Oleh: M. S. Arifin
Suatu penelitian dianggap ilmiah jika memenuhi standar pengujian yang berbasis pada pengamatan. Sayangnya, ilmuan Barat selalu menganggap aktivitas pengamatan identik dengan ‘pengamatan indrawi’ yang berakar pada filsafat empirisme David Hume atau John Locke. Alhasil, apa yang dianggap ilmiah saat ini adalah hasil dari rumusan para filsuf dan saintis di abad-abad revolusi sains di Eropa pada abad 17-19. Di luar yang bisa teramati oleh indra, sains diam, atau jika ada yang berbicara soal itu dianggap ‘tidak-ilmiah’ atau bahkan ‘khurafat’.
Selain diaplikasikan pada ilmu alam, klaim ilmiah juga merambah ke ilmu manusia atau biasa disebut humaniora. Filsafat dan agama sejak ribuan tahun yang lalu telah menjelaskan tentang manusia, mulai dari asal usul sampai tabiat, baik fisis mupun psikis.
Salah satu temuan penting agama (juga filsafat dan mistisisme) tentang manusia adalah bahwa manusia memiliki kekuatan tak kasat yang menggerakkan seluruh inti kesadaran manusia. Agama menyebutnya ‘ruh’ dan mistisisme menyebutnya ‘sukma’ (rowan).
Antara agama dan misistisme sebenarnya sama-sama menyebut daya atau kekuatan tersebut bersifat ‘spiritual’ alias tak kasat. Oleh agama kemudian dibedakan antara dua ruh: ruh al-hayat, yakni ruh yang bertugas menjaga jasad, yang artinya jika ruh ini hilang, maka jasad tak lagi berfungsi alias mati; dan ruh al-yaqdhah, yakni ruh yang bertugas menjaga kesadaran manusia, yang artinya jika ruh ini lepas dari badan maka kesadaran akan turun atau bahkan hilang, seperti dalam fenomena tidur.
Kendati masuk akal, penjelasan ala agama dan mistisisme di atas tak bisa diamati oleh alat apa pun yang dimiliki manusia. Tak ada alat yang bisa mendeteksi di mana tempatnya ruh dalam jasad, juga bagaimana sukma keluar ketika manusia tidur. Maka, oleh para saintis, penjelasan agama di atas adakalanya dua: (1) tidak bisa dibuktikan benar atau salahnya; atau (2) sama sekali keliru.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Sains diklaim bisa menjawab fenomena-fenomena yang dianalisis oleh agama dan mistisisme seperti di atas. Pertama, apa yang dianggap ruh oleh agama sebenarnya adalah sekumpulan neuron dalam otak yang saling terkait satu sama lain, memberikan perintah kepada organ tubuh untuk berfungsi secara otomatis.
Kematian, bagi sains, adalah berhentinya sistem dalam otak. Orang dikatakan mati jika otaknya sudah tidak berfungsi sama sekali. Kedua, fenomena tidur bisa dijelaskan sebagai metabolisme otomatis di mana otak memerintahkan tubuh untuk beristirahat. Bagi sains, tidur tidaklah melenyapkan kesadaran tetapi hanya menurunkannya. Jadi, tak ada yang namanya ruh atau sukma seperti yang diklaim oleh agama dan mistisisme.
Dengan metodenya, apakah sains menyelesaikan segala persoalan tentang fenomena-fenomena di atas, lebih khusus fenomena kesadaran manusia? Ternyata tidak. Sains tidak salah salah mengambil kesimpulan karena basisnya adalah pengamatan. Neuron dalam otak bisa diamati dengan alat tertentu. Sains bisa mengamati aktivitas neuron dalam otak untuk menjelaskan tentang berbagai fenomena keseharian manusia: berpikir, terangsang, emosi, tidur, dan seterusnya.
Namun sayangnya sains tidak bisa menjawab semuanya. Masih ada rumpang yang belum bisa ditambal oleh penjelasan saintifik. Sains telah berhasil mempelajari dan bahkan mensimulasikan kerja otak. Bahkan para ilmuan telah berhasil meniru dan membuat perangkat yang kerjanya seperti otak manusia. Tapi sampai detik ini otak buatan itu belum (atau bahkan tak akan) menghasilkan kesadaran sekompleks kesadaran manusia. Sains boleh jadi bisa meniru perangkat keras otak manusia, dengan membuat tiruan mekaniknya, namun sains hanya membuat jasad tak berjiwa. Mereka tak bisa mengisi perangkat keras itu (yang mirip dengan otak manusia) dengan jiwa. Alhasil, akan selalu ada perbedaan mendasar antara robot dengan manusia.
Apa yang terjadi dengan sains? Dan kenapa ia selalu hanya sampai kepada penjelasan yang bersifat permukaan? Hal ini terjadi karena sains mengamati suatu yang dapat diamati secara indrawi. Padahal bisa jadi sesuatu yang bersifat indrawi ujung-ujungnya akan mengarah kepada non-indrawi.
Contohnya gravitasi. Apakah gravitasi bisa diamati dengan indra (dan juga perangkat ciptaan yang mendukungnya)? Tentu tidak! Gravitasi yang merupakan jawaban dari pergerakan alam semesta ternyata tidak bisa diamati. Ia ditemukan dari proses mengamati benda yang tampak. Oleh Roy Bhaskar dalam bukunya ‘A Realist Theory of Science’ dibedakan antara tiga domain. Domain riil, domain, aktual, dan domain empiris.
Dalam kasus gravitas, yang mungkin diamati adalah domain empiris, seperti apel, bola, planet, bintang, dst. Benda empiris ini berada dalam domain aktual di mana ia bergerak, dan pergerakan inilah yang menuntut penyimpulan. Kenapa mereka tidak bergerak secara acak? Mengapa apel jatuh ke bawah bukan ke atas? Akhirnya dicarilah domain riil yang mengatur mekanisme domain empiris dan domain aktuan, dan ‘Euruka!’ ditemukanlah gravitasi. Itulah kenapa gravitasi disebut ‘gaya’ atau dorongan. Dorongan ini tak pernah nampak secara empiris. Ia diketahui karena adanya benda bermassa yang mengalami momen aktual.
Baik, mari kita tarik teori tadi ke dalam masalah kesadaran manusia. Sains tentang kesadaran manusia ternyata tak pernah mengafirmasi suatu daya atau gaya yang bersifat non-indrawi. Jika benda yang bisa diamati dari otak manusia adalah neuron (domain empiris) dan neuron ini bergerak atau beraksi terhadap dorongan tertentu (domain aktual), lantas apa domain riilnya? Tak mungkin domain itu adalah aktivitas metabolisme tubuh itu sendiri, karena ia juga masuk ke dalam domain empiris.
Di sinilah neurologi bungkam. Ia tak mungkin mengatakan domain rill itu adalah sukma. Padahal, jika melihat kasus teori gravitasi, Newton pun akan sangat legowo mengakui bahwa gravitasi itu tak tampak! Bagi agama atau mistisisme, sukma adalah jawabannya. Ia adalah inti kesadaran manusia. Tanpoaran dalam bukunya ‘Sangkan Paraning Dumadi’ berkata:
“Roh atau sukma manusia adalah benih hidup. Benih hidup adalah daya hidup perincian. Kehidupan adalah daya hidup yang ana. Daya itu energi, dan bukan materi. Ada, tetapi tidak berbentuk. Tiap benih hidup, jadi tiap daya hidup perincian itu harus punya wadah (ruang) untuk bisa dinamakan benih hidup perincian. Ruang adalah norma dari suatu kehidupan. Sukma adalah benih rohani, karena itu sebagai wadah, maka sukma mempunyai badan rohani:
- aku manusia sebagai benih kehidupan,
- badan rohani sebagai wadahnya.
Setiap roh pastinya mempunyai:
- Aku,
- hidup, dan
- sadar (terang).”
Seperti dalam kasus gravitasi, kesadaran manusia berpangkal pada suatu yang non-material. Tetapi tetap ada pertalian yang tak terpisahkan antara yang materi dan yang non-materi. Gravitasi memanglah suatu gaya yang non-material, namun ia adalah hasil dari adanya benda bermassa berat yang saking beratnya bisa membengkokkan ruang (Einstein). Ruang sendiri tak kasat. Namun ia menjadi tumpuan solidnya benda-benda bermateri.
Sukma memang tak kasat, namun ia juga tak tercerabut dari ruang atau wadahnya, yakni tubuh itu sendiri. Dari sinilah akhirnya agama dan mistisisme memiliki pandangan yang integral soal kehidupan. Ia tak memandang benda-benda secara mekanis saja, tetapi juga menempatkannya segai suatu sistem organisme yang kompleks dan seringkali tak terduga. Kesadaran manusia tidak bisa disimulasikan sebagaimana gravitasi, ia seringkali bertindak acak namun memiliki pola. Pola inilah yang akhirnya menjadi acuan penelitian psikologi dengan berbagai variannya.
Neurologi mungkin berhasil meniru sistem kerja otak sehingga menghasilkan teknologi komputer dan bahkan robotik. Namun ia tak mampu menjelaskan fenomena psikis yang begitu kompleks. Bukankan kata psikis itu sendiri juga mengacu kepada hal yang bersifat spiritual? Tentu, karena jika tidak, maka tak ada pembelahan antara fisiologi dan psikologi, bukan? Dalam hal ini, kesimpulan Muhammad Iqbal dalam ‘Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam’ cukuplah menjadi pamungkas:
“Dengan demikian kesadaran adalah keragaman prinsip hidup yang murni spiritual, suatu cara khusus dari tata laku yang mempunyai perbedaan esensial dengan tata laku mesin yang dijalankan dari luar.”
Sumber: Fb M. S. Arifin
M. S. Arifin. Alumni Al-Azhar Mesir