Agama dan Ilmu Pengetahuan Ilmiah: Batas antara Sains dan Dogma
mitragama.com

Agama dan Ilmu Pengetahuan Ilmiah: Batas antara Sains dan Dogma

Saya ingin memulai tulisan ini dengan suatu pertanyaan epistemologis, apakah Tuhan dapat dibuktikan secara ilmiah? Bagaimana cara kita membuktikan keberadaan Tuhan? Dua pertanyaan ini berimplikasi pada dua jawaban yang berbeda secara tajam.

Pada yang pertama, jelas Tuhan tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Kenapa? Karena metode ilmiah tidak memungkinkan meneliti tentang eksistensi Tuhan. Tuhan adalah realitas meta-empiris (di luar pengalaman) yang sulit digaji menggunakan pendekatan ilmiah yang empiris.

Untuk menjawab pertanyaan kedua, kita perlu memeriksa terlebih dahulu dari mana ide tentang Tuhan? Bila sudah jelas, maka baru akan mudah menjawabnya. Kita tahu bahwa gagasan atau ide tentang Tuhan berasal dari pikiran. Bahkan, Wahyu hanya mungkin bisa dipahami melalui pikiran. Bila pikiran merupakan dasar kita memahami Tuhan, maka cara membuktikan Tuhan adalah dengan metode rasionalisme, yakni mengunakan kaidah-kaidah akal, seperti logika dan dialektika.

Jawaban pada pertanyaan pertama terkait dengan batasan metode ilmiah di mana pengetahuan ilmiah memang tidak memungkinkan bagi Tuhan sebagai objek penelitian. Sementara jawaban pertanyaan yang kedua memungkin bagi pembuktian Tuhan melalui jalur akal pikiran.

Sains dan Dogma

Penjelasan di atas sedikit menggambarkan bagaimana sains, melalui metode ilmiah, hanya dapat mengukur objek-objek di luar diri manusia dengan kacamata empirisme dan rasionalisme. Empiris sebagai data, rasio sebagai pisau bedah.

Sehingga Tuhan, dalam dogma agama, tidak mungkin dibuktikan secara ilmiah karena eksistensi Tuhan tidak memenuhi syarat yang untuk dikaji secara ilmiah. Sehingga pembuktian terhadapnya relatif tidak mungkin.

Sementara itu, ada dua cara untuk membuktikan kebenaran dogma (keyakinan); pertama, kita mesti percaya pada dogma tersebut. Kedua, kita mesti menggunakan akal pikiran untuk membuktikannya, kendati akal pikiran sebenarnya juga dapat dijadikan argumen untuk memutarbalikkan eksistensi Tuhan.

Secara epistemologis, sains menggali kebenaran ilmiah melalui  seperangkat metode yang dapat dijadikan dasar untuk menguji secara terus menerus terhadap fenomena alam. Melalui verifikasi dan falsifikasi, penelitian dilakukan secara berulang-ulang untuk menghasilkan kebenaran objektif yang meyakinkan.

Sementara agama, tidak memerlukan metode ilmiah karena menang metode ilmiah tidak memiliki perangkat untuk menggali kebenaran dogma agama. Misal, bagaimana cara kita mengetahui wujud Tuhan? Di mana Tuhan tinggal? Dsb.

Pada titik ini, agama adalah kebenaran yang ada di level iman. Pembuktian kebenaran ilmiah terhadap agama hanya mungkin bila itu menyangkut gejala sosial keagamaan, meliputi perilaku orang-orang beragama, baik di masa dulu maupun secara. Inilah yang disebut sebagai agama pada wilayah historis, sedangkan agama pada wilayah normatif, tidak mungkin dikaji secara ilmiah, karena itu terkait dengan benar salah, baik butuh.

Sedangkan sains tidak memiliki kriteria untuk menentukan apa itu baik dan buruk, sehingga sains hanya bicara pada level fakta, dianalisis sedemikian rupa, sehingga melahirkan teori yang berguna bagi kehidupan umat manusia. Sains, dalam hal ini, tidak berkepentingan dengan moralitas.

Dalam agama, moralitas selalu menjadi salah satu ukuran untuk memahami kebenaran, di samping dogma. Sehingga kebenaran dorgamis adalah keselarasan antara intelektualitas dan moralitas, antara kepercayaan dan perilaku baik/buruk.

Inilah yang membatasi kebenaran agama dan ilmu pengetahuan. Bahwa agama berbanding lurus dengan ide tentang moralitas dan keyakinan, sedangkan ilmu pengetahuan hanya mengukur kebenaran pada tingkat empiris atau pengalaman indrawi.

Bila dogma tidak dapat dikaji secara ilmiah, itu bukan berarti kebenaran dogmatik tidak penting atau lemah. Karena kebenaran dogma ada di luar batas kemampuan manusia, maka kita hanya perlu menerima bahwa dogma merupakan dimensi iman yang cukup diyakini dan dipikirkan secara rasional, tanpa pada saat yang sama membuktikan kebenarannya secara ilmiah.

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *