Sejak digulirkan oleh Pemerintahan Jokowi pada tahun 2019, program moderasi beragama telah menjadi diskursus yang luas bukan hanya oleh kalangan akademisi, tetapi juga oleh masyarakat secara luas.
Terlepas dari pro-kontra terhadap kebijakan politik moderasi yang digulirkan oleh negara, terbukti program ini menjadi angin segar bagi lahirnya kehidupan yang harmonis dan toleran, sebab itulah yang menjadi tujuan utama dari program moderasi beragama.
Kendati beberapa kasus intoleransi dan kekerasan atas nama agama masih saja terjadi sepanjang tahun 2019 hingga 2024, namun tampaknya berbagai kasus intoleransi mengalami penurunan drastis. Hal ini boleh jadi karena pengaruh pengarusutamaan moderasi beragama yang begitu genjar dilakukan dalam lima tahun terakhir.
Sebagai informasi, program moderasi beragama masuk ke dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 18/2020. Di situ moderasi beragama menempati posisi strategis dalam tata kelola pemerintahan karena masuk dalam sub Prioritas Nasional keempat RPJMN 2020-2024, yakni Revolusi Mental dan Pembangunan.
Dalam RPJMN itu, moderasi beragama diturunkan ke dalam lima kegiatan prioritas yang mencakup: pertama, penguatan cara pandang, sikap, dan praktik beragama jalan tengah. Kedua, penguatan harmoni dan kerukunan umat beragama. Ketiga, penguatan relasi agama dan budaya. Keempat, peningkatan kualitas pelayanan kehidupan beragama, dan kelima, pengembangan ekonomi dan sumberdaya keagamaan.
Menurut buku Politik Moderasi dan Kebebasan Beragama (2022), bahwa jika dilihat dari cakupan kegiatan prioritas itu, dan posisi strategis program moderasi beragama dalam keseluruhan tata kelola pemerintahan, tampak bahwa gagasan moderasi beragama akan mempengaruhi langgam dan gerak kehidupan keagamaan di tanah air.
Salah satu bukti pengaruh itu adalah adanya kegiatan yang gencar dilakukan oleh pemerintah, mulai dari sosialisasi dan seminar-seminar yang dilakukan oleh Kemenag, penelitian dan penerbitan buku-buku moderasi beragama, semua itu tentu saja berimplikasi pada gerak keagamaan masyarakat di Indonesia.
Sekarang sudah memasuki penghujung tahun 2024, pertanyaan yang perlu diajukan adalah, ke mana arah program moderasi beragama ini? Apakah akan selesai begitu saja? Apa tindak lanjut dari program moderasi beragama sebagai sarana untuk membangun kerukunan di Indonesia?
Dilansir dari Balitbangdiklat Kemenag, Tim Ahli/Kelompok Kerja Moderasi Beragama Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid menegaskan bahwa saat ini Indonesia berada di akhir periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yang memerlukan pembaruan peta jalan.
Menurutnya Alissa, tantangan utama dalam implementasi moderasi beragama adalah menjaga keseimbangan antara identitas sebagai umat beragama dan sebagai warga negara Indonesia.
“Program moderasi beragama muncul karena ketidakseimbangan dalam masyarakat yang terlihat di berbagai tempat,” ungkap Alisa dalam sebuah diskusi pada acara Peluncuran Sekretariat Bersama (Sekber) dan Aplikasi Pemantauan Implementasi Moderasi Beragama (API-MB) di Jakarta, Jumat (3/10/2024).
Dalam konteks di atas, Alissa menjelaskan bahwa dalam RPJPN 2025-2045 terdapat delapan misi pembangunan transformasi Indonesia, salah satunya adalah penguatan peran agama sebagai landasan spiritual, etika moral, dan modal dasar pembangunan. Hal ini diwujudkan melalui peningkatan internalisasi dan aktualisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan bermasyarakat.
“Selain itu, pembangunan kehidupan beragama yang eksklusif, rukun, dan toleran juga menjadi fokus utama yang berorientasi pada penguatan moderasi beragama, baik antar umat beragama maupun dalam pengelolaan dana sosial keagamaan, filantropi, pemberdayaan umat beragama, serta peningkatan produktivitas,” tegasnya.
Lebih jauh, Alissa menekankan kontribusi agama dalam pembangunan transformasi Indonesia, yang mencakup kemaslahatan bangsa, perspektif agama yang moderat, pendidikan agama sebagai pembentuk karakter, serta pemenuhan hak keagamaan warga negara dan hak kolektif.
Dalam buku Peta Jalan Moderasi Beragama, Alisa menyebutkan bahwa salah satu urgensi moderasi beragama adalah tantangan terhadap cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang ekstrem, yang mengesampingkan martabat kemanusiaan. Ia juga menekankan pentingnya peran Sekretariat Bersama (Sekber) di tingkat daerah yang akan berinteraksi langsung dengan masyarakat umum.
Tantangan lainnya adalah adanya dua jenis praktik beragama di Indonesia. Ada praktik beragama yang substantif inklusif, di mana seseorang meyakini bahwa agamanya paling benar namun tetap membuka ruang interaksi dengan yang lain, dan ada pula praktik beragama yang eksklusif legal formalistik, di mana seseorang menganggap agamanya yang paling benar dan melihat yang lain sebagai musuh.
Inilah kiranya yang menjadi tantangan untuk menjaga keseimbangan antara peran sebagai umat beragama dan warga negara, serta memperkuat moderasi beragama di tengah masyarakat.
Sumber: Balitbangdiktis.kemenag.go.id

