Keris, Tradisi, dan Ilmu Hakekat
sultantv.co

Keris, Tradisi, dan Ilmu Hakekat

Oleh: M S Arifin

Beberapa waktu yang lalu, potongan ngaji saya yang membahas tentang keris dan ketidaksetujuan saya terhadap pendapat Gus Baha cukup viral di laman Facebook, dan di TikTok, dalam waktu sehari, video tersebut sudah tembus hampir 50 ribu penonton, sebelum video itu saya privat di kedua aplikasi tersebut, karena alasan bahwa komentar yang ada, terutama di TikTok, tidak menunjukkan gelagat ingin tukar pendapat atau adu argumen melainkan lebih ke menghakimi dan menghujat.

Selain daripada itu, saya merasa bahwa masalah sekompleks itu tak mungkin tertampung dalam satu video pendek, potongan ngaji yang begitu panjang. Dengan demikian, melalui tulisan ini, saya akan merunut argumen saya tentang apa yang saya ungkapkan dalam video tersebut.

Pengecualian dan Jangkauan

Sebelum masuk ke pembahasan, saya mengecualikan bantahan saya terhadap keris dari beberapa tinjauan berikut:

  1. Saya tidak mempermasalahkan keris sebagai warisan budaya, bahkan ia sudah menjadi warisan budaya UNESCO. Kita patut bangga terhadap warisan tersebut.
  2. Saya tidak tengah mensyirikkan pemegang keris, karena ketika saya tengok komentar dalam video yang akhirnya saya sembunyikan tersebut, agaknya banyak yang memahami narasi saya sebagai narasi pensyirikan.
  3. Saya tidak membahas keris dari perspektif ilmu hakekat, melainkan dari segi hukum syariat berupa kepercayaan atas benda yang tak ada pembenarannya dari teks yang otoritatif dalam agama Islam.
  4. Saya tidak mempermasalahkan pemegang keris dari kalangan non-Islam, karena tak ada yang bisa didiskusikan di sana kecuali antara saya dan orang yang saya kritik sama-sama meyakini sumber otoritatif dalam agama Islam.

Berarti dengan demikian, bantahan saya terhadap keris menyangkut hal-hal berikut:

  1. Saya mengkritik pemegang keris yang meyakini bahwa di dalamnya terdapat kekuatan supranatural yang tidak lain berasal dari jin, karena itulah yang justru lumrah di antara masyarakat kita.
  2. Hukum bersekutu dengan bangsa jin melalui praktik memegang benda-benda yang diyakini memiliki tuah (dan dengan demikian, keris hanya salah satunya).
  3. Saya mengkritik orang yang menganggap benda-benda semacam keris sebagai lantaran (1) yang tak berhubungan dengan tujuan yang diinginkan, seperti kekebalan, penglaris, kewibawaan, dan seterusnya, dan sebagai lantaran atau wasilah (2) yang tidak dibenarkan oleh syariat.

Dan, sebagaimana suatu perdebatan bisa berlangsung, tentu tulisan ini tidak diperuntukkan bagi mereka yang non-Muslim dan mereka yang tidak percaya dengan adanya makhluk supranatural berupa jin.

Syirik dan Kenyamanan

Dalam suatu ceramah, Gus Baha berkata:

“Sehingga setelah ada firqoh-firqoh (kelompk-kelompok—red) takfiri yang mengatakan ‘orang pegang keris itu syirik, ke kuburan itu syirik, ini ini syirik’, itu salah besar. Salahnya adalah tadi, kalimat-kalimat, atau kebenaran-kebenaran absolut, ini sudah jadi:

 صِبْغَةَ اللَّهِ ۖ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً

Kalimat ini (kalimat tauhid—red) begitu absolut di hatinya orang mukmin. Sehingga ketika terganggu dengan hal-hal yang adat istiadat, kayak pegang keris, kayak apa, ini tidak mengganggu. Tetep kualitas iman di atas keyakinan adat membawa keris. Kalau orang membawa keris percaya sama makhluk?! Orang, misalnya kejawen, kalau gag bawa keris gag nyaman. Orang kota itu kalau gag bawa ATM juga gag nyaman. Itu tidak dihukumi syirik.”

Saya setuju dengan dawuh Gus Baha bahwa kalimat tauhid itu bersifat tak tergoyahkan dalam hati tiap mukmin, sehingga posisinya tak dapat dipengaruhi hanya gara-gara memegang benda ini dan itu. Namun, saya menyoroti dua hal yang luput dibincangkan di sana:

  1. Benda-benda yang digunakan secara adati oleh tiap muslim merupakan sarana dalam menjalani kehidupan mereka. Sarana ini ada yang dibenarkan secara syariat dan ada yang tidak. Dari sini, jelas bahwa keris dan ATM berbeda. Yang pertama adalah benda yang ketika dibawa diyakini dapat membawa keselamatan, yang kedua adalah benda yang menjadi alat tukar dalam muamalah jual beli. Kadar kenyamanan pemegangnya memang sama, namun kadar keyakinan akan ‘konten’ kedua benda itu amat berbeda. Yang pertama tidak secara langsung berhubungan dengan muamalah berupa alat tukar, sedang yang kedua berhubungan dengan alat tukar dalam muamalah yang disepakati bersama.
  2. Ceramah Gus Baha dijadikan dalil pembenaran seolah-olah memegang keris untuk kepentingan ini dan itu dibenarkan dalam syariat. Jangan tutup mata akan hal ini! Banyak sekali praktik dalam masyarakat kita yang mendayagunakan keris untuk kepentingan muamalah mereka, mulai dari kewibawaan (pangkat), penglaris, kejadukan (kekebalan), dan seterusnya. Apa kaitan antara keris (sebagai wasilah) dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pemegangnya? Tak ada!

Dengan demikian, saya tak mau dan tak mampu menghukumi pemegang keris dan benda sejenisnya sebagai musyrik, karena mempertimbangkan keabsolutan kalimat tauhid yang ada di dada mukmin. Namun, hal ini pun juga tak bisa dijadikan pembenaran bolehnya seseorang memegang benda-benda semacam ini yang diyakini A-Z sebagai bertuah, memiliki kekuatan supranatural yang melampaui kadar dzahir dari ilmu muamalah.

Syariat dan Hakekat

Dalam mengarungi kehidupan sehar-hari, orang mukmin butuh wasilah atau perantara. Mereka (faktanya dan seharusnya) meyakini bahwa tak ada kekuatan dan daya kecuali atas izin Allah SWT. Perantara apapun, sejatinya, tak memiliki daya jika Allah tidak menghendakinya. Kendati demikian, kadang kita ‘kebablasan’ dalam menyikapi wasilah. Bisa saya simpulkan, ada dua jenis kebablasan tersebut. Pertama, dalam penilaiannya. Kedua, dalam aplikasinya.

Dalam membenarkan dan membela benda bertuah, kadang orang meletakkan penilaian versi ilmu hakekat. Saya tidak sedang menyerang ilmu hakekat, namun saya menyerang sebagian kelompok yang menganggap ilmu hakekat adalah segala-galanya sehingga menyingkirkan ilmu syariat karena dinilai sebagai ilmu kulit semata. Sebagian dari mereka menganggap bahwa ilmu syariat itu tidak penting, karena beranggapan level keilmuan mereka sudah sampai ke taraf hakekat, sehingga mereka meninggalkan ritual-ritual dzahir dalam ilmu syariat seperti shalat dan puasa Ramadahan. Ilustrasi Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dalam ‘Risalah Ahlussunnah wal Jamaah’ berikut ini bisa membantu:

“Di antara kelompok sesat itu adalah kelompok ‘Ibahiyyun’ yang berkata bahwa ketika seorang hamba sudah sampai pada taraf mahabbah, hatinya bersih dari lupa (kepada Allah—ed), maka gugurlah perintah dan larangan (syariat—ed), dan Allah tidak akan memasukkannya ke neraka lantaran melakukan dosa besar. Sebagian dari mereka berkata bahwa ibadah lahiriah telah gugur baginya, dan ibadahnya hanyalah tafakur dan memperbaiki akhlak batiniah. Sayyid Muhammad berkata dalam ‘Syarah Ihya’: “Orang seperti ini telah kufus, zindik, dan sesat.” (hal. 11)

Dalam konteks benda bertuah, mereka kebablasan dalam meletakkannya sebagai wasilah, seolah tak ada bedanya dengan jenis-jenis ikhtiar lain. Mengenai kelancaran rezeki, mereka tak membedakan antara berdoa dan benda bertuah, seolah keduanya sama-sama dalam lantaran. Dan ketika ada orang yang menyinggung benda bertuah yang diyakininya bisa menarik rezeki atau membuka aura atau yang lainnya, omongan mereka sampai kepada ilmu hakekat. Mereka kemudian mengatakan dua hal:

  1. Benda bertuah ini mereka jadikan sebagai lantaran, dan mereka tetap mengaku bahwa mereka meminta kepada Allah SWT.
  2. Lebih ekstrem daripada itu, mereka kadang menilai wasilah dalam bingkai ilmu hakekat, tanpa terlebih dahulu menyeleksinya dalam bingkai syariat. Sebagai contoh, jika ada orang yang menyalahkan mereka karena mereka memegang benda bertuah agar rizki lancar, mereka akan menyalahkan praktik shalat Dhuha dengan motif melancarkan rizki, tanpa melihat secara syariat bahwa itulah cara paling aman dan benar yang diajarkan Nabi untuk memperlancarkan rizki.

Maka, yang terjadi adalah bahwa mereka ‘seolah-olah’ benar karena berbicara ilmu hakekat, padahal pertimbangan pertama dalam agama adalah secara syariat. Apakah memegang benda bertuah dalam memperlancar rizki dibenarkan syariat? Inilah yang mereka abaikan, dan ketika ada orang yang menyinggung hal ini orang tersebut dicap wahabi oleh mereka atau bahkan dicap tidak menghargai warisan leluhur.

Baiklah, itu soal penilaian. Lantas bagaimana tinjauan syariat mengenai lantaran? Saya akan membagi hal ini ke dalam tiga bagian. Pertama, lantaran yang secara sharih (jelas) diajarkan syariat. Kedua, lantaran yang tidak diajarkan secara sharih dalam syariat. Ketiga, lantaran yang sama sekali tidak diajarkan oleh syariat.

Pertama, untuk semua urusan duniawi, agama atau syariat telah menyediakan lantaran yang secara umum kita sebut sebagai ‘doa’. Agar terhindar dari petaka dan selamat, agama telah menyediakan doa dalam segala situasi. Doa sebelum naik kendaraan ada, doa sebelum masuk kamar mandi ada, doa sebelum makan ada, doa sebelum tidur ada, bahkan doa dalam memperlancar rizki juga ada. Tidak hanya doa murni, agama juga mengajarkan Shalat yang diperuntukkan memperlancar rizki, yaitu Shalat Dhuha. Jika demikian, kenapa jika ada orang yang sowan ke seorang kiai dan meminta rizkinya lancar atau dagangannya laris tidak disarankan untuk mengamalkan ajaran agama ini tetapi malah diberi jimat? Aneh bukan kepalang!

Kedua, lantaran yang tidak secara sharih diajarkan oleh agama adalah praktik ‘tafa’ulan’. Dalam bahasa kita, ‘tafa’ulan’ bisa diartikan suatu optiomisme yang dititipkan pada situasi benda, keadaan tempat, dan makna bahasa, yang disertai dengan doa. Sebagai contoh, rumah orang Jawa dulu pada umumnya memiliki halaman dan ruang tamu yang luas. Nah, situasi ini dijadikan optimisme dan doa semoga kehidupan dan rizkinya luas dan lapang sebagaimana halaman rumah dan ruang tamunya. Lantaran bentuk kedua ini secara syariat dibenarkan kendati tidak secara sharih, karena tidak adanya keyakinan ‘tuah’ dalam benda maupun tempat yang disugestikan.

Ketiga, lantaran yang tidak dibenarkan karena (1) tidak ada ajaran secara sharih dalam agama, (2) diyakini lantaran itu bertuah, dan (3) tidak adanya hubungan ‘tafa’ulan’ antara benda, situasi benda, dan keadaan tempat yang disugestikan dengan tujuan yang diinginkan. Misalnya, apa kaitan antara jimat (berupa apapun) dengan keselamatan? Baik secara syariat maupun tafa’ulan, jimat (dan benda sejenis) tidak dibenarkan. Bagaimana dengan ilmu kekebalan dengan memakan ‘gotri’ yang ‘tafa’ulan’-nya diambil dari kerasnya besi dan baja? Menjawab hal ini, saya akan bertanya: “Apa tujuan dari ilmu kebal?” Biasanya, mereka yang melakoni ilmu kebal akan menjawab, “Untuk keselamatan.” Saya jawab dari dua sudut pandang:

  1. Energi apa yang dimasukkan ke dalam ‘gotri’ (dan besi-besian lain) dan kemudian dimasukkan ke tubuh manusia? Secara nalar, besi itu tak layak dimasukkan ke tubuh manusia. Dan praktiknya, semisal susuk, tak masuk akal benda bisa masuk ke tubuh manusia tanpa meninggalkan bekas lupa. Karena tak masuk akal, maka, pertanyaannya, energi apa yang digunakan dalam prosesi pasang susuk? Jika itu energi jin, maka memang wajar jika yang terjadi adalah sesuatu yang tak masuk akal, karena jin mampu melakukan hal yang demikian.
  2. Apakah keselamatan hanya berbentuk kekebalan? Bukankah ilmu kekebalan justru mempersempit jangkauan kata ‘selamat’? Selamat bisa jadi berwujud bahwa kita dihindarkan dari mara bahaya seperti pembegalan dan perampokan. Bukankah dihindarkan dari mara bahaya lebih selamat daripada harus menghadapi begal kemudian adu kekuatan?

Dengan demikian, masalah sebenarnya terdapat pada kita yang tidak terlalu yakin dengan amalan-amalan syariat, sehingga kita mencari cara dan lantaran lain yang tidak dibenarkan oleh syariat. Jika mau berbicara ilmu hakekat, maka pertanyaannya sederhana: “Apakah para pemegang benda bertuah (yang tidak ada dalam ajaran Islam) berani menginjak benda tersebut, jika ia yakin hanya Allah SWT yang memiliki kekuatan?” Nyatanya, dalam praktek di masyarakat kita, banyak yang tidak berani membawa benda bertuah tersebut (biasanya akik) ke dalam kamar mandi? Sesuci apakah benda tersebut sampai-sampai tak berani membawanya ke kamar mandi? Jangan tutup mata akan hal ini!

Jenis-jenis Persinggungan Manusia dengan Jin

Sebagian masyarakat kita menamai jin sebagai makhluk astral. Makhluk ini diyakini bisa menghuni benda-benda tertentu seperti keris, batu akik, jimat, susuk, dan seterusnya. Diyakini pula makhluk ini kadang menghuni pohon-pohon besar sehingga dianggap angker. Saya berpandangan bahwa beberapa pandangan masyarakat tentang makhluk asrtral ini perlu diluruskan:

  1. Jin memang ada, dan meyakini keberadannya termasuk wajib bagi tiap muslim, karena bangsa jin juga disebutkan keberadaannya dalam Al-Quran. Namun, ada pemahaman yang amat fatal di mana sebagian masyarakat kita menganggap jin lebih mulia dan lebih ampuh daripada manusia. Demikian karena jin bisa melakukan hal-hal yang oleh manusia dianggap tidak masuk akal, seperti mewujudkan benda-benda ghaib, memindahkan benda dari satu tempat ke tempat lain dalam waktu yang singkat, dan bisa mewujudkan keinginan seperti kekayaan bagi manusia lewat praktik pesugihan.
  2. Benda bertuah atau tempat angker sejatinya berkait erat dengan keyakinan manusia. Jin senantiasa mengikuti sugesti manusia. Jika sekelompok orang meyakini suatu pohon itu angker, justru hal tersebutlah yang menarik jin untuk menghuni di sana. Begitu juga dengan benda-benda bertuah. Jika saja tak ada manusia yang meyakini suatu benda itu bertuah dan memiliki kekuatan ini dan itu, maka benda tak ubahnya benda lain seperti meja atau kursi.

Berbanding lurus dengan keyakinan dalam masyarakat kita seperti di atas, maka secara langsung, sadar atau tidak sadar, mereka sebenarnya telah mendayakan jin untuk membantu melancarkan urusan mereka. Tak usahlah kita pura-pura tidak tahu akan hal ini. Lihatlah bahwa sebagian orang merasa bangga karena memiliki khodam. Siapa itu khodam yang dimaksud? Bangsa jin. Sebagian masyarakat membenarkan praktik ‘mendayakan’ jin karena dalil kisah Nabi Sulaiman. Ini salah kaprah, namun sebelum menjelaskan kesalahkaprahan ini, akan saya jelaskan jenis-jenis persinggungan manusia dengan bangsa jin berikut:

  1. Isti’adzah (meminta ‘dekengan’ atau perlindungan)

Sebagian masyarakat kita memiliki tradisi ‘amit-amit’ (permisi) ketika lewat di tempat angker. Demikian lantaran mereka takut jika diganggu oleh ‘penghuni’ tempat angker tersebut. Praktik ini sebenarnya lumrah pada zaman Jahiliyyah sebagaimana dicatat dalam Al-Quran surat Al-Jin ayat 72. Ibn Jarir At-Thabari dan mayoritas mufassir lainnya menyatakan bahwa ayat ini turun menjelaskan tentang kebiasaan orang Arab Jahiliyyah ketika lewat atau bermalam di daerah lembah yang dianggap angker, mereka ‘meminta perlindungan’ kepada raja atau pemimpin jin yang ada di sana agar tidak diganggu oleh anak buah jin. Dan apa yang terjadi? Benar, bahwa pemimpin jin itu menyuruh anak buahnya agar tidak mengganggu manusia tersebut, namun Al-Quran menyebutkan bahwa bangsa jin itu menambah kerusakan (rahaqa) bagi bangsa manusia yang meminta perlindungan kepada mereka. Sebagian ahli tafsir, termasuk Imam Thabari, menyatakan bahwa makna ‘rahaqa’ adalah ‘itsman’ atau dosa. Jadi, sama sekali tidak dibenarkan kita mengucapkan ‘amit-amit’ jika melewati tempat angker. Bukankah lebih baik kita membaca ‘Ta’awwudz’ dan meminta perlindungan kepada Allah SWT?

  1. Isti’anah (meminta bantuan)

Sebagian masyarakat kita tak mau disalahkan dalam urusan meminta bantuan kepada bangsa jin. Mereka menganggapnya sebagai lantaran, tak ada bedanya dengan meminta bantuan kepada sesama manusia. Kesalahan fatalnya terjadi di sini. Meminta bantuan kepada makhluk itu ada batas kewajarannya sebagaimana yang diatur oleh syariat.

Pertama, manusia bermuamalah dengan manusia. Kenapa? Karena mereka satu alam dan bisa saling membantu dalam urusan-urusan keseharian mereka. Sementara itu, jin sudah berbeda alam dengan manusia. Kita tidak tahu hakikat mereka dan seringkali kita menuruti syarat-syarat yang mereka ajukan ketika meminta bantuan, mulai dari membeli kembang tujuh rupa, minyak-minyakan yang harganya selangit, dan lain sebagainya. Ini pelanggaran.

Kedua, meminta bantuan terhadap bangsa jin bisa melalui manusia yang disebut ‘Kahin’. Masyarakat kita belakangan ini menyebutnya ‘Dukun’. Siapa itu ‘Kahin’? Orang yang memutusi sesuatu dengan kabar ghaib dari jin. Tak perlu saya jelaskan praktik ini di antara masyarakat kita karena sudah begitu maklum. Pertanyaannya: Apa hukumnya mempercayai ‘Kahin’? Hukumnya haram. Nabi bersabda, “Barangsiapa datang ke ‘Kahin’ dan membenarkan apa yang diucapkannya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.”

  1. Istikhdam (mempekerjakan)

Apa perbedaan antara ‘isti’adzah’, ‘isti’anah’ dengan ‘istikhdam’? Perbedaannya terdapat pada level manusianya. Pertama, dalam ‘isti’adzah’, manusia, secara sadar atau tidak sadar, meletakkan dirinya di bawah bangsa jin, bahwa di bawah perlindungan jin inilah ia bisa selamat. Kedua, dalam ‘isti’anah’ manusia meletakkan bangsa jin setara dengan dirinya, diperlakukan sebagai partner dalam urusan-urusan mereka. Manusia butuh untuk melancarkan urusannya lewat bantuan jin, dan jin butuh ‘diberi makan’ lewat praktik pensyaratan seperti kembang, menyan, minyak wangi, dan seterusnya. Ketiga, dalam ‘istikhdam’, manusia meletakkan dirinya di atas jin, sehingga ia mempekerjakan jin tanpa imbalan sebagaimana yang terjadi dalam ‘isti’anah’.

Pertanyaannya, apakah praktik ‘istikhdam’ dibenarkan? Biasanya, mereka yang membenarkan praktik ini berdasarkan pada kisah Nabi Sulaiman. Saya akan menjawab hal ini dari dua hal: (1) syariat kita, syariat Nabi Muhammad, bukanlah menundukkan bangsa jin, melainkan mengislamkan mereka sehingga mereka bisa bertakwa kepada Allah SWT, (2) Nabi Sulaiman, kendati Nabi, pernah beberapa kali ditipu oleh jin yang ia tundukkan; ada kisah di mana Nabi Sulaiman pernah dianggap gila karena ada jin yang menyerupainya dan menduduki singgasananya, dan ada pula kisah di mana jin memalsukan kitab sihir setelah wafatnya Nabi Sulaiman.

Penutup

Semua bukti ini menunjukkan bahwa segala bentuk persekutuan manusia dengan bangsa jin tidak dibenarkan. Namun, sebagian masyarakat kita seringkali tutup mata dari hal ini. Di era yang sudah sangat modern ini, ternyata praktik persekutuan dengan bangsa jin malah semakin marak. Kesulitan hidup yang dijalani manusia menuntun mereka untuk menempuh cara instan dalam menghadapi ketentuan Allah SWT, mengabaikan hukum syariat dan bahkan menganggap hukum syariat sebagai kerak luarnya saja yang bisa diabaikan jika seseorang sudah sampai kepada inti ‘hakekat’.

Menutup tulisan ini, mari kita belajar lagi dan mengangan-angan bait-bait dalam kitab ‘Kifayat al-Atqiya’ ini agar kita selamat di dunia maupun di akhirat:

إِنّ الطَرِيْقَ شَرِيعَةٌ وَطَرِيْقَةٌ # وَحَقِيْقَةٌ فَاسْمَعْ لَهَا مَا مُثِّلَا

Sesungguhnya jalan ibadah itu adalah Syariat, Terekat, dan Hakekat, maka lihat saja perumpamaannya

فَشَرِيْعَةٌ كَسَفِيْنَةٍ وَطَرِيْقَةٌ # كَالبَحْرِ ثُمَّ حَقِيْقَةٌ دُرٌّ غَلاَ

Syari’at itu laksana perahu dan tarekat itu laiknya lautan, lalu hakekat ialah permata yang berharga

فَشَرِيْعَةٌ أَخْذٌ بِدِيْنِ الْخَالِقِ # وَقِيَامُهُ بِالأَمْرِ وَالنَهْيِ انْجَلاَ

Syari’at itu memeluk agama Sang Pencipta, menjalankan perintah serta menjauhi larangannya

وَطَرِيْقَةٌ أَخْذٌ بِأحْوَطَ كَالوَرَعْ # وَعَزِيْمَةٌ كَرِيَاضَةٍ مُتَبَتِّلاً

Tarekat itu mengambil yang lebih waspada seperti sikap wira’i dan bertekat bulat seperti melakukan riyadlah untuk memerangi hawa nafsu

وَحَقِيْقَةٌ لَوُصُوْلُهُ لِلمَقْصَدِ # وَمًشَاهَدٌ نُورَ التَّجَلِّى بِانْجَلَى

Hakekat itu sampai ke tempat tujuan, serta menyaksikan nur tajalli dengan benderang

مَنْ رَامَ دُرًّا للسَّفِيْنَةِ يَرْكَبُ # وَيَغُوْصُ بَحْرًا ثُمَّ دُرًّا حَصَلاَ

Barang siapa berharap permata naiklah ke perahu serta selami laut lalu ambil permata di sana

Sumber: Fb M S Arifin

M S Arifin. Alumni Al-Azhar Mesir

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *