Oleh: Ali Masykur Musa
Modernisasi seperti saat ini adalah suatu sunatullah, karena alam raya selalu dinamis. Itulah perkembangan dan perubahan peradaban manusia yang pasti mengalami kemajuan. Ilmu pengetahuan dan peradaban adalah tarikan satu nafas yang tak terpisahkan. Saat manusia modern memasuki era Revolusi Industri 4.0 seperti ini, akankah makna sufi dan spiritualitas inhern atau justru menjauh?
Yang jelas dalam Al-Quran mengajarkan dalam peradaban dengan kemajuan sepesat apapun sebagai buah dari ‘pikir’ manusia tidak boleh lepas dengan ‘dzikir’ yang mengagungkan kebesaran akan kekuasaan Allah. Jadi, dimensi pikir dan dzikir harus tetap dalam tarikan satu nafas.
Manusia seringkali terbius akan godaan-godaan dunia dan acapkali abai akan kehidupan akhirat dan Allah. Hedonisme, konsumerisme, dan materialisme adalah deretan ‘penyakit dunia’ yang menggerogoti nilai-nilai spiritualitas manusia. Sehingga manusia hanya mementingkan sesuatu yang tampak lahiriah saja. Batiniahnya terkikis. Kesadaran akan nilai-nilai spiritualitas berada pada titik nadir, bahkan minus karena aspek dzikir yang menyambungkan dirinya kepada Tuhannya putus bak layang-layang yang putus dari talinya.
Laku Sufi
Laku dzikir setiap nafas di tengah era modern inilah yang dinamakan tasawuf tanpa meninggalkan laku kauniyah yang dijalaninya sehari-hari. Tasawuf bisa menjadi sumber nilai spiritual seseorang di era modern tanpa terputus dengan Allah.
Tasawuf membekali seseorang bahwa segala sesuatunya harus dilakukan hanya karena dan untuk Allah saja. Bukan yang lain. Bertasawuf, hati seseorang juga akan menjadi lembut dan penuh akan cinta. Sehingga tidak sampai menyalah-nyalahkan, mengkafir-kafirkan, dan bahkan membunuh yang lain, dari aspek muamalahnya.
Lebih dari itu, bertasawuf dalam aspek ibadah, seseorang tidak hilang istiqamahnya selalu memuji Allah setiap saat meski fisiknya tetap menjalankan amanah dunia. Belajar tasawuf bisa menjadi oase di zaman yang tandus seperti zaman modern ini.
Menjalankan laku sufi merupakan implementasi dari ‘kaffah’nya berislam. Agama Islam yang disampaikan Nabi Muhammad mencakup tiga dimensi: Iman, Islam, dan Ihsan. Dimensi Iman melahirkan ilmu kalam atau teologi. Dimensi Islam melahirkan ilmu fikih atau syariat. Sedangkan Dimensi Ihsan melahirkan ilmu tasawuf dan laku sufi. Ketiganya saling terkait. Bukan untuk dipertentangkan, meski masih ada beberapa kelompok di dalam Islam yang menolak tasawuf.
Istilah tasawuf itu muncul pada abad kedua atau ketiga Hijriyah. Memang pada zaman Nabi Muhammad dua istilah ini belum ada. Namun, rujukan ajaran tarekat dan tasawuf itu adalah Al-Qur’an dan hadis. Bahkan, Rasulullah adalah teladan dalam bertasawuf. Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-A’la:14-15 :
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى (14) وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى (15)
Artinya : Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia menyebut nama Tuhannya, lalu dia salat (Q.S Al-A’la:14-15).
Demikian juga yang ada dalam Surat As-Syams Ayat 9 :
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9)
Artinya : sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu (Q.S As-Syams Ayat 9).
Pengertian tasawuf yang kita kenal selama ini adalah para sufi yang meninggalkan dunia bahkan membenci dunia. Sebagaimana yang dilakukan oleh para sufi pada abad ke dua dan ketiga yang benar-benar mensucikan diri dari keduniaan dan menyatukan diri dengan Tuhan.
Laku menfanakan dirinya serta mengkekalkan Dzat Tuhan sehingga banyak pemikiran dan amalan Tasawuf yang susah diterima oleh orang awam, lantaran dalamnya pemaknaan dan kecintaan kepada Tuhan sehingga menghilangkan kecintaan terhadap dunia dan dirinya.
Laku Sufi Modern
Bagaimana dengan jaman sekarang ? Jika pemaknaan laku tasawuf model diatas tentunya sangat sulit jika diterapkan. Pemaknaan dan laku tasawuf bukan berarti harus meninggalkan dunia. Kata kuncinya adalah, orang yang laku tasawuf hanya bergantung kepada Allah (Ta’alauq Ilaa Allah), bukan bergantung kepada dunia (Ta’alauq Ilaa Dunya). Jadi, di alam modern tetaplah dan haruslan manusia bisa menjalankan ‘laku sufi’.
Tasawuf di alam modern prinsipnya menghadirkan ‘tauhid’ dalam tata laku keseharian yang diwujudkan dalam akhlaqul karimah sebagai keterpaduan antara Iman, Islam dan Ihsan. Jadi, tidak perlu terus menerus menyepi serta menjauhi kehidupan normal.
Seorang laku sufi di era modern harus bersifat dinamis yang diwujudkan dengan semakin meningginya kesadaran muroqabah kepada Allah, Musyahadah terhadap keberadaan dan kebesaran Allah dan semakian lembutnya kepekaan sosial. Tasawuf bertujuan untuk memperbaiki budi bekerti dan membersihkan batin.
Tasawuf berfungsi untuk membentengi diri dari penyakit hati yang menghinggapinya. Tasawuf modern bagi adalah penerapan dari sifat: qanaah, ikhlas, faki dan wara tetapi tetap semangat dalam bekerja.
Selain itu, seorang laku sufi di abad modern juga dituntut untuk bekerja secara giat dengan diniati karena Allah SWT. Prinsipnya etika dan moral menjadi pegangannya di bidang pemerintahan, bisnis dan ekonomi, Pendidikan, dan bidang kehidupan social lainnya di dunia ini. Inilah makana laku tasawuf di dunia modern.
Walhasil, seseorang yang mengamalkan tasawuf itu memiliki ketenangan batin yang luar biasa, karena ia selalu melakukan tazkiyatun annafs, yaitu membersihkan jiwanya, dan melakukan tasfiyatul qalbi, yaitu mebeningkan mata hatinya. Dia memiliki rasa tidak memiliki, maksudnya yang ia miliki adalah semat-mata milik Allah. Ia sadar betul bahwa semua itu merupakan titipan dan amanah Allah dan hendaknya kita pergunakan dijalan yang baik dan benar.
Kalau orang modern bisa mengamalkan nilai-nilai tasawuf, maka akan terbangun kesalehan sosial dan kepedulian terhadap sesama. Hal seperti inilah yang sekarang ini kering. Karena itu, laku sufi adalah jawabannya. Ramadhan adalah mata air sebuah oase yang tak akan pernah kering dari mahabbahnya Allah kepada umatnya. Kapan harus bersufi ? Sekarang juga mulailah menjalankan ‘laku sufi’ jika kita ingin hidup tenang.
Sumber: Detik.com
Ali Masykur Musa. Ketua Umum PP ISNU dan Pengasuh Pondok Pesantren Pasulukan Al-Masykuriyyah