Muhammad Syahrur lahir di Damaskus, Syiria, pada 11 April 1938. Sejak muda, Syahrur terkenal sebagai anak yang cerdas dan cemerlang. Hal ini paling tidak dapat dibuktikan dari proses pendidikannya yang lancar dan tidak menghadapi kendala sedikit pun.
Tahun 1958, kira-kira di usia 20, Syahrur memperoleh beasiswa dari pemerintah dan berangkat ke Satarow di Moskow, Uni Soviet untuk mempelajari teknik sipil, dan pada tahun 1964 Syahrur berhasil menyelesaikan program diploma teknik sipil, jenjang pendidikan ini ditempuhnya selama lima tahun mulai 1959 hingga 1964. Pada tahun 1965, Syahrur kembali ke Syria dengan gelar sarjana Teknik Sipil dan mengajar di Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus.
Namun demikian, dalam waktu yang cukup lama Universitas Damaskus mengutusnya ke Universitas Irlandia, tepatnya di Ireland National University guna melanjutkan studinya di program Magister (MA) dan sekaligus program Doktoral (Ph.D) dalam bidang Mekanika Pertahanan dan Fondasi. Ia memperoleh gelar pada tahun 1969 dan program doktornya ia selesaikan tiga tahun kemudian pada 1972.
Selain bidang teknik, Syahrur juga menekuni filsafat dan ilmu bahasa. Pada tahun itu juga, ia bersama beberapa rekannya di fakultas membuka Biro Konsultasi Teknik. Prestasi dan kreativitas Syahrur semakin menambah kepercayaan Universitas terhadapnya. Hal ini terbukti ketika ia mendapat kesempatan menjadi tenaga ahli di Saudi Arabia pada Al-Saud Consult pada tahun 1982-1983.
Pada tahun 1995, Syahrur pernah diundang menjadi peserta kehormatan dan terlibat dalam debat publik mengenai pemikiran Islam di Libanon dan Maroko. Ketika itu, Syahrur sudah mulai memperkenalkan ide-ide pemikiran keislamannya, baik dalam forum-forum diskusi maupun menerbitkan sejumlah buku.
Kita tahu bahwa setiap kegiatan intelektual seseorang tidak pernah lepas dari problematika sosial yang melatarinya. Sebuah konstruk pemikiran yang muncul memiliki relasi signifikan dengan realitas sosial sebagai bentuk respon terhadap berbagai fenomena yang berkembang di masyarakat.
Muhammad Syahrur, dalam pemikirannya, khususnya yang terkait dengan masalah keislaman, juga tidak lepas dari latar belakang ini. Gagasan-gagasannya muncul setelah secara sadar mengamati perkembangan dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman kontemporer. Menurutnya, pemikiran Islam kontemporer memiliki beberapa masalah serius yang dapat dirangkum dalam poin-poin berikut:
Pertama, tiadanya petunjuk metodologis dalam pembahasan ilmiah tematik terhadap penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang diwahyukan kepada nabi Muhammad Saw. Hal ini disebabkan oleh rasa takut dan ragu-ragu yang dialami oleh umat Islam dalam mengkaji kitab suci tersebut. Padahal syarat utama dalam pengkajian ilmiah adalah dengan pandangan objektif terhadap sesuatu tanpa pretensi dan simpati yang berlebihan.
Kedua, adanya penggunaan produk hukum masa lalu untuk diterapkan dalam persoalan kekinian. Misalnya dalam pemikiran hukum Islam tentang wanita dan relasi gender. Untuk itulah perlu adanya fikih dengan metodologi baru yang tidak hanya terbatas pada al-fuqaha al-khamsah.
Ketiga, kurangnya pemanfaatan dan interaksi filsafat humaniora. Hal ini disebabkan oleh adanya dualisme ilmu pengatahuan, yakni Islam dan non Islam. Tidak adanya interaksi tersebut berakibat pada mandulnya pemikiran Islam hingga hari ini.
Keempat, tidak adanya epistemologi Islam yang valid. Ini berdampak pada fanatisme dan indoktrinasi mazhab-mazhab yang merupakan akumulasi pemikiran abad silam, sehingga pemikiran Islam menjadi sempit dan tidak berkembang.
Kelima, produk-produk fikih yang ada sekarang sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan modernitas, sehingga yang diperlukan sekarang adalah formulasi fikih baru. Kegelisahan ini sebenarnya sudah muncul dari para kritikus, tapi umumnya hanya berhenti pada kritik tanpa memberikan penawaran alternatif baru.
Sebagai seorang outsider karena profesinya, Syahrur berpendapat bahwa kaum Muslim kontemporer perlu mempertimbangkan dan mempertanyakan kembali kitab suci agama Islam, ide ini dituangkan dalam bukunya berjudul al-Kitab wa al-Qur’an, yang merupakan karya masterpiece di bidang hermenutika Al-Qur’an.
Memang, Syahrur telah banyak dipengaruhi oleh berbagai tradisi intelektual, misalnya seperti dari filosof awal Muslim, al-Farabi (w. 950 M), filosof idealisme Jerman Johann Gottlieb Fichte, sampai matematikawan dan filosof Inggris, Alfred North Whitehead. Sehingga hal ini membuat pemikiran Syahrur begitu berkembang dan terintegrasi dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk di dalamnya mengkaji pemikiran Islam dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan modern.
Yang esensial dari pemikiran Syahrur adalah diferensiasi (pembedaan) antara sesuatu yang ilahi dan pemahaman manusia terhadap realitas ilahiah. Dia juga berpendapat bahwa, karena perkembangan ilmu pengetahuan, ulama kontemporerlah yang jauh lebih baik dibandingkan ulama masa lalu dalam memahami ‘kehendak Tuhan’.
Dengan demikian, Syahrur berusaha untuk menciptakan kerangka dan metodologi baru untuk memahami al-Qur’an, dan untuk tujuan ini ia telah menciptakan kategori untuk mendekati al-Qur’an.
Dalam melihat khazanah pemikiran Islam, Syahrur berusaha mempertanyakan bangunan pola pembacaan al-Qur’an. Metode yang diusulkan Syahrur untuk melakukan hal ini disebut ‘defamiliarization’ (defamiliarisasi-penidakbisaan), yang melibatkan keinginan eksplisit untuk meruntuhkan tatanan karya-karya interpretasi ulama klasik dan menyarankan alternatif baru untuk membaca teks. Syahrur ingin para pembacanya memahami al-Qur’an ‘seolah nabi baru saja wafat dan memberitahukan al-Qur’an kepada kita’.
Defamiliarisasi itu sendiri adalah strategi bawah tanah untuk menggambarkan sebuah proyek sastra seakan-akan seseorang melihatnya untuk pertama kali. Tujuan dari demafiliarisasi ini untuk melawan pembiasan cara baca konvensional terhadap sebuah karya, sehingga objek yang sebelumnya sudah sangat dikenal menjadi objek yang tidak dikenal dan berada di luar dugaan pembaca.
Secara garis besar, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, Muhammad Syahrur menggunakan dua teori hermeneutika:
Pertama, teori linguistik, pendekatan yang digunakan Syahrur dalam mendekonstruksi pemikiran keislaman menggunakan pendekatan hermeneutika dengan penekanan pada aspek filologi (kebahasaan). Syahrur menyebutnya sebagai al-manhaj at-tarikh al’ilm fi dirasat al-luqhawiyyah, yakni metode historis ilmiah dalam studi bahasa.
Pendekatan ini sebenarnya merupakan hasil kesimpulan dari teori linguistik Ibn Jinni (w. 392 H) dan al-Jurjani (w. 392 H). Dari sinilah Syahrur membuat batasan kaidah-kaidah metode hermeneutik-linguistik yang mempunyai prinsip di antaranya, bahwa bahasa merupakan sebuah sistem, bahasa merupakan fenomena sosiologi dan konstruksi bahasanya sangat terkait dengan konteks di mana bahasa itu disampaikan, juga ada semacam keterkaitan antara bahasa dan pemikiran, serta menolak adanya sinonimintas atau beberapa kata yang memiliki makna yang sama dalam bahasa.
Jika diteliti kembali, pendekatan linguistik yang dipakai oleh Syahrur ini hanya digunakan untuk membangun suatu dasar teori dalam rangka menafsirkan ulang tema-tema yang terdapat dalam “al-mushaf” sesuai dengan konteks ruang dan waktu abad kedua puluh. Di lain hal, beberapa kajian Syahrur juga menggunakan metode tematik dalam membahas sebuah permasalahan. Ia mengumpulkan sejumlah ayat, misalnya tentang ta’wil, kemudian secara intrateks dan interteks, ayat-ayat tersebut dianalisa.
Kedua, teori batas (limit), karakteristik Syahrur sebagai seorang ilmuan sangat tampak jelas dari hampir seluruh produk pemikirannya di mana Syahrur selalu menghadirkan teori baru dalam mendekati al-Qur’an, dalam konteks ini, teori tersebut dikenal dengan teori batas atau teori limit. Syahrur menemukan bahwa dalam pemahaman keislaman selama ini, terdapat dua aspek yang dilupakan; yaitu al-hanif dan al-istiqomah. Syahrur menjelaskan bahwa kata al-hanif, berasal dari kata hanafa yang berarti bengkok, melengkung (nahafa), atau berarti orang yang berjalan di atas kedua kakinya (ahnafa).
Adapun kata al-istiqamah, berasal dari kata Qawm, yang memiliki dua arti, yakni kumpulan dua orang laki-laki dan berdiri tegak (al-intisab); atau kuat (al-azm). Dari kata intisab muncul dua kata al-mustaqim dan al-istiqamah, lawan dari melengkung (al-inhirab); sedangkan dari al-azm muncul kata ad-din al-qayyim (agama yang kuat dalam kekuasaan).
Teori batas ini (nazariyyah al-hudud), dapat digambarkan sebagai; perintah Tuhan yang diekspresikan dalam al-Qur’an dan Sunnah yang mengatur atau memberikan batas bawah dan batas atas bagi seluruh perbuatan manusia. Batas yang lebih rendah mewakili ketetapan hukum minimum dalam kasus tertentu, sedangkan batas atas merupakan maksimalnya.
Perbuatan hukum yang kurang dari batas minimal tidaklah sah, begitu juga dengan batas atas tidak boleh melebihi. Ketika batas-batas ini dilampaui maka hukum harus dijatuhkan sesuai dengan proposisi pelanggaran yang dilakukan. Tetapi ketika itu sangat diperlukan, maka hukum dapat dijamin sesuai dengan batas-batas yang telah ditentukan. Dalam hal inilah terletak kekuatan Islam, dengan memahami teori ini, menurut Syahrur, akan lahir jutaan ketentuan hukum.
Namun demikian, teori hermeneutika Syahrur ini, dalam kaitannya dengan teori batas, lebih banyak dikonsentrasikan dalam memeriksa ayat-ayat terkait hukum perdata atau hukum keluarga dan upaya untuk reinterpretasi terhadap ayat-ayat hukum yang agaknya berbeda dengan pendekatan yang dimiliki oleh ulama-ulama dahulu, kajian ini lebih dikhususkan mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Meski teori Syahrur ini menuai kritik dari berbagai kalangan, paling tidak salah satu ide dominan dalam pemikiran Syahrur tentang Islam sangat selaras dengan banyak tokoh reformis kontemporer, seperti Muhammad Arkoun, Hasan Hanafi, dsb. Itu artinya, bahwa al-Qur’an harus didekati dengan cara kontemporer. Pembacaan terhadap al-Qur’an harus mempertimbangkan perkembangan di bidang ilmu lain seperti filsafat dan ilmu linguistik.
Pendekatan kontemporer terhadap al-Qur’an yang dilakukan oleh Syahrur ini tampaknya menjadi bukti bahwa teori atau aliran pemikiran mulai dari teologi, evolusionisme, liberalisme, Marxisme, matematika, statistik, psikoanalisis, linguistik, dan teori feminisme, sangat nampak diterapkan dalam analisisnya terhadap al-Qur’an.