Oleh: AS Laksana
Jika disederhanakan, menulis cerita adalah kita bercerita kepada pembaca tentang seseorang, dan orang itu menghadapi masalah, dan ada sesuatu yang memaksa dia menyelesaikan masalah itu.
Orang itu bisa siapa saja: mahasiswa, tentara, polisi, hakim, jaksa, politisi, walikota, presiden, raja, hulubalang, imam, pendeta, suami, istri, ayah, ibu, kakek, bocah, penari, petinju, petani, penyanyi, pelancong, penulis, petani, arsitek, guru, rentenir, saudagar batik, tukang santet, tukang las, tukang kayu, dll. Anda tentu bisa juga menceritakan hantu, malaikat, atau peri.
Siapa pun dia, anda harus membuat pembaca tertarik kepadanya. Misalkan dia seorang pendeta, dan dia pendeta yang malas, dia harus menarik dalam kependetaan atau kemalasan atau dalam kependetaan dan kemalasannya. Jika pembaca tidak tertarik kepada orang yang kita ceritakan, mereka tidak peduli. Mereka tidak akan membaca cerita anda.
Lalu, apa masalah yang dia hadapi? Apa yang secara kuat mendorongnya melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah itu? Apa yang menghambat dia?
Hambatan bisa datang dari diri sendiri, bisa datang dari orang lain, bisa datang dari situasi.
*
Setiap cerita adalah perjalanan karakter. Dia harus bergerak, merespons rangsangan dengan tindakan, mencoba menyelesaikan masalah itu. Mula-mula ia mungkin mencoba cara-cara mudah: ia memilih jalan pintas, menghindar, atau bertindak setengah hati.
Namun masalah itu tidak hilang begitu saja; ia justru membesar dan urusan menjadi semakin rumit. Setiap langkah maju justru membawa karakter ke situasi yang lebih sulit, membuatnya kian kewalahan, terluka, dan merasa ingin menyerah.
Anda harus menggambarkan perjalanan karakter itu, perjalanan fisik maupun emosinya, dalam cara paling kuat yang mampu membuat pembaca peduli kepadanya. Pembaca tidak punya cukup waktu dan kesabaran untuk membaca cerita yang tidak menarik, lambat dan karakternya tidak memiliki kualitas apa pun untuk memikat perhatian mereka.
Ketika semuanya tampak mustahil bagi karakter, ketika dia hampir menyerah, inilah momen paling penting dalam cerita: titik balik. Karakter akan menemukan sesuatu yang baru—sebuah pemahaman, keberanian, atau kekonyolan untuk membuat keputusan “paling dramatis” dalam konteks cerita anda.
Ia bisa menang, ia bisa kalah.
*
Setiap cerita punya pola seperti itu. Karakter harus dihadapkan pada masalah. Bisa ia sendiri yang menyebabkan masalah itu, bisa orang lain, bisa apa saja di luar dirinya. Dalam episode Mahabharata ketika Dewabrata akhirnya mengucapkan sumpah selibat, masalah bagi Putra Gangga itu datang dari ayahnya yang suatu hari bertemu perempuan di tepi sungai.
Sentanu jatuh cinta kepada perempuan itu, dan ayah perempuan itu memberi syarat, dan syarat itu membuat Dewabrata harus merelakan haknya atas takhta untuk menjadikan dunianya normal kembali. Tetapi dengan perubahan.
Menulis cerita adalah seni menciptakan perjalanan semacam ini. Kita tidak hanya melihat seseorang berusaha menyelesaikan masalah, tapi juga melihat bagaimana masalah itu mengubah karakter. Kita mengikuti karakter dari awal yang penuh ketakutan, melalui perjuangan yang berat, sampai akhirnya menemukan sesuatu yang lebih besar: diri mereka sendiri.
Jadi, mulailah dari sini: tulis tentang seseorang. Beri dia masalah. Beri dia alasan kuat untuk melakukan sesuatu. Dan lihat bagaimana ia berubah dalam perjalanannya. Itu bisa perubahan fisik, bisa perubahan cara pandang terhadap dunia, bisa perubahan dalam cara seseorang memahami dirinya sendiri.
Sumber: Fb AS Laksana
AS Laksana. Sastrawan Indonesia