Oleh: Zaprulkhan
Pertama kali saya mengenal Komaruddin Hidayat pada akhhir tahun 1998. Pada bulan Desember akhir tahun 1998, saya main ke Ciputat, ke kawan saya yang kuliah di IAIN Syarif Hidaytullah Jakarta. Kawan saya bercerita bahwa saat itu sedang hangat dibicarakan buku terbaru Komaruddin Hidayat yang berjudul Tragedi Raja Midas. Katanya, buku ini sedang menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa IAIN. Saya penasaran. Saya segera membeli buku itu. Selama dua hari saya habiskan waktu untuk membaca buku itu. Saya sangat menikmati Tragedi Raja Midas. Saya terpesona. Saya takjub dengan kehebatan Komaruddin yang begitu piawai menganalisis unsur keimanan, keyakinan, dan agama secara sosiologis, filosofis, sekaligus hermeneutis untuk merespon berbagai problema bangsa, negara, pemikiran Islam, umat Islam Indonesia dan kemanusiaan. Analisis-analisisnya bercorak historis-sosiologis, rasional-filosofis sekaligus reflektif-kontemplatif.
Setelah itu sampai hari ini, saya memburu semua buku-buku Komaruddin Hidayat, seperti Agama Masa Depan, Tuhan Begitu Dekat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Psikologi Kematian, Berdamai dengan Kematian, Psikologi Beribadah, Psikologi Beragama, Politik Panjat Pinang, Memaknai Jejak-Jejak Kehidupan, Agama Punya Seribu Nyawa, Penjara-Penjara Kehidupan, Agama untuk Peradaban, Iman yang Menyejarah, Life’s Journey, dan lain-lain. Semua bukunya mampu memperkaya perspektif, menggairahkan nalar dan mengasyikan untuk dibaca.
Dalam tulisan singkat ini dalam rangka memperingati hari ulang tahun Prof Komaruddin Hidayat yang ke-70, saya akan membingkai pemikiran atau gagasan-gagasan Komaruddin mengenai urban sufism yang disemarakkan oleh Komaruddin dengan pelbagai gagasan-gagasan dan gerakan-gerakan ilmiah yang digulirkannya baik melalui tulisan-tulisannya maupun ceramah-ceramah intelektualnya.
Problematika Masyarakat Kontemporer, Tasawuf dan Urban Sufisme
Pertama-tama, mari kita lihat terlebih dulu problematika masyarakat kontemporer, baik pada level global maupun nasional, yang relevan dengan tasawuf sehigga melahirkan urban sufism. Salah satu problem fundamental yang dialami masyarakat kontemporer adalah kegersangan spiritual, sebuah perasaan hampa yang menyelubungi jiwa walaupun secara fisikal-material memiliki materi yang berlimpah. Kegelisahan spiritual tersebut bukan hanya dialami oleh orang-orang awam atau masyarakat kebanyakan, melainkan juga dirasakan oleh kalangan intelektual.
Puluhan tahun silam para Rektor Universitas Amerika Serikat berkumpul dalam suatu konferensi di Universitas Michigan. Mereka semuanya seakan tersentak, saat Dr. Benjamin E. Mays Rektor Morehouse College, Georgia, menyatakan bahwa orang-orang Amerika Serikat memiliki orang-orang terdidik paling banyak sepanjang sejarah, mereka juga memiliki lulusan-lulusan perguruan tinggi yang paling banyak, namun kemanusiaan mereka adalah kemanusiaan yang berpenyakit. Mays menyimpulkan, bukan pengetahuan yang mereka butuhkan, mereka sudah punya pengetahuan, kemanusiaan sedang membutuhkan sesuatu yang spiritual.
Stephen R. Covey, seorang pakar kepemimpinan dan pendidik yang diakui dunia internasional menulis bahwa sebagian di antara tujuh “dosa besar” yang menyebabkan rusaknya kehidupan manusia kontemporer (modern) adalah pengetahuan tanpa karakter dan kenikmatan tanpa suara hati di penghujung abad 20. Apakah kegelisahan ini hanya dirasakan oleh kaum intelektual? Di era yang sama, Charles Tart, salah seorang tokoh psikologi transpersonal, melukiskan kegersangan rohaniah yang menimpa kebanyakan orang-orang Amerika Serikat dengan menarik dan apik:
“Begitu banyak di antara kita yang kaya tetapi kita masih juga tak puas. Dalam kebudayaan kita yang materialistik, setiap orang diajari bahwa kekayaan materi dapat memberikan kita kebahagiaan. Memang masih banyak yang membutuhkan materi di dunia, tetapi sebagian besar dari kita di negeri Barat, bahkan mereka yang menganggap diri miskin, hidup dalam kenyamanan dan keamanan material yang lebih besar ketimbang nenek moyang kita.
Dalam kenyataannya, jutaan manusia kini hidup lebih baik—secara materi—daripada para ratu dan raja pada zaman dahulu. Tetapi kita masih juga tidak puas. Orang-orang ini telah memperoleh segala hal yang dianggap masyarakat dapat mendatangkan kebahagiaan. Tetapi mereka mengeluhkan hal-hal seperti “Hidupku kosong”. Atau , “Pasti ada sesuatu yang lebih dari semua ini”. Atau, “Semuanya tak begitu berarti”. Atau , “Aku merasa hampa”.
Selanjutnya Tart memberikan konklusi mengenai kondisi tersebut bahwa sindrom ini disebut “Existential Neurosis”, yakni ketidakbahagiaan yang bersumber pada pertanyaan-pertanyaan tentang makna. Dewasa ini, penyakit ini bahkan tersebar lebih luas, karena semakin banyak orang memperoleh kekayaan materi, tetapi masih merasa bahwa mereka merasakan kekurangan. Lebih banyak lagi orang yang berjuang untuk mendapatkan kekayaan materi tanpa mengetahui bahwa kelak mereka masih juga akan merasakan kekurangan.
Sementara itu, di persimpangan abad ke-20 menuju abad ke-21, Danah Zohar dan Ian Marshall, sepasang suami isteri tokoh penggagas kecerdasan spiritual yang terilhami oleh Victor Frankl, menulis bahwa rata-rata orang modern telah terkerangkeng dalam keegoisan, materialisme, tak adanya moral, nilai-nilai, rasa kekeluargaan, dan akhirnya kehilangan makna. Dalam pandangan psikolog Danah Zohar dan Ian Marshall, mereka hidup dalam budaya yang “Bodoh secara Spiritual”.
Akhirnya tepat memasuki milenium ketiga, Martin Seligman, seorang psikolog pencetus Psikologi Positif, menemukan problematika serupa. Masyarakat kontemporer yang menuju jalan pintas dalam meraih kebahagiaan, kesenangan, kenikmatan dan kenyamanan, ternyata menyebabkan munculnya kelompok orang-orang yang berlimpah kekayaan, tetapi lapar secara spiritual.
Fakta-fakta ini, kendati masih bisa ditambah lagi, mengindikasikan betapa kegelisahan telah begitu luas menyelubungi kehidupan orang-orang Barat di era kontemporer ini. Ilustrasi pertama menggambarkan kegelisahan para intelektual; Realita kedua oleh Covey menyibak penyebab kegelisahan tersebut; Penjelasan Charles Tart menyuguhkan meratanya kehampaan makna dan ketidakbahagiaan orang-orang kaya; Penelitian Danah Zohar beserta suaminya Ian Marshall memastikan kalau orang-orang kontemporer di Barat sudah kehilangan makna hidup dan menjadi bodoh secara spiritual; Terakhir, penemuan Martin Seligman dengan psikologi positifnya, menandaskan bahwa kehampaan transendental yang melanda masyarakat dunia dewasa ini belum juga terobati.
Mengikuti eksposisi di atas, masyarakat Indonesia misalnya, bukanlah pengecualian dalam hal ini. Seorang ilmuwan Ben Anderson, mengatakan bahwa orang-orang kaya di Indonesia mengalami apa yang disebut Existential Vacuum atau kekosongan eksistensial. Kekosongan eksistensial itu ditandai dengan kebosanan dan ketidakjelasan hidup. Karena tiba-tiba mereka terangkat dari suatu budaya, kemudian terbentuk kepada suatu budaya baru. Tiba-tiba mereka memasuki suatu dunia yang luas, dengan duit yang banyak namun tidak tahu bagaimana menghidupi kehidupan ini. Dalam kondisi seperti itulah, mereka ingin kembali kepada hal-hal spiritual.
Penelitian Anderson tersebut juga menemukan bahwa yang mengalami kekosongan makna hidup mayoritas adalah orang-orang Islam. Dengan bahasa yang berbeda, namun sama maknanya, Nurcholish Madjid melukiskan kalau orang-orang kontemporer mengalami alienasi, perasaan keterasingan dari kesejatian dirinya sendiri, sehingga merasakan kehampaan hidup. Menurutnya bangsa Indonesia belum sampai ke tingkat krisis yang dialami negara-negara maju Skandinavia, seperti Denmark, Swedia dan Norwegia.
Fenomena ini juga diakui oleh Komaruddin. Semaraknya forum-forum pengajian di kota besar seperti Jakarta akhir-akhir ini berkorelasi kuat dengan krisis ekonomi di tanah air. Ini, katanya, pertanda bahwa orang-orang kaya mulai melihat “dunia lain” di luar kelimpahan materi yang selama ini mengelilingi mereka. Dunia lain itu adalah dunia batin, dunia ruhani, yang selama ini mereka abaikan. Dan kelimpahan materi ternyata tidak bisa membawa mereka memasuki dunia ruhani yang sesungguhnya bersemayam di dalam diri mereka sendiri. Mereka membutuhkan penuntun untuk mengenal diri sendiri. Dan yang mereka datangi bukan konsultan atau psikolog. Mereka mendatangi forum-forum pengajian. bertanya kepada para ustadz, mubaligh, atau mursyid (guru tasawuf).
Jadi harus ada tindakan antisipatif bagi bangsa Indonesia yang sedang berproses menuju masyarakat Pasca Industri agar tidak terperangkap dalam gelisahan spiritual dalam mencari dan menemukan makna hidup.
Dalam konteks ini, tindakan antisipatifnya tentu saja dengan mensosialisasikan nilai-nilai kebajikan agama yang lebih menekankan dimensi esoterisnya. Kegelisahan eksistensial tersebut sebenarnya tidak akan terjadi jika disadari bahwa dalam agama, sebagaimana dikatakan oleh Friedrich von Hugel, mempunyai tiga elemen pokok yang saling terkait. Pertama, elemen institusional (institutional element), yakni salah satu elemen yang menjaga agama agar tetap eksis. Dalam elemen pertama inilah agama hadir dalam bentuk institusi-institusi formal yang dikepalai oleh para pendeta atau ulama, seperengkat aturan-aturan atau dogma dan sangsi-sangsi religius yang telah terinstitusikan dari waktu ke waktu.
Kedua, elemen intelektual (intellectual element), yakni dalam beragama ada wilayah-wiayah tertentu yang mengharuskan menggunakan akal pikiran untuk menalar. Setiap agama memiliki sejumlah informasi khusus yang harus diketahui oleh para pengikutnya. Ilmu fikih dalam Islam misalnya, menghimpun informasi tentang fatwa ulama berkenaan dengan ritus-ritus keagamaan. Dan Perjanjian Baru dalam agama Kristen memuat pengetahuan tentang Kristus dan para rasulnya.
Ketiga, elemen mistik (mystical element), yaitu pengalaman keberagamaan yang bersifat spiritual-transendental yang dialami oleh penganut agama. Dalam beragama, ada pengalaman-pengalaman keagamaan yang bersifat transendental yang melampaui akal rasional. Elemen mistik lebih berhubungan dengan hati, keyakinan, atau keimanan seseorang dalam beragama. Pada dimensi ini, keberagamaan bukan hanya dalam tataran pemahaman, melainkan juga pengalaman ketuhanan, tidak hanya berupa pengetahuan tapi juga penghayatan yang utuh yang timbul dari kesadaran hati yang tulus dalam mengabdi kepada Sang Pencipta Yang Esa. Dalam perspektif von Hugel, bila ketiga elemen agama ini hadir secara seimbang tentu saja tidak akan terjadi ketimpangan, termasuk kegelisahan eksistensial karena menafikan elemen mistik.
Dalam beberapa teori pembacaan yang sudah menjadi klasik terhadap wacana tasawuf dan fenomena tarekat-tarekat sufistik, sebagian pengamat pernah melakukan hipotesa bahwa tasawuf dan berbagai gerakan tarekat sufistik hanya cocok untuk masyarakat pedesaan dan orang-orang yang tidak terdidik. Begitu pula teori-teori modernisasi dan sekulariasai yang menurunkan hipotesa lebih besar bahwa masyarakat modern akan berpijak pada ranah rasional kritis dengan menafsirkan peran agama dalam ranah publik. Apalagi wacana-wacana tasawuf dan ajaran-ajaran praktis tarekat merupakan peninggalan klasik yang tidak akan eksis dalam kehidupan sosial-politik masyarakat modern.
Akan tetapi, sejumlah penelitian intensif mutakhir terhadap pemikiran tasawuf dan gerakan-gerakan tarekat di berbagai belahan dunia yang dilakukan sejumlah ilmuwan kontemporer, justru mematahkan beberapa teori klasik tersebut. Dalam karya yang sangat menarik, Urban Sufism, hasil penelitian para ahli menunjukkan beragam fakta faktual bahwa wejangan tasawuf dan beragam aliran tarekat tumbuh subur hampir di sebagian besar kawasan dunia kontemporer, sejak dari kawasan Timur Tengah, kawasan Asia Tenggara hingga Afrika Barat serta kawasan Barat di Amereka Serikat hingga Eropa Barat. Ternyata di semua wilayah tersebut pemikiran-pemikiran tasawuf dengan aneka ragam aliran tarekat berkembang cukup pesat.
Yang menakjubkan, di berbagai wilayah tersebut tasawuf bukan lagi menjadi konsumsi bagi orang-orang yang tidak terdidik, tapi justru diminati oleh mayoritas kalangan yang berpendidikan tinggi. Tasawuf bukan lagi hanya diamalkan oleh orang-orang di pedesaan, melainkan malah dipelajari, dikaji, sekaligus dinikmati oleh para kaum elit di perkotaan. Hari ini, tasawuf sekaligus dengan pelbagai aliran-aliran tarekatnya, tidak lagi hanya menjadi suatu bagian peninggalan kuno yang dilupakan orang, tapi sudah menjadi suatu bagian dari kehidupan masyarakat kontemporer yang menyatu dalam segala bentuk aktivitas keseharian mereka. Itulah alasannya mengapa para pelaku tasawuf di dunia kontemporer disebut sebagai para Sufi Urban: mereka menjalankan ritual-ritual tasawuf justru di tengah-tengah kesemarakan dunia kontemporer abad ke-21, di tengah-tengah kemewahan hidup yang mereka miliki, dan bersama profesionalitas mereka sebagai kaum terdidik.
Dalam konteks ini, bangsa Indonesia bukanlah pengecualian. Dalam hasil riset yang dilakukan oleh Julia Day Howell menampilkan tasawuf yang tetap eksis di tengah-tengah kaum elit Indonesia yang tengah dikepung proses modernisasi dan globalisasi. Berdasarkan penemuannya, Julia Howell melukiskan bila tasawuf yang dulu dikaitkan dengan sektor pedesaan ‘tradisional’ Indonesia, ternyata tidak mati dan pada masa pembangunan ekonomi Indonesia yang sangat cepat di bawah pemerintahan Orde Baru, sufisme telah mengilhami antusiasme baru, bahkan di sektor masyarakat Indonesia yang terlibat aktif secara intens dalam modernisasi dan globalisasi: kelas menengah dan atas perkotaan.
Daya tarik terhadap sufisme ini diungkapkan melalui partisipasi orang-orang kota dalam tarekat sufi yang berbasis di pedesaaan dan sudah mapan, di samping melalui bentuk-bentuk institusional baru di kota-kita. Para kaum elit dan kalangan profesional terdidik di Indonesia ini berupaya mempelajari, mendalami, sekaligus menjalankan sebagian ritual-ritual tasawuf dan tarekat di tengah-tengah kota besar seperti Jakarta.
Sampai di sini, pertanyaan yang mengusik benak kita adalah apa yang menyebabkan tasawuf bersama gerakan praktis tarekat-tarekat sufistik tasawuf diminati orang-orang kaya dan kalangan terdidik secara profesional? Dengan kata lain, apa yang menyebabkan tasawuf tetap eksis di tengah-tengah glamouritas kehidupan kontemporer? Dalam studi mutakhir ditemukan bahwa masyarakat dewasa ini tetap memburu makna dan tujuan hidup, sehingga mereka berusaha mereguk tasawuf dan tarekat sebagai spiritualitas yang lebih dalam untuk memenuhi kebutuhan mereka tentang makna dan tujuan hidup.
Sedangkan menurut Komaruddin, tasawuf memiliki daya pikat karena ia mewakili salah satu dimensi keagamaan, yakni dimensi esoteris (dimensi dalam) agama. Tasawuf menjanjikan pengalaman keruhanian manusia yang rindu untuk selalu dekat pada dan bersama dengan Tuhan. Pengalaman mukasyafah, yakni tersingkapnya jarak antara manusia dengan Tuhan, tidak akan terjadi selama manusia masih dibungkus oleh pakaian materi. Tuhan bersifat ruhani maka untuk bertemu dengan-Nya manusia haruslah berpakaian ruhani.
Itulah kebutuhan perenial yang dilukiskan dengan indah oleh Hossein Nasr: “Sufism achieves the goal of the mystical quest, a goal which is perennially sought since it lies within the depth of human existence itself. As long as man is man this search continues and must continue”. Tasawuf mampu menggapai tujuan dambaan mistik, sebuah tujuan yang secara abadi selalu dicari, sebab ia bersemayam di dalam lubuk eksistensi kemanusiaan itu sendiri. Selama manusia adalah seorang manusia, pencarian mistik ini terus berlangsung dan harus terus berlangsung dalam bentangan panjang episode kehidupan umat manusia.
Dalam pandangan Nasr, setiap kita membawa di dalam diri kita realitas yang sama seperti leluhur kita di masa lalu. Kebutuhan kita yang mendalam, misalnya untuk memiliki harapan, mencari arti kehidupan, menemukan kebahagiaan, belajar menghadapi cobaan, kesakitan, kesedihan, dan penderitaan, serta kemampuan menghadapi realitas kematian, adalah sama bagi kita sebagaimana bagi pria dan wanita yang hidup di masa lalu dan yang kepada merekalah ajaran-ajaran tasawuf ditujukan pada masa silam.
Manusia masih terus lahir, hidup, dan mati. Kesadaran dan akal kita masih mencari arti dalam kehidupan kita dan di dunia sekitar kita. Kita masih menghadapi kendala lahir dan batin dalam kehidupan duniawi. Kita masih mengalami putus asa dan membutuhkan harapan. Kita masih mencari tempat berlindung di tengah badai kehidupan. Dan, dalam pengertian terdalam, kita masih makhluk yang diciptakan untuk kekekalan dan membutuhkan Realitas Tak Terbatas, yang melampaui batasan dan kendala mental, psikologis, dan fisik kita. Sebagian dari kita masih merindukan cinta yang “menggerakkan langit dan bintang-bintang”; haus akan anggur makrifat, akan cahaya pengetahuan pembebas yang merupakan satu-satunya hal yang dapat menerangi keberadaan kita secara keseluruhan. Di tengah keributan tentang bagaimana sains dan teknologi modern mengubah kehidupan modern, sosok batin, yang berdiri di luar semua hiruk-pikuk dunia dan yang tidak menyerah kepada kekuatan eksternal, masih hidup di dalam diri kita.
Sosok batin inilah, yang oleh sebagian kaum sufi disebut sebagai “pemilik cahaya” di dalam diri kita, yang tertarik pada warisan tasawuf, bukan sebagai warisan yang sekedar bernilai historis dan arkeologis, melainkan sebagai kenyataan hidup yang memiliki arti penting bagi kita di sini dan sekarang. Bagi orang-orang spiritual yang tidak tersilaukan oleh kemilau dunia yang telah kehilangan tambatan spiritualnya dan berputar-putar di luar kendali, pesan tasawuf menjadi menarik bukan hanya karena pesan-pesan itu ditujukan kepada pria dan wanita dari budaya ini atau itu di masa lalu. Pesan-pesan itu menarik karena berbicara kepada kita di sini dan sekarang, karena berkenaan dengan hal-hal yang sangat nyata dan memiliki konsekuensi eksistensial terdalam bagi kita.
Sebagai contoh, tasawuf mengajari kita bagaimana menyendiri bersama Allah dan berbahagia di dalam kesendirian. Berapa banyak orang masa kini yang menderita akibat kesendirian dan dengan demikian menjadi tertekan? Pesan sufi dapat mengubah keadaan ini dari penderitaan menjadi sukacita. Apa yang lebih dibutuhkan pada masa kini selain kemampuan untuk melihat orang lain sebagai diri kita sendiri dan bukan sebagai musuh? Tasawuf mengajari kita cara meruntuhkan dinding ego dan menyadari secara lansung bahwa dalam pengertian yang terdalam orang lain adalah diri kita sendiri. Berapa banyak dari kita yang mendambakan cinta? Tasawuf memungkinkan mata air cinta untuk Allah dan makhluk-Nya memancar keluar dari dalam jiwa kita. Dan berapa banyak yang mendamba kejernihan intelektual dan kesatuan modus pengetahuan di dunia di mana pengetahuan telah menjadi begitu terkotak-kotakkan? Sekali lagi tasawuf dalam aspek doktrinalnya dapat memberikan solusi.
Respons Komaruddin Terhadap Urban Sufism
Puspa ragam problematika kegersangan spiritual, kegelisahan hidup, perasaan keterasingan, perasaan hampa dan kehilangan makna hidup yang dialami masyarakat kontemporer mengantarkan mereka berlabuh pada tasawuf sehingga melahirkan urban sufism. Mereka tertarik dengan wacana-wacana yang terdapat dalam tasawuf dan berusaha mempelajari sekaligus mengamalkan sekuat kemampuan mereka, seperti wacana tentang ikhlas, konsep zuhud, qona’ah, mahabbah, mujahadah (perjuangan spiritual), ridha, riyadhah (latihan spiritual), zikir, dan sebagainya. Indonesia bukanlah pengecualian. Urban sufism menjelma fenomena yang semarak djalani oleh kalangan kelas menengah dan elit di sebagian kota-kota besar, termasuk kota metropolitan seperti Jakarta.
Dalan konteks inilah, Komaruddin hadir merespons kegersangan spiritual, perasaan hampa dan kehilangan makna hidup yang dirasakan kalangan menengah dan elit perkotaan masyarakat Indonesia dengan jawaban-jawaban sufistik yang relevan dengan kebutuhan mereka. Komaruddin menjawab kegelisahan eksiste.
Zaprulkhan. Dosen di IAIN Syaikh Abdurrahman Siddiq Bangka Belitung