Oleh: Alma’arif
Salah satu kiblat pendidikan Indonesia yang menjadi ruh kurikulum merdeka adalah Finlandia. Inti dari kurikulum merdeka adalah murid dilibatkan dalam menyusun kurikulum, setiap anak adalah unik (alias tidak ada anak yang bodoh sesuai minat dan bakat) dan tidak ada ujian nasional untuk penentuan lolos dan tidaknya. Sekolah menjadi surga tempat bermain, bukan tempat penggemblengan sebagai kawah candradimuka.
Jika kita berkiblat ke Finlandia, ingat! sistem pendidikan di Finlandia dalam hal ranking PISA pada tahun 2022 sudah terjun bebas, yaitu ranking 20. Sedangkan di tahun 2018, ranking PISA di Finlandia sudah mulai turun, berada di ranking 7. Adapun yang diukur dalam penilaian PISA adalah matematika, IPA dan pemahaman membaca.
Jika sistem pendidikan di Finlandia ini terus menjadi kiblat, tunggu saja untuk Indonesia, anak usia SMA, jangankan mengerjakan trigonometri, membaca saja masih blekak blekuk. Apakah mau begitu?
Finlandia termasuk negara paling maju di dunia. Finlandia disebut negara maju karena beberapa indikator:
- Nilai indeks pembangunan manusia (terkait tingkat literasi, pendidikan dan pemahaman soal kesehatan, IQ yang tinggi dan sebagainya). Berarti, rata-rata orang tua di Finlandia minimal lulusan S-2 dengan literasi sangat tinggi. Hal ini menjadikan kesadaran dan pelaksanaan pendidikan keluarga di Finlandia sudah sangat mapan. Sehingga sekolah hanya menjadi tambahan pendidikan saja. Wajar jika sekolah adalah tempat bersenang-senang (joyfull learning).
Jangan bandingkan dengan orang Indonesia. Data menunjukkan bahwa perceraian dalam keluarga terus meningkat akibat ekonomi, belum matang berkeluarga, broken home dan sebagainya. Selain itu, data menunjukkan tingkat pendidikan di Indonesia yang lolos S-1 saja hanya 4,39%. Hal ini berarti, pendidikan dalam keluarga jauh panggang dari api.
Apakah masuk akal jika terus ingin berkiblat ke Finlandia yang tingkat IPM nya sangat tinggi?
- Saya tetap tidak setuju jika pendidikan itu bukan pengarahan, penempaan dan penggemblengan. Pada masa keemasan Islam, untuk menjadi polymath kayak Ibnu Sina, Ibnu Haytham, al-Farabi, dan sejenisnya itu belajarnya gila-gilaan. Mereka digembleng dan ditempati habis-habisan.
Jiwa manusia dari oroknya selalu ingin enak, nikmat dan lezat. Anak akan memilih senang-senang nonton HP daripada belajar matematika yang rumit. Bagaimana pun dengan guru yang sangat canggih sekalipun, matematika tetap ilmu yang rumit, butuh nalar tinggi dan kerja keras dalam memahaminya. Apalagi sampai pada tingkatan mencipta (creat).
Singapore dengan skor PISA tertinggi di dunia telah menerapkan sebuah sistem pendidikan bahwa semua anak dipukul rata: harus bisa matematika secara mendalam. Setelah anak yang diajari mati-matian memang mentok tidak mampu karena IQ nya rendah, maka siswa tersebut boleh mengambil atau dikelompokkan bidang seni, olahraga dan humaniora. Tak heran, jumlah kampus di Singapura jauh lebih banyak jurusan eksakta daripada sosial dan agama.
Di sinilah kunci Singapura menjadi negara maju dalam berbagai bidang. Lihat ranking ad-scientific kampus Singapura sebagai negara baru yang sangat kecil saja berada di ranking 32. Ini super gila.
Bandingkan dengan banyak orang Indonesia. Jangankan bisa matematika, pinter nahwu sharaf saja sudah menganggap dirinya hebat karena doktrin teologi yang dicekoki kepadanya. Bagaimana bisa sampai pada creat (mencipta)? Ha wong dasar dari mencipta itu adalah menguasai matematika. Tak heran jika WIPO dan USPTO negara-negara Islam itu jeblok.
Silahkan tidak paham, dan teruskan ikut Finlandia, maka anak-anak SMA di Indonesia; jangankan bisa trigonometri dasar, membaca saja blekak blekuk. Lalu dalam hidup, mereka tidak bisa mandiri, tidak mampu bersaing dunia global, sedikit saja menemui masalah hidup pasti akan stres dan bunuh diri, karena tidak pernah dididik dan digembleng dengan kesulitan-kesulitan dan rintangan-rintangan yang membuat dirinya kuat dalam hidup dan berkompetisi di dunia global.
Alma’arif. Kandidat Doktor Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta