Pada prinsipnya, agama bukanlah produk dari kebudayaan tertentu, tetapi ia merupakan sistem keyakinan yang datang dari dimensi gaib dan mewujud dalam berbagai bentuk, seperti doktrin, ajaran-ajaran, kitab suci, tradisi, tempat-tempat suci, dan kebudayaan itu sendiri. Jadi dasar utama dari agama bukanlah budaya, tetapi keyakinan spiritualitas yang bersifat abstrak dan tidak terlihat.
Namun demikian, pada level material agama tidak bisa lepas dari dimensi kebudayaan. Artinya, segala bentuk perwujudan agama dalam konteks sosial kemasyarakatan selalu membutuhkan dimensi budaya agar ia eksis di tengah-tengah masyarakat. Itulah sebabnya, mustahil bagi agama hidup di tengah masyarakat tanpa dibarengi dengan unsur-unsur kebudayaan yang melekat pada agama itu sendiri.
Seperti yang diungkapkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid, seorang pembaharu asal Mesir, bahwa Islam bukanlah budaya, tetapi Islam tidak dapat hidup tanpa budaya. Ini mengindikasikan bahwa budaya memang betul-betul hadir dalam praktik keberagamaan masyarakat di manapun mereka berada, bahwa budaya merupakan aspek-aspek lahiriah yang harus menjadi penopang bagi eksisnya suatu agama.
Kadang-kadang, budaya sendiri melahirkan agama. Maksudnya adalah bahwa melalui sebuah produk kebudayaan, lahir semacam keyakinan dan tradisi di suatu masyarakat dan itu dipelihara secara turun-temurun hingga kemudian mewujud menjadi agama. Ada yang kemudian membentuk agama resmi sebagaimana yang kita kenal sekarang, ada yang hanya sekedar tradisi biasa tetapi ia dipertahankan oleh kelompok yang meyakininya. Pada titik ini, agama merupakan produk kebudayaan.
Tetapi di sisi lain, ada pula agama melahirkan budaya. Sebagai sebuah keyakinan yang memiliki doktrin normatif, agama kemudian dipraktikkan oleh penganutnya sehingga lama kelamaan ia membentuk sebuah kebudayaan tertentu yang khas bercorak agama tersebut. Misalnya ada budaya Islami, Kristiani, Budhis, dan masih banyak lagi. Kebudayaan-kebudayaan itu adalah anak kandung dari agama yang melahirkannya, ia lahir bersamaan dengan praktik-praktik amaliah keagamaan tersebut.
Dalam kajian akademis, agama bisa dilihat melalui dua aspek, yakni aspek normatif dan aspek historis. Pada aspek normatif, agama dipahami sebagai sistem iman yang ditopang oleh kitab suci dan ajaran-ajaran tertentu. Dalam konteks ini, agama berada pada level abstrak dan hanya benar ketika menghadirkan sebuah keyakinan. Artinya, keimanan itulah yang bisa menjustifikasi kebenaran yang diyakininya. Pada titik ini, agama tidak bisa diverifikasi kebenarannya bahkan oleh orang yang meyakini agama tersebut.
Sementara pada aspek historis, agama dilihat sebagai fenomena yang hadir pada kurun sejarah tertentu. Agama adalah produk dari sejarah umat manusia yang aspek-aspek sosiologis dan antropologisnya bisa dikaji secara ilmiah. Artinya bisa dibuktikan kebenarannya secara historis. Pada titik inilah, kita bisa memahami fakta-fakta tentang agama yang dianut oleh seseorang. Dan, melalui aspek inilah agama bisa dikaji oleh siapapun yang ingin mengkajinya terpelas apakah agama itu benar atau salah secara teologis.
Melalui kajian historis ini, perspektif tentang agama menjadi sangat kaya dan multiperspektif. Agama bisa menjadi seperangkat pengetahuan yang bisa dikaji oleh siapa saja dan kapan saja karena ia tidak terikat oleh norma-norma agama yang bersifat doktrinal. Melalui kajian ini juga, para peneliti mulai mengungkap khazanah kekayaan budaya agama tersebut. Dengan kata lain, agama dipahami sebagai seperangkat pengetahuan yang bisa dikaji kebenarannya pada level historis.
Seringkali, kemajuan dari suatu peradaban berangkat dari dimensi historisitas agama, artinya melalui praktik agama yang melebur langsung dengan dimensi kebudayaan manusia, maka ia berkembang menjadi agama peradaban yang bisa membentuk paradigma pengetahuan, baik oleh penganutnya maupun orang-orang dari luar. Sementara agama pada sisi normatif biasanya bersifat tetap dan tidak mengalami perubahan.