Telah mafhum di kalangan umat Islam bahwa imam al-Ghazali (w. 1111 M) adalah ulama yang memiliki kontribusi paling besar dalam merekonstruksi doktrin Islam sebagai agama yang kokoh dan mapan seperti yang kita saksikan sekarang. Boleh jadi belum ada ulama yang mampu menandingi pengaruhnya dalam hal mengembangkan sisi intelektualisme dalam khazanah pemikiran Islam.
Saking mashurnya, ada dua gelar yang disematkan kepada beliau, pertama; Hujjatul Islam yang berarti sang pembela agama Islam dan kedua; Mujaddid Al-Qarn Al-Khamis atau pembaharu abad ke lima. Al-Ghazali memiliki jasa yang amat besar dalam memberikan argumen (hujjah) baik lewat dalil akal maupun naql yang dengan itu, beliau disebut seorang pembaharu Islam di abad pertengahan.
Tulisan singkat ini secara khusus ingin menggali gagasan Al-Ghazali tentang apa arti “kebenaran sejati” dan golongan mana saja yang dapat mencapai kebenaran itu. Penulis akan mengurai percikan pemikiran Al-Ghazali melalui salah satu karya besarnya berjudul Al-Munqidz Minadh Dhalal, yang tak lain merupakan otobiografi intelektual sekaligus salah satu karya terakhir Al-Ghazali sebelum beliau wafat.
Tanpa bermaksud mengabaikan berbagai jenis kebenaran yang bersifat multikompleks, penulis hanya akan membatasi model atau corak kebenaran yang dipahami oleh Al-Ghazali dan akan sedikit mengurai apa arti kebenaran menurut Al-Ghazali sendiri. Kebenaran yang dimaksudkan di sini adalah kebenaran esensial atau puncak dari segala kebenaran, lebih khusus lagi kebenaran yang bersumber dari Islam.
Dalam seluruh hidupnya, Al-Ghazali sangat berambisi untuk mendalami hampir semua jenis kebenaran. Ini sebagaimana terurai dengan jelas dalam buku otobigrafinya; di mana beliau berpetualang untuk mencari kebenaran hakiki melalui berbagai sumber, mazhab pemikiran, maupun orang-orang yang dianggap memiliki kapasitas untuk mencapai kebenaran. Alhasil, beliau menemukan bahwa kebenaran itu begitu kompleks, rumit dan pelik; meskipun, kompelksitas kebenaran yang ia temukan sebagian besar tidak memenuhi hasrat intelektualnya dan berakhir pada rasa kecewa.
Kekecewaan demi kekecewaan beliau temui hanya demi berhasrat akan kebenaran sejati; kebenaran esensial yang kokoh dan meyakinkan. Meski begitu, al-Ghazali tidak menyerah, beliau terus mencari sampai suatu ketika, beliau “menemukan” – dan bukan sekedar mencari – makna akan kebenaran sejati itu yang berpuncak pada dimensi spiritualitas Tuhan.
Menurut al-Ghazali, kebenaran sejati hanya dapat ditempuh melalui jalan tasawuf. Jalan sufi adalah satu-satunya jalan bagaimana seseorang dapat menyelami samudra kebenaran yang berpuncak pada Tuhan. Hanya melalui pemahaman dan pengamalan kesufianlah seseorang dapat dipastikan secara meyakinkan bisa sampai pada kebenaran sejati.
Itu artinya, tidak ada cara lain bagi siapapun bila ingin mencapai kebenaran harus melalui laku sufi, bukan sufi yang sekedar dalam pengertian pemahaman, tetapi juga pengamalan sekaligus. Al-Ghazali mencontohkan, orang yang mengetahui apa itu buah apel berbeda dengan orang yang benar-benar telah merasakan buah apel. Maksudnya, orang tidak akan pernah betul-betul tahu tentang apel kecuali dia harus merasakan buahnya secara langsung. Begitulah kebenaran yang dimaksud dalam tasawuf, antara pemahaman dan pengamalan seiring sejalan.
Kendati demikian, al-Ghazali tidak memungkiri bahwa kebenaran itu macamnya banyak. Menurutnya, kebenaran bukan hanya apa yang ada di dalam tasawuf, tetapi juga bisa dipastikan kebenaran sejati juga ada di dalam wilayah-wilayah lain seperti teologi dan filsafat; meskipun, al-Ghazali mengakui, kebenaran jenis ini tidak bisa mengurangi sedikitpun dahaganya akan kebenaran sejati, justru yang ia temukan adalah kebenaran yang begitu pelik dan meragukan dari selain dimensi tasawuf tersebut.
Mungkin, kalau penulis boleh menafsirkan, boleh jadi kebenaran yang ada dalam selain bidang tasawuf tersebut bisa memuaskan bagi sebagian orang tetapi tidak memuaskan bagi al-Ghazali. Namun satu hal yang pasti, al-Ghazali tidak pernah merasa ragu untuk mengatakan bahwa kebenaran yang maha benar dan yang paling meyakinkan hanya dapat dicapai melalui jalan sufi.
Ketika al-Ghazali mengurai bidang ilmu selain tasawuf, beliau bernada agak subjektif dengan mengatakan bahwa ilmu tersebut (teologi dan filsafat) tidak dapat mencukupi hasratnya akan kebenaran sejati, dan tampaknya juga tidak mengobati penyakit “keragu-raguan” yang telah lama ia rasakan. Tapi sebaliknya, ketika ia mengurai tasawuf, seolah-olah inilah kebenaran objektif yang perlu dan harus orang lain pahami dan capai.
Beliau mengatakan, “kemudian, setelah menyelesaikan berbagai disiplin pengetahuan ini, kupenuhi hasratku untuk bergabung dengan metode kaum sufi. Dan, aku tahu bahwa jalan yang mereka tempuh adalah penyempurnaan ilmu dan amal (Al-Munqidz Minadh Dhalal)”. Kata “menyempurnakan” mengindikasikan bahwa al-Ghazali seolah menduga telah menemukan kesejatian kebenaran dalam ilmu-ilmu lain, tetapi tidak cukup sempurna baginya.
Untuk mengetahui apa dan bagaimana kebenaran sejati dipahami dan dihayati oleh al-Ghazali, kita perlu bertanya golongan seperti apa yang menurutnya paling siap dan mampu mendapat mandat untuk memangku kebenaran sejati tersebut. Untuk menjawab pertanyaan ini, kita akan dihadapkan dengan hierarki serta macam-macam kebenaran menurut al-Ghazali hingga cara bagaimana “mengabaikan” kebenaran level bawah dan menggapai kebenaran tertinggi.
Para Pemegang Kebenaran
Dalam kitab Al-Munqidz Minadh Dhalal al-Ghazali mengatakan bahwa ada empat golongan orang-orang yang memiliki otoritas pemangku kebenaran, maksudnya, keempat golongan ini adalah mereka yang dipastikan seolah mendapatkan mandat untuk memegang kebenaran sejati dan untuk itu, semua orang bisa memperoleh kebenaran dari keempat golongan tersebut.
Meski tampaknya, al-Ghazali masih merinci lebih dalam golongan mana yang paling mampu mengemban atau katakanlah dapat sampai kebenaran tersebut, dengan secara terang-terangan al-Ghazali memberi catatan kritis pada satu golongan dan memuji golongan yang lainnya. Jadi, ada semacam hierarki kebenaran di mana ada golongan yang memegang otoritas kebenaran level rendah dan ada pula yang memegang otoritas kebenaran level tinggi.
Dengan kata lain, objek kajian dari keempat golongan itu sebenarnya memiliki kemiripan satu sama lain, yakni ingin menggapai kebenaran sejati (katakanlah Tuhan), namun metode untuk memperolehnya berbeda-beda sehingga menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula. Malahan tak jarang menghasilkan sebuah kesimpulan yang sangat “dianggap” jauh dari doktrin agama atau juga bertentangan dengan akal.
Al-Ghazali berkata, “ketika Allah menyembuhkanku dari penyakit kronis ini (keragu-raguan) dengan karunia dan keluasan anugerah-Nya, segera aku menyimpulkan tentang klasifikasi para pencari kebenaran ini menjadi empat golongan; para teolog, kaum batiniyah, para filsuf, dan kaum sufi”… “aku pun berbisik pada diriku, sesungguhnya kebenaran tidak mungkin keluar dari selain golongan ini. Sebab, mereka adalah penempuh jalan kebenaran” (Al-Munqidz Minadh Dhalal).
Memang, al-Ghazali secara jelas mengatakan bahwa mereka adalah para pencari kebenaran dan bukan otoritas pemangku kebenaran, tetapi kalimat ini akan menjadi mudah dimengerti ketika di akhir kalimat al-Ghazali menegaskan bahwa sesungguhnya kebenaran tidak akan mungkin keluar dari selain golongan ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa al-Ghazali seolah memberikan pengakuan bahwa merekalah orang-orang yang memiliki otoritas untuh memegang kebenaran. Di bawah ini akan diringkas penjelasan tentang keempat golongan tersebut sesuai dengan apa yang dipahami oleh al-Ghazali;
Pertama; para teolog (mutakallimun), mereka adalah orang-orang yang mengaku sebagai pemikir dan kaum cendekia. Teolog adalah orang yang bergelut dalam ilmu kalam, biasanya objek kajian mereka adalah Tuhan dan mendemonstrasikan Tuhan. Ilmu ini, bagi al-Ghazali, juga sebuah upaya untuk memahami Tuhan dengan cara yang benar. Al-Ghazali berkata, “Allah memunculkan sekelompok teolog dengan gerakan dakwahnya untuk menolong dan membentengi sunnah dengan argumentasi yang sistematis”.
Meski demikian, tidak semua teolog baik menurut al-Ghazali, ia menyimpulkan teolog yang baik hanya yang memperjuangkan dan menjaga akidah Ahlussunnah. Ini bisa dimengerti lantaran al-Ghazali berpaham Ahlussunnah dan seringkali menyerang kelompok teolog lain yang tidak sejalan dengan akidah ini. Meski sebagian teolog ada yang baik, tetapi semua itu tidaklah membawa al-Ghazali pada kepastian mutlak, kebenaran yang terkandung dalam ilmu kalam tidak memuaskan dahaganya untuk menggapai kebenaran sejati. Ilmu ini tidaklah menjadi obat bagi jiwa al-Ghazali yang sedang sakit.
Kedua; kaum batiniyah, mereka adalah orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai Ahlut Ta’lim, dan mendapat pengajaran secara eksklusif dari imam yang ma’sum. Menurut al-Ghazali, kebenaran juga bisa datang dari mereka, sebab otoritas guru atau imam juga memiliki pengaruh yang besar dalam dunia tasawuf, meskipun al-Ghazali banyak tidak sepakat dengan kelompok ini dengan mengatakan bahwa dalam Islam yang ma’sum (terhindar dari dosa) hanyalah Nabi Muhammad dan tidak ada selainnya.
Ketiga; para filsuf, mereka adalah orang-orang yang ahli ilmu logika dan pandai dalam memberikan argumentasi. Al-Ghazali sendiri banyak memberikan perhatian pada ilmu filsafat sebab ilmu ini adalah salah satu metode untuk mencapai kebenaran kendati al-Ghazali banyak tidak sepakat dengan para filsuf. Sebelum menjelaskan bagaimana pandangan al-Ghazali tentang kebenaran filsafati, kita perlu tahu terlebih dahulu memahami bagaimana ruang lingkup filsafat menurut apa yang dipahami oleh al-Ghazali.
Menurutnya, filsafat adalah ilmu yang sangat luas, ia meliputi ilmu matematika, logika, ilmu alam, metafisika, politik, dan etika. Dengan kata lain, filsafat adalah ilmu yang membahas mengenai fenomena empiris sekaligus metaempiris. Bagi al-Ghazali, tidak ada keraguan sama sekali terkait ilmu filsafat yang berkaitan dengan fenomena empiris seperti matematika dan ilmu alam, begitu pula dengan logika, sebab ilmu ini diakui oleh al-Ghazali tidak terbantahkan secara rasional. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ilmu ini bisa mengantarkan seseorang pada kesempurnaan pengetahuan kendati tidak dapat untuk menggapai kebenaran sejati.
Meski begitu, al-Ghazali banyak tidak sepakat dengan metafisika. Menurutnya, ilmu ini lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Para filsuf banyak memaksakan penafsiran rasional terhadap hal-hal yang metaempiris, artinya, banyak filsuf terjerumus pada kekafiran lantaran lebih banyak menimbang akal daripada dalil agama sehingga mereka tersesat dalam jurang kekafiran. Terkait masalah ini, al-Ghazali banyak mengulasnya di buku Tahafud al-Falasifah.
Keempat; kaum sufi, mereka adalah orang-orang yang dianggap dekat dengan Allah, ahli musyahadah (penyaksian spiritual), dan mukasyafah (penyingkapan spiritual). Menurut al-Ghazali, hanya kaum sufilah yang dapat menggapai kebenaran sejati. Sebab, mereka memadukan antara pengetahuan yang berbasis pada akal, dalil agama, dan intuisi sekaligus.
Tidak seperti ketiga golongan sebelumnya yang banyak memberi perhatian pada akal dan dalil agama, kelompok sufi menimbang kebenaran dengan lebih kompleks. Kaum sufi meyakini bahwa akal memiliki banyak manfaatnya, tetapi ia tidak bisa memberi jalan pada kebenaran sejati. Satu-satunya cara untuk memperoleh kebenaran sejati adalah dengan metode kesemimbangan dan berpunjak pada intuisi, yakni menjadikan akal sebagai alat, dalil agama sebagai pedoman, dan intuisi sebagai gerbang pengetahuan sejati.
Jalan sufi inilah yang menurut al-Ghazali dapat mengantarkan kita pada kebenaran sejati. Sekaligus, ilmu ini juga menjadi tempat perlabuhan terakhir al-Ghazali dalam perjalan intelektual-spiritual yang kemudian ia merasa terpuaskan dan membuka mata batinnya tentang hakikat kebenaran sejati.
Bagi al-Ghazali, hanya ilmu inilah yang dapat mengobati luka batinnya, ilmu lain semisal teologi, filsafat, juga kaum ahli ta’lim, tidak dapat memuaskan dahaga spiritualnya lantaran banyak ajaran dan argumentasinya yang bersifat kontradiktif, lebih-lebih tidak sejalan dengan ajaran normatif Islam. Dengan demikian, tasawuf bukan hanya ilmu teoritis yang berkaitan dengan pengetahuan akan hakikat kebenaran, tetapi ilmu tasawuf sekaligus dapat mengantarkan seseorang untuk sampai kepada Tuhan dan menyelami samudra kebenaran sejati itu. Persis pada titik inilah, al-Ghazali telah sampai pada kebenaran sejati itu.