Oleh: M S Arifin
Salah satu ciri peradaban yang terbelakang adalah fanatisme butanya terhadap sosok. Jika kita ingin menengarai apakah peradaban kita merupakan jenis yang ‘terbelakang’, lihatlah fenomena di sekitar kita.
Peradaban yang terbelakang senantiasa menyandarkan kemajuan pada segelintir sosok; satu sama lain memuja-muja sosok pujaan masing-masing kemudian menggantungkan semuanya kepada sosok tersebut: kemajuan, kesejahteraan, pendapat, dan lain sebagainya. Pemujaan yang berlebihan akan melahirkan fanatisme buta yang amat dekaden. Jika sosok pujaan kita dibuli, kita akan balas membuli sosok pujaan orang yang membuli pujaan kita, seterusnya tanpa akhir.
Perhatikanlah fenomena di sekitar kita. Fanatisme buta terhadap sosok mengantarkan masyarakat kita kepada polarisasi yang amat akut. Kita bahkan tidak lagi berbicara soal hal-hal besar untuk menjadi fanatik. Soal selera remeh temeh, di peradaban yang amat terbelakang, dipersoalkan sedemikian rupa.
Penyuka mie instan satu membuli penyuka mie instan lain, penyuka penyanyi satu membuli penyuka penyanyi lain, penyuka kiai satu membuli penyuka kiai lain, penyuka calon presidan satu membuli penyuka calon presiden lain, dan seterusnya. Apa yang mau diharapkan dari peradaban seperti ini?
Peradaban yang memusatkan dirinya pada sosok adalah peradaban yang dekaden. Mereka, masyarakat di peradaban tersebut, tidak terbiasa dengan iklim ilmiah yang penuh dengan kritik. Jika boleh digambarkan, masyarakat semacam ini tak ubahnya ‘gembala’. Mereka mudah dipengaruhi, bahkan hanya dengan beberapa lembar uang atau bahkan hanya dengan beberapa patah kata retoris.
Maka benar bahwa para penyeru kemajuan tidak pernah mendidik manusia untuk fanatik terhadap sosok. Mereka selalu mendidik manusia untuk fanatik terhadap ilmu. Dengan ilmu, manusia tidak mudah diombang-ambingkan oleh gelombang sentimen pribadi maupun sosial. Mereka akan bertindak hanya ketika pikiran sehat mendukung dan nurani terpanggil. Mereka tidak mudah disetting oleh selera pasar dan tidak mudah ikut-ikutan tanpa alasan yang kuat.
Baca juga: Islam dan Evolusi: Lebih Dulu Nabi Adam atau Manusia Purba?
Muhammad Iqbal pernah berkata, “Berhentilah menunggu Mahdi—personifikasi kekuatan. Bangkit dan ciptakan dia.” Bagi Iqbal, salah satu sumber kemunduran adalah pemujaan terhadap sosok (person); bahwa sosok tersebut akan menyelamatkan mereka dari kesengsaraan dan kemunduran.
Oleh umat Islam, Al-Mahdi adalah sosok yang ditunggu-tunggu untuk mengentaskan mereka dari dekadensi umat Islam sekarang ini. Iqbal mengajari kita untuk tidak terpaku kepada sosok. Karena umat yang maju tidaklah ‘menunggu’ (pasif), tetapi ‘menciptakan’ (aktif, kreatif).
Semua peradaban yang maju berpusat pada ilmu. Maka tak ada fanatisme yang sah kecuali fanatisme terhadap ilmu itu sendiri. Jika syarat kemajuan adalah kritis terhadap fenomena di sekitar kita, tak ada jalan lain untuk kritis kecuali melalui ilmu. Syekh Abdullah Al-Haddad dalam ‘Hikam’-nya berkata:
سخّر عقلك لعلمك، وسخّر نفسك لعقلك
“Tundukkan akalmu kepada ilmumu, dan tundukkan nafsumu kepada akalmu.”
Jika kutipan ini diketahui dan diamalkan secara massif, bayangkan betapa luar biasanya peradaban yang akan lahir!
M S Arifin. Alumni Al-Azhar Mesir

