang menyeluruh tentang satu situasi wacana. Dengan kata lain, kita harus memahami juga konstruksi epistemologi wacana yang akan kita kritik.

Katakanlah misalnya, ada seorang sarjana yang menulis sebuah wacana dengan menggunakan pendekatan arkeologis, sosiologis atau historis misalnya. Lalu kita kritik dengan pendekatan normatif atau teologis, ya nggak konek. Nggak nyambung. Kritik kita nggak relevan.

Katakanlah, saya akan mengkritik suatu pemikiran atau diskursus yang digulirkan oleh tokoh A. Dalam menggulirkan diskursus tersebut, tokoh A ini misalnya menggunakan pendekatan pemikiran Abid Al-Jabiri dan Muhammad Arkoun, atau Abdullah Saeed dan Jasser Auda, atau Ian Barbour dan Holmes Rolston.

Ketika mengkritik wacana yang digulirkan oleh tokoh A tersebut, idealnya saya harus mendalami juga pemikiran Abid Al-Jabiri dan Muhammad Arkoun, atau Abdullah Saeed dan Jasser Auda, atau Ian Barbour dan Holmes Rolston. Saya harus membaca, mengkaji dan memahami dulu pemikiran para ilmuwan tersebut, sebelum saya mengkritik wacana yang digulirkan oleh tokoh A. ketika saya sudah benar-benar mengkaji dan memahami pemikiran para ilmuwan tersebut yang digunakan sebagai pendekatan oleh tokoh A dalam mengkonstruksi wacananya, saya baru absah melakukan kritik terhadap wacana yang digulirkan oleh tokoh A.

Tanpa memahami pemikiran para ilmuwan yang dijadikan sebagai pendekatan oleh tokoh A tersebut, maka kritik saya mentah. Kritik saya dangkal. Kritik saya hanya di permukaan saja. Kritik yang saya gulirkan bisa jadi hanya bersifat emosional dan sensasional, bukan kritik profesional dan subtsansial.

Tidak jarang kita menemukan para pengkritik dangkal dan emosional, bukan pengkritik profesional. Mereka hanya mengkritik produk jadi suatu wacana tanpa menelisik bangunan epistemologi yang menjadi struktur fundamental wacana tersebut. Ada metodologi atau pendekatan dari para ilmuwan yang relevan yang digunakan dalam mengkonstruksi wacana tersebut yang tidak dibaca, dikaji dan dipahami terlebih dahulu oleh si pengkritik. Karena itu, kritiknya menjadi dangkal, bahkan tidak mengena dan tidak relevan.

Bayangkan, ada seorang cendekiawan yang menulis suatu konsep pemikiran dalam buku berjilid-jilid misalnya. Lalu dikritik oleh seseorang di media sosial dengan narasi yang cuma 7-8 paragraf, atau sekitar dua halaman. Karena ada ratusan atau ribuan followernya yang meng-like, lalu ia merasa kritiknya sudah meruntuhkan bangunan argumentasi sang cendekiawan yang ditulis dalam buku yang berjilid-jilid itu.

Padahal bagi orang-orang yang benar-benar memahaminya, kritiknya amat sangat dangkal. Kritiknya cuma bersifat emosional, tidak mengenai substansinya dan tidak relevan. Kita yang memahami fatsoen akademik dalam mengkritik suatu wacana, cuma bisa senyum-senyum saja. Cuma mesem-mesem saja melihatnya.

Makanya dalam kultur akademik yang strict, melakukan kritik secara profesional itu tidak sembarangan dan tidak bisa juga dilakukan oleh setiap akademisi. Seorang sarjana atau akademisi yang akan mengkritik pemikiran sarjana lain seringkali membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Seorang kritikus profesional dituntut bukan hanya memahami produk diskursus yang akan dikritiknya, tapi juga harus memahami bangunan epistemologi yang menopang diskursus tersebut. Ketika ia tidak atau belum memahami bangunan epistemologi diskursus tersebut, seringkali si pengkritik mengurungkan niatnya atau mempelajari secara utuh terlebih dahulu konstruksi epistemologisnya.

Jadi, proses mengkritik suatu wacana itu bukan persoalan yang sederhana. Sayangnya, tidak sedikit pengkritik yang hanya mengkritik dari perspektif keilmuan yang dimiliki semata tanpa memahami struktur epistemologi keilmuan yang dikritiknya secara holistik. Hasilnya, bukan sebuah kritik profesional, tapi hanya suatu kritik amatiran.

Buku ini sangat layak dibaca siapa saja yang tertarik dengan filsafat Islam sebagai pembuka wawasan. Menariknya juga dalam buku ini ada klarifikasi atau penjelasan-penjelasan singkat dari pentahkik terhadap beberapa konsep metafisika, logika, dan fisika yang membutuhkan penjelasan. Pentahkik buku tersebut adalah Sulaiman Dunya salah seorang pakar filsafat Islam.

Zaprulkhan. Dosen IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *