Oleh: M. Faizi
Sambil menunggu kemunculan bis dari arah timur, saya bertanya kepada Pak Muksin, mandor malam partelon Prenduan, terkait tragedi pilu beberapa waktu lalu yang menimpa Pak Iwan, mandor siang di tempat yang sama, yang tertabrak sepeda motor hingga terenggut ajalnya.
“Mobil pikap datang dari timur, mau belok kanan, ke utara. Lalu, ada sepeda motor menyalip, sempat membentur pintu depan pikap sebelum akhirnya terpental dan menabrak Pak Iwan yang sedang berdiri di tepi jalan.”
“Apakah sepeda motor juga mau ke kanan dengan cara menyalip lewat sisi dalam? Ataukah dia mau lanjut ke barat tapi tidak nutut dan akhirnya menabrak?” kata saya menginterogasi. Apa jawabnya?
“Sebagian orang bilang kalau sepeda motor itu memang mau belok ke utara, tapi dugaan saya bukan begitu: sepeda motor mau terus ke barat tapi tidak nutut. Secara pengalaman saya menjadi mandor, tidak mungkin ada kendaraan yang mau belok di pertigaan itu namun tetap ngebut. Umumnya, pasti ia melambatkan lajunya, sementara yang ini tidak.”
“Atau,” susul pertanyaan saya mengandung penasaran, “jangan-jangan mobil pikap memang tidak menyalakan lampu sein?”
“Nah, itu yang saya tidak tahu.”
Percakapan berakhir sekitar pukul 20.45 saat AKAS ASRI datang. Saya naik bis ini sebab AKAS IV jurusan Ketapang Banyuwangi jam terakhir, kata Pak Muksin, sudah lewat, padahal setahu saya ia melintas di Prenduan sekitar pukul 21.00 atau 21.05. Saya tidak mau berdebat karena saya bukan Cabup. Saya pilih percaya saya kepadanya setelah beliau tower-toweran dengan ponsel buluk Nokia-nya dengan seseorang, yang tampaknya seorang sopir.
Saya masuk kabin, bayar 100.000 untuk coret-Probolinggo, lalu tertidur karena kelelahan selama seharian wira-wiri di rumah. Saya tidak peduli pada hal apa pun yang terjadi di sekitar saya kecuali merasakan kecepatan bis ini yang terbukti sudah bisa masuk selter Terminal Purabaya sebelum pukul 01.00, padahal ini bis lawas. Dalam dugaan saya berdasarkan pengamatan pada interiornya, bentuk kursi dan model AC sentralnya, agaknya ini AKAS ASRI yang pada masa mudanya diperkuat untuk trayek Banyuwangi-Jogja.
Saya turun di pintu keluar terminal Bayuangga Probolinggo pukul 02.53, masuk ke dalam terminal dan menemukan AKAS IV bersasis Mercy 1623 yang sedang parkir di barisan terdepan. Saya pun naik bis ini, masuk kabin yang dingin, menukar Rp33.000 dengan secarik karcis bercoret-Situbondo. Tapi, karena langit timur mulai cerah saat kondektur menyebut nama Banyuglugur, maka pilihan turun di Besuki adalah pilihan tepat untuk subuhan. Pikir saya, tidak masalah rugi ongkos sekitar 15.000-an sebab saya beruntung tidak sampai kehilangan subuh secara sengaja.
Sehabis shalat di Masjid Attaufiq, saya berjalan kaki ke arah timur. Ternyata, terminal lumayan jauh jaraknya saat saya tahu bahwa RM Setia tak berada jauh dari masjid, restoran yang dulu pernah saya singgahi sewaktu pulang dari Jamnas Bismania di Pantai Pandawa, Bali. Begitulah cara mengukurnya.
Seorang ibu, yang berdiri di depan rumah makan dengan barang bawaan lumayan berjibun dan saya duga ia penumpang bis dari Bali yang turun di tempat itu, menyapa saya yang berdiri tak jauh darinya, “Ke Bondowoso ada bis gak, Pak?”
“Siang, Bu, sekitar pukul 9. Ibu naik angkot saja dari terminal Besuki. Saya juga mau ke sana, kok.”
“Dari sini naik apa?”
“Becak motor.”
“Mana becaknya? Lagi pula, ongkosnya pasti mahal.”
“Sebentar lagi pasti ada yang lewat dan jangan kuatir, saya yang bayar. Saya ada duit banyak.”
Dalam perjalanan dengan kendaraan roda tiga ke terminal, saya menelepon Hamid yang rumahnya dekat-dekat situ saja, memintanya ke terminal supaya menemani saya ngobrol sambil lalu menunggu bis atau ELF yang akan membawa saya ke ke Situbondo. Kurang dari 30 detik seusai saya membayar ongkos becak, Hamid sudah menggantinya dengan “Salam Tempel Lam Yuhtasab”. Dalam hati saya membatin: Duha saja belum terbit, rezeki sudah dipanjerkan duluan! Luar biasa ajaran bersedekah ini.
“Uang saya terima, tapi mohon diambil kembali sebagai penolak mara-bahaya dari saya”. Hamid tersenyum begitu saja. Matahari belum terbit, tapi pagi sudah tampak begitu indahnya.
Perjalanan ke arah timur, ke Situbondo dan terus ke Sukorejo, tanpa kendala berarti. Perjalanan lancar, tapi penyerobotan-penyerobotan di jalan raya juga lancar jaya. Saya melihat deretan rumah makan besar yang ada di sepanjang Jalan Deandels itu seperti raksasa tua. Jalan tol Trans-Jawa yang sebentar lagi selesai dibangun akan segera mengubah nasibnya.
Perjalanan saya ke PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo ini dalam rangka membicarakan hak-hak pengguna jalan, kewajiban rakyat menaati aturan lalu lintasnya, juga muamalah sesama agar lebih beradab, supaya ada bedanya kita-manusia dengan unggas dan binatang lainnya. Sepintas, ini urusan duniawi, urusan Dishub dan Polisi. Sejatinya, tema jalan dan hak penggunanya serta langkah-langkah memudahkan orang yang melintasinya adalah ajaran Nabi. Ini urusan profetik, sudah sesuai dengan visi nabawi.
M. Faizi. Sastrawan, Pengasuh PP. Anuqayah, Madura