Abad ke-21 menandai perubahan yang begitu besar di ranah kehidupan umat manusia, mulai dari perubahan di ranah ekonomi, budaya, politik, hingga teknologi. Perubahan-perubahan ini merupakan dampak dari berbagai gejala globalisasi yang memungkinkan manusia untuk tumbuh lebih pesat dan diharapkan dapat memberikan perbaikan bagi kehidupan umat manusia.
Tantangan utama di abad ke-21 ini adalah setiap insan dapat dan harus menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, terutama mengasah kemampuan untuk ikut serta berkontribusi dalam gerak sosial yang begitu cepat.
Santri sebagai salah satu agen perubahan juga sangat terdampak dengan berbagai perubahan dan kemajuan di abad ke-21 ini. Terutama di wilayah sosial politik, ekonomi, dan perkembangan teknologi.
Sebagai komunitas tradisionalis, santri tidak boleh hanya mengandalkan kajian-kajian keilmuan yang hanya terbatas pada pengkajian kitab kuning semata, ini tentu tetap harus dipertahankan sebagai kekayaan warisan masa lalu dan usaha untuk menjaga agama. Namun yang tidak kalah penting dari itu santri juga diharapkan dapat terus belajar guna mempersiapkan kapasitas untuk ikut serta dalam perubahan sosial.
Misalnya, bila santri tidak melek terhadap teknologi informasi, maka lambat laun santri akan makin terpinggirkan, terutama dalam berkontribusi secara aktif melalui perubahan sosial yang ada. Bukannya berdampak bagi perbaikan umat, santri bisa jadi malah terdampak pada hal-hal yang kurang baik dan kurang menguntungkan.
Oleh karenanya, kesadaran untuk terus tumbuh dan melek terhadap dunia luar adalah kunci bagi santri untuk dapat terus belajar menyesuaikan diri dengan modernitas serta perubahan yang begitu cepat di berbagai bidang.
Baca juga: Mungkinkah Pemikiran Santri Bisa Mendunia?
Santri yang memiliki kemampuan tak terdandingi dalam memahami teks-teks keagamaan harus mampu keluar dari cangkang untuk melihat konteks kehidupan yang lebih luas. Salah satu caranya, adalah pengembangkan literasi pengetahuan yang diperkaya dengan basis teknologi modern.
Untuk itu, para pemangku kebijakan di pesantren, harus lebih awal untuk menyadari sekaligus mempersiapkan anak didiknya agar tidak terkaget-kaget dengan kehidupan yang ada di dunia luar.
Membuat kebijakan yang berorientasi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan kunci bagi santri untuk dapat mengasah kemampuannya guna mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan abad ke-21.
Apalagi, fenomena Artificial Inteligene (AI) telah memperak-porandakan kesadaran dan kemampuan manusia yang berhadap-hadapan dengan mesin, sehingga bila ini tidak diantisipasi maka santri akan gagap terhadap lingkungan dan kehidupannya sendiri.
Selain itu, tantangan di bidang ekonomi juga tidak kalah pentingnya, di mana santri dan pesantren harus mulai mengembangkan bidang perekonomian yang mandiri. Hal ini penting dilakukan agar santri mempunyai kapasitas untuk mencari penghidupan materi di masa mendatang, terutama ketika telah berjuang di masyarakat.
Tantangan di bidang ekonomi juga bukan omong kosong belaka. Sebab, banyak santri yang tidak mampu bekerja ketika telah boyong dari pesantren. Ketika pulang ke kampung halamannya, mereka tergagap-gagap karena tidak memiliki skill untuk bekerja. Akibatnya, banyak santri kerja serabutan dan tidak jelas kualifikasinya.
Ini tentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut dan harus segera diubah. Perubahan itu harus dimulai di lingkungan pesantren di mana santri bersemayam. Pesantren harus menjadi lembaga yang mampu mencetak generasi yang bukan hanya pandai di bidang ilmu agama, tetapi juga harus terampil di segala bidang keilmuan. Hal inilah yang kiranya perlu diperhatikan guna mempersiapkan santri untuk turut berkontribusi dalam perubahan-perubahan di abad ke-21.