Secara nomenklatur, istilah ‘beragama maslahat’ merujuk pada suatu pemahaman bahwa beragama mestinya dapat mendatangkan manfaat yang seluas-luasnya bukan hanya bagi setiap invidivu, tetapi juga bagi keluarga, masyarakat, bangsa, negara, dan seluruh alam semesta. Beragama maslahat adalah upaya untuk menggali nilai kemanfaatkan agama untuk kehidupan sosial yang lebih luas.
Dalam konteks Indonesia, beragama maslahat merupakan istilah yang muncul dalam UU Nomor 59 tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Beragama masalahat merupakan suatu kebijakan negara untuk tata kelola keberagamaan di Indonesia dalam menyonsong Indonesia emas tahun 2045.
Secara historis, kehadiran konsep beragama maslahat sangat terkait erat dengan konsep moderasi beragama. Selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, moderasi beragama telah menjadi kebijakan negara yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 melalui Perpres 18 tahun 2020. Tujuan dari hadirnya program moderasi beragama adalah untuk membangun sikap toleransi dan kerukunan intra dan antar umat beragama yang dalam beberapa dekade terakhir teracam oleh berbagai praktik intoleransi dan kekerasan atas nama agama.
Seperti moderasi beragama, beragama maslahat bukan hanya identik dengan satu agama, tetapi ia terkait dengan seluruh agama dan keyakinan yang ada di Indonesia. Setiap umat beragama diharapkan mampu menggali nilai-nilai universal dari agamanya yang kemudian diorientasikan pada kemaslahatan di ranah publik.
Menurut Aji Sofanudin, penulis buku Inovasi dan Beragama Maslahat dan peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), beragama maslahat merupakan cara beragama yang menghadirkan kebaikan bersama (common good, public interest). Sedangkan lawan dari beragama maslahat adalah beragama mafsadat (causing damage, ruin). Beragama masalahat juga selaras dengan konsensus bangsa, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.
Sebagai kebijakan politik, moderasi beragama diharapkan mampu mendorong lahirnya praktik keberagamaan yang mendatangkan kemanfaatkan sekaligus sebagai cara untuk mendukung peningkatan kesejahteraan pada masyarakat memalui perspektif pembangunan berkelanjutan.
Untuk itu, beragama maslahat bukanlah sebentuk intervensi negara dalam mencampuri urusan agama setiap warga negara, sebagaimana telah tercantum dalam konstitusi bahwa setiap warga negara memiliki kebebasan yang mutlak untuk mengekspresikan dan mengamalkan agamanya sesuai dengan keyakinannya. Kebijakan beragama maslahat justru mendorong agar setiap penganut agama dapat memaksimalkan potensi agamanya demi kemasalahan bersama.
Sebagai kelanjutan dari program moderasi beragama, program beragama maslahat juga harus dilihat sebagai upaya lanjutan agar masyarakat mampu untuk terus menghindari pengaruh ekstremisme dan radikalisme dalam beragama. Pada titik ini, beragama maslahat diorientasikan untuk mencerdaskan umat beragama di Indonesia, untuk menjadi umat yang wasatiah atau moderat, dan mendahulukan maslahat umum dibanding golongan tertentu.
Konsep beragama maslahat sangat menekankan nilai-nilai kemanusiaan, kemaslahatan umum, keadilan, keberimbangan, ketaatan pada konstitusi dan kearifan lokal. Konsep tersebut menurut pandangannya bersifat universal. Artinya, setiap penganut agama dapat bahu membahu untuk mewujudkan kemaslahatan melalui agamanya masing-masing dan untuk kepentingan bersama. Sehingga tidak ada istilah religious supremacy (klaim superioritas dalam beragama), misalnya mayoritas ke minoritas, golongan yang kuat ke golongan yang lemah, dsb.
Beragama maslahat juga sangat sesuai dengan Asta Cita pemerintahan Prabowo Subianto, dengan memperkuat penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan, alam, dan budaya, serta peningkatan toleransi antarumat beragama untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Salah satu contoh penerapan beragama maslahat bisa dilihat melalui gerakan filantropi keagamaan (kedermawanan). Misalnya, Indonesia merupakan salah satu negara paling dermawan di dunia dan itu banyak dimotivasi oleh agama. Bila gerakan filantropi ini dapat digerakan secara masif, apalagi mendapat dukungan moral dan material dari pemerintah, maka ini akan menjadi potensi yang luar biasa bagus bagi kesejahteraan masyarakat.
Ahmad Najib Burhani, peneliti senior BRIN, menjelaskan bahwa beragama maslahat ingin memperkuat agama pada sisi atau potensi-potensi positifnya. Ini adalah lawan dari agama sebagai sumber konflik, yang berpotensi membuat orang menjadi ekstrem atau radikal, membenci dan memusuhi mereka yang berbeda agama, dan menjadi alat untuk memecah-belah atau polarisasi di masyarakat. Potensi-potensi negatif itu yang membuat umat beragama perlu dimoderasi.
Melalui beragama maslahat, setiap orang dapat menyegarkan kembali potensi-potensi positif dari keyakinannya yang menekankan sifat rahmatan lil alamain dari agama. Selain filantropi, contoh lainnya adalah adanya dorongan pada kepedulian agama terhadap lingkungan, hak asasi manusia, dorongan untuk hidup bersih dan bekerja keras, serta membangun pribadi yang disiplin dan tertib.
Dengan cara pandangan beragama maslahat ini, agama tidak lagi hanya dilihat secara eksklusif untuk kelompoknya saja, tetapi agama harus juga inklusif dan dapat berdampak secara kongkrit bagi setiap penganut agama tanpa terkecuali. Indonesia sebagai negara-bangsa dapat menjadi tempat yang subur bagi integrasi-interkoneksi setiap penganut antaragama untuk secara bersama-sama membangun kemajuan tanpa terjebak pada fanatisme identitas kelompok.

