Oleh: Zaprulkhan
Alkisah, di sebuah kerajaan yang tidak begitu besar, hiduplah seorang raja yang memiliki kegemaran memburu. Suatu hari, ditemani penasihat dan pengawal bijaknya sang raja pergi berburu ke hutan. Setelah mendapatkan beberapa hewan buruan, seperti kijang dan kancil, sang raja mencoba membersihkannya sendiri. Ia mencoba menguliti sendiri hewan buruannya untuk dipanggang. Karena kurang hati-hati, terjadilah kecelakaan, jari kelingking raja terpotong oleh pisau yang sangat tajam. Sang Raja bersedih dan meminta nasihat dari penasihat bijaknya. Si penasihat yang bijak berusaha mencoba menghibur dengan kata-kata manis, tapi sang raja tetap berduka, mengeluh, dan merintih sepanjang waktu.
Karena tidak tahu lagi apa yang mesti diucapkan untuk menghibur sang raja, akhirnya penasihat bijak itu berkata: “Baginda Yang Mulia, sebenarnya dalam tataran yang lebih dalam, apa pun yang terjadi patut kita syukuri”.
Mendengar ucapan penasihatnya itu, sang raja langsung marah besar. “Berani benar engkau berkata demikian! Aku kena musibah bukan engkau hibur tapi malah disuruh bersyukur!…” Lalu Sang raja memerintahkan pengawalnya untuk menghukum penasihat tadi dengan hukuman tiga tahun penjara.
Putaran sang waktu terus berganti. Hilangnya jari kelingking ternyata tidak membuat raja menghentikan kegemarannya dalam berburu. Suatu hari, raja bersama penasihat yang baru mengadakan pemburuan hewan ke hutan yang jauh dari istana. Tidak terduga, saat berada di tengah hutan, sang raja dan penasihatnya tersesat. Di tengah-tengah ketersesatannya, tiba-tiba mereka dihadang oleh orang-orang suku primitif. Keduanya lalu ditangkap dan diarak untuk dijadikan korban persembahan kepada para dewa.
Sebelum dijadikan persembahan kepada para dewa, raja dan penasihatnya dimandikan terlebih dulu. Saat giliran raja yang dimandikan, ketahuan kalau salah satu jari kelingkingya terpotong. Dalam mitologi suku primitif ini, kelingking yang buntung diartikan sebagai tubuh yang cacat sehingga dianggap tidak layak untuk dijadikan persembahan kepada para dewa. Akhirnya, sang raja diusir dan dibebaskan begitu saja oleh orang-orang primitif itu. Dan penasihat barulah yang dijadikan persembahan kepada para dewa dengan cara penyantapan yang sangat sadis.
Dengan susah payah, akhirnya sang raja berhasil keluar dari hutan dan kembali ke istana. Setibanya di istana, sang raja langsung memerintahkan supaya penasihat yang dulu dijatuhinya hukuman penjara segera dibebaskan. Ketika penasihat bijaknya telah berada dihadapannya, ia berkata: “Penasihatku, aku ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepadamu. Nasihatmu ternyata benar, apa pun yang terjadi memang patut kita syukuri. Karena jari kelingkingku yang terpotong waktu itulah, hari ini aku bisa pulang dengan selamat…” Kemudian, sang raja pun menceritakan kisah perburuannya secara lengkap sehingga mengantarkan dirinya selamat.
Setelah mendengar cerita sang raja, buru-buru si penasihat membungkuk memberi penghormatan sambil berkata: “Beribu-ribu terima kasih ku haturkan kepada Paduka Yang Mulia karena telah memenjarakan aku selama ini.”
Sang raja heran mendengar ucapan terima kasih dari penasihatnya karena telah memasukkannya ke dalam penjara. “Wahai penasihat bijakku, bagaimana engkau bisa berterima kasih atas hukuman penjara yang menimpamu?! Bukankah bertahun-tahun selama ini hidupmu menjadi terkekang dan menderita dalam penjara? Lalu bagaimana mungkin engkau masih bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepadaku atas semua prahara kehidupan yang menimpamu?!”
“Paduka Yang Mulia, jawab si penasihat bijak dengan tenang penuh kewibawaan, “Seandainya aku tidak berada di penjara hari ini, tentu saja akulah yang tetap menjadi pengawal setia Paduka dalam berburu. Dan seandainya aku masih menjadi pengawal Paduka pada hari-hari kemarin, bukankah sangat mungkin akulah yang menjadi santapan sadis orang-orang suku primitif itu? Kalau itu yang terjadi, bukankah aku tidak bisa lagi menikmati indahnya hari ini? Kalau itu yang terjadi, bukankah hari ini aku tidak bisa lagi merasakan hangatnya sentuhan mentari? Dan kalau itu yang terjadi, bukankah hari ini aku tidak mungkin bisa mendekap tubuh istri dan anak-anakku, yang menjadi sumber utama inspirasi kebahagiaanku? Karena semua alasan itulah Paduka, aku wajib menghaturkan semesta puji syukur kepada Tuhan dan beribu-ribu terima kasih kepada Paduka Yang Mulia?”
Menyimak penjelasan penasihat bijaknya, sanga raja takjub dengan kearifan lembut yang disingkap oleh penasihat bijaknya, sebuah kearifan yang jarang dimiliki oleh kebanyakan manusia. “Sungguh”, kata sang raja, “Setitik kearifanmu sanggup menenggelamkan semesta kekuasaanku!”… Secercah lentera kebijaksanaanmu mampu memudarkan semua pesona singgasana kekuasaanku!”… Mulai detik ini juga, aku titahkan engkau tetap menjadi pengawal abadiku, sampai tangan-tangan sang maut memisahkan kita berdua!”……
***
Kisah ini menyingkap sebuah pesan moral yang sangat indah bahwa ujian yang terlihat paling buruk pun di mata kita, ternyata mengandung hikmah agung yang telah Allah persiapkan untuk kebahagiaan kita. Setiap ujian dan nestapa kehidupan yang Allah berika kepada kita, pasti mengandung benih-benih hikmah yang sesuai denga kehidupan kita masing-masing. Kalau kita mampu menatap setiap ujian dan prahara kehidupan yang Allah berikan kepada kita melalui sudut pandang ini, hikmah itu akan menjadi milik kita. Dalam kitab Al-Hikam, Syeikh Ibnu Athaillah mengingatkan kita tentang prinsip ini:
“Tatkala Allah telah membukakan kesadaranmu terhadap rahasia ujian dan penolakan-Nya, maka berubahlah penolakan dan ujian itu menjadi pemberian dan anugerah”.
Sang raja awalnya sangat kecewa dengan ujian jari kelingkingnya yang putus, namun ketika sadar bahwa dengan terputusnya jari kelingkingnya itulah yang menyelamatkan nyawanya dari santapan liar suku kanibal, ia justru bersyukur dengan jari kelingkingnya yang terputus.
Jika kita sudah mampu memahami rahasia ini, maka kita akan menyadari mengapa Allah dalam Al-Quran mengingatkan kita semua mengenai hikmah ini:
“Boleh jadi engkau membenci sesuatu padahal ia sangat baik bagimu, dan boleh jadi engkau menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui sedangkan engkau tidak mengetahui” (Al-Baqarah: 216).
Boleh jadi kita membenci penyakit, padahal terkadang bersama penyakit kita semakin rajin beribadah dan dosa-dosa kita berguguran laksana gugurnya daun-daun kering di pepohonan. Barangkali kita membenci ujian dan kesulitan hidup, padahal kearifan dan kebijaksanaan hidup justru tumbuh mekar saat kita bergumul bersama kesulitan hidup. Mungkin saja kita sangat menyukai kesehatan dan kekayaan, padahal boleh jadi saat bersama kesehatan dan kekayaan kita malah sering lalai dan rajin berbuat maksiat. Boleh jadi kita sangat menyukai kenyamanan hidup, padahal bersama kenyamanan hidup jiwa kita menjadi tumpul dan hati kita menjadi gersang dalam beribadah kepada Allah. Wallahu ya’lamu wa antum laa ta’lamun… Memang Allah-lah Yang Maha Mengetahui mana yang terbaik untuk kita semua dan kita terkadang tidak mengetahui mana yang terbaik untuk kita.
Karena itu, mari kita belajar untuk menjernihkan mata hati kita dalam menghadapi segala bentuk ujian yang Allah hadirkan dalam kehidupan kita. Sebab dengan matahati yang jernih inilah Allah akan menyingkapkan hikmah-hikmah agung yang telah Dia persiapkan bagi hamba-hamba-Nya yang menghadapi ujian.
Akhirnya semoga Allah, Al-Hakiim, Tuhan Yang Maha Bijaksana, berkenan menjernihkan matahati kita sehingga kita mampu menatap sekaligus memetik hikmah terhadap setiap ujian yang Dia hadirkan dalam kehidupan kita semua, amin-amin-amin ya Mujibas Sailiin
Zaprulkhan. Dosen IAIN Syaikh Abdurrahman Siddiq Bangka Belitung