Menurut Abdullah Saeed, konteks budaya Hijaz merupakan titik pijak bagi al-Qur’an dan Nabi dalam membingkai istilah-istilah dalam agama baru yang terbentuk di Makah dan Madinah ini. Nabi tidak pernah mengklaim bahwa ia datang untuk mencabut semua elemen budaya dari Hijaz.
Tugas pentingnya adalah untuk mengajarkan pemikiran-pemikiran baru tertentu yang terkait terutama dengan Tuhan, hubungan Tuhan dengan manusia dan pencipta-Nya, nilai moral etis dan kehidupan setelah kematian. Sebagian besar, cara hidup orang-orang Hijaz dan elemen-elemen pandangan dunia mereka tetap dipertahankan.
Pembaharuan yang diperkenalkan oleh Nabi utamanya terletak pada ranah teologis, spiritual, hukum dan moral-etis daerah. Itu artinya bahwa pemahaman terhadap al-Qur’an memiliki dimensi ganda, yakni saling mempengaruhi satu sama lain serta saling memberi kontribusi antara al-Qur’an sebagai basis agama dan budaya sebagai basis kehidupan masyarakat Arab waktu itu dan itu terjadi seterusnya hingga saat ini.
Di atas sedikit dapat menjadi gambaran bahwa al-Qur’an sebagai teks yang dikaji dan dipahami tidak lepas dari pemahaman dan pengaruh budaya lokal di mana ia diturunkan, itu artinya baik langsung atau pun tidak ilmu tafsir harus beranjak pada pemahaman ini, begitupun sebaliknya, bahwa antara keduanya saling mempengaruhi satu sama lain. Di bawah ini akan dijelaskan secara lebih gamblang untuk melihat sejauh mana pengaruh dan kontribusi itu muncul dalam perkembangan ilmu tafsir.
Al-Qur’an mengandung bahasa budayanya sendiri yang spesifik sesuai dengan pandangan dunia penerima pertamanya, yang meliputi simbol, kiasan, istilah dan ungkapan yang digunakan di Hijaz. Sebagaimana diungkapkan di atas bahwa seluruh pandangan kebudayaan orang-orang Arab pada waktu itu berubah total setelah penerimannya terhadap Islam. Yang pada mulanya menyembah berhala pada masyarakat Jahiliyah lalu menyembah Tuhan yang esa dan seluruh pandangan hidup dan budayanya berubah dan menyesuaikan diri dengan apa-apa yang telah diajarkan oleh al-Qur’an melalui nabi.
Di awal telah dikatakan bahwa di era klasik, metode menafsiran memiliki banyak ragam, seperti metode Lingustik, sejarah, fikih, filosofis, maupun sufistik, sebenarnya metode-metode itu adalah gambaran kebudayaan masyarakat pada waktu itu, yang secara khusus membentuk cara pandang serta kebudayaan mereka. Jadi seperti saling mempengaruhi satu sama lain, al-Qur’an misalnya mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadapnya sehingga membentuk monunitas fuqoha misalnya, yang lebih menekankan pemahaman al-Qur’an pada aspek hukum, begitu juga pada kaum sufi yang memahami al-Qur’an pada dimensi batin atau mistik. Mereka membentuk satu jenis kebudayaan yang khas berdasarkan cara pandang mereka terhadap al-Qur’an yang selanjutnya dibakukan dalam metode ilmu tafsir.
Seluruh kebudayaan Arab yang berkembang hingga saat ini, sebenarnya adalah hasil dari pemahaman yang spesifik terhadap al-Qur’an. Bahkan dari aspek politik masyarakat Arab banyak menggunakan al-Qur’an sebagai basis ideologisnya. Secara keseluruhan kebudayaan Arab banyak dibentuk melalui khazanah keilmuan yang telah baku dalam ilmu tafsir. Sehingga menjadi jelas bahwa al-Qur’an menjadi pandangan hidup yang universal bagi masyarakat Islam dari dulu hingga sekarang.
Menurut Hasan Hanafi, semua gerakan pembaharuan modern yang berpengaruh di dunia Islam modern saat ini sebenarnya lahir dari pemahaman al-Qur’an dengan metode penafsirannya. Misalnya, gerakan nasionalisme dan pembebasan di Arab Barat terkait erat dengan Islam, gerakan pembebasan tanah air di Aljazair, Sanusiah dan Umar Mukhtar di Libia, dan terkait dengan ulama Aljazair, ulama universitas Al-Zaitunah dan Universitas Al-Qarawiyin di Tunis. Hal yang sama juga terjadi di Arab Timur seperti tercermin dalam gerakan al-Mahdi di Sudan, Wahabi di Hijaz, al-Kawakibi di Syam dan al-Afgani di Mesir. Semangat ini kemudian merambat ke seluruh dunia Islam seperti Pakistan dan terakhir revolusi di Iran.
Pemahaman al-Qur’an tidak akan terjadi kecuali dengan metode tafsir, baik sadar ataupun tidak, maka metode-metode tafsir merupakan pendahuluan yang niscaya untuk memahami dan merubah al-Qur’an dari wahyu ilahi menjadi tujian insani, dari kalam Allah yang diturunkan kepada nabi menjadi kalam insani yang ditujukan kepada kelompok kemanusiaan.
Karena tafsir ini tidak lahir dalam ruang kosong, tetapi dalam ruang waktu tertentu, dalam momen historis tertentu, maka hal ini mengharuskan memiliki metode tertentu yang secara bijak digunakan untuk mengubah dan membela kemaslahatan umat. Budaya yang baik, dalam pandangan ini, adalah sesuatu yang sesuai dengan tujuan kemanusiaan dalam perspektif al-Qur’an. Artinya bahwa kebudayaan dalam masyarakat Islam sangat dipengaruhi oleh cara pandang terhadap al-Qur’an.