Oleh: Ahmad Khotim Muzzaka
Jika saya harus memilih satu buku untuk memahami fenomena Islam Arab kontemporer di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan keturunan Nabi Muhammad saw. dari Hadhramaut, Yaman, saya akan merekomendasikan karya Musa Kazhim Alhabsyi sebagai karya otokritik yang cukup menarik.
Buku ini menggambarkan kegelisahan yang dirasakan oleh lingkaran dalam habaib (jamak dari habib), yang secara harfiah berarti ‘yang dicintai’ tetapi digunakan sebagai gelar untuk keturunan laki-laki Nabi Muhammad dari Yaman yang menyebarkan Islam ke Indonesia. Musa Kazhim mendekonstruksi patologi sosial yang disaksikan di sekitarnya dan mengatasinya melalui kritik konstruktif.
Ketika terjadi ketidakseimbangan antara teori dan implementasi, otokritik diperlukan. Musa Kazhim berpendapat bahwa praktik mencintai habaib sudah kelewat batas. Bahkan dapat dikatakan bahwa penulis berusaha menghancurkan status suci warisannya sendiri dengan menyatakan bahwa Identitas Arab Itu Ilusi: Saya Habib, Saya Indonesia, yang merupakan judul bukunya.
Kritik yang muncul tidak dapat diartikan sebagai berasal dari kebencian, melainkan dari rasa iba. Banyak orang berpikir bahwa jika seseorang mengkritik orang luar, itu karena mereka membenci ras atau kelompok tertentu. Sebaliknya, saya memuji penerbitan buku ini dan mendesak para pembaca untuk mempertimbangkan kembali identitas Arab di Indonesia.
Buku ini dibagi menjadi tiga bagian utama untuk dibahas. Musa Kazhim memulai pembahasan di bab pertama dengan menceritakan pengalamannya sendiri sebagai keturunan suku Hadhrami, yang berasal dari daerah Hadhramaut di Yaman. Sebagai keturunan Hadhrami di Indonesia, penulis prihatin dengan apa yang ia lihat sebagai penggunaan identitas Arab yang tidak tepat.
Sikap kritisnya tidak dimaksudkan untuk melemahkan kredibilitas keturunan Arab dengan mengabaikan kontribusi positif mereka, tetapi karena tujuannya adalah refleksi kritis, ia bertujuan untuk “mengingatkan dirinya sendiri dan memperbaiki situasi keluarga besar Alawiyyin penulis, yang mana penulis dan keluarga penulis akan tetap menjadi bagiannya” (hlm. 40).
Musa Kazhim mengaku bahwa ia telah berjuang dengan masalah identitas sejak kecil, seperti yang terlihat dari beberapa label yang diberikan kepadanya, seperti ‘kecil’. Ia pernah dibentak, “Eh, Arab!” atau Londo (sebutan untuk menyinggung orang asing di Indonesia) oleh para siswa di sebuah pesantren di Bangil, Jawa Timur. Sementara itu, teman-teman Arabnya memanggilnya “seseorang yang tampak seperti orang Tionghoa.” Pengalaman-pengalaman ini menyebabkan semacam kebingungan identitas.
Ketidaknyamanan ini terus berlanjut saat ia melanjutkan studinya di Timur Tengah, di mana banyak orang tidak mengenalinya sebagai orang Arab, melainkan sebagai orang Jawi (Jawa). Bahkan, nama keluarga Alhabsyi tidak cukup untuk meyakinkan orang Yaman tentang identitas Arabnya ketika ia pindah ke Yaman untuk bersekolah di awal masa remajanya. Jenis identitas hibrida ini, tentu saja, menghadirkan tantangan tersendiri ketika menyangkut cara mengidentifikasi diri sebagai seseorang dan terutama sebagai bagian dari suatu komunitas (hlm. 45).
Bagian kedua buku ini diterjemahkan sebagai “Menelusuri Keturunan Penutur Bahasa Arab di Indonesia”. Secara historis, habaib masuk ke Indonesia pada fase ketiga paruh kedua abad kesembilan belas. Dalam sub-bab “Siapakah Habib?”, Musa mencoba mengkritik penggunaan istilah habib yang ditujukan bagi siapa saja yang memiliki garis keturunan Hadhrami. Kritik ini muncul karena, pada awalnya, gelar habib diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, terutama ulama yang berakhlak baik dan berilmu luas. Kekakuan kriteria ini memengaruhi jumlah keturunan Alawayyin yang diakui sebagai habib, sementara mereka yang tidak memenuhi kualifikasi ini hanya disebut ustaz (gelar kehormatan bagi guru) (hlm. 145–147).
Saya setuju dengan argumen penulis bahwa gelar habib tidak boleh diberikan kepada orang-orang yang kualifikasinya tidak memadai, karena dalam praktiknya, bahkan remaja pun diberi gelar ini. Memang, ada persepsi yang berkembang bahwa tidak semua habaib memenuhi syarat untuk berbicara tentang agama.
Bagian terakhir menggambarkan ketidaknyamanan Musa terhadap gagasan habaib sebagai identitas intrinsik. Ketidakjelasan ini karena, meskipun lahir di Indonesia, orang-orang yang diberi label demikian memiliki ciri-ciri pengenal yang berbeda, baik fisik maupun budaya. Praktik penyucian leluhur di kalangan keturunan Arab (Arab Peranakan), yang mengambil bentuk nostalgia akan kemegahan Hadhramaut, juga dianggap bermasalah (hlm. 167–169).
Nostalgia semacam itu dapat menumbuhkan kesombongan yang berlebihan, yang mengarah pada perasaan superioritas Arab atas orang-orang non-Arab. Nostalgia ini diperkuat oleh keasyikan orang-orang Arab dengan silsilah (nasab). Akibatnya, banyak orang yang lahir dengan keturunan Arab merasa superior, dan superioritas ini tidak dapat ditentang. Sudut pandang seperti itu tidak mempromosikan kesetaraan manusia dan bahkan mengarah pada kefanatikan, yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Ideologi tentang garis keturunan yang murni dan kesucian tanah leluhur menyebabkan orang Arab Yaman (Baʾalawi) mengalami rasa nostalgia dan euforia yang berkepanjangan terlepas dari lokasi mereka.
Musa Kazhim percaya bahwa pengejaran kemurnian yang tidak terkendali dapat menyebabkan risiko etika yang besar, yang berpotensi menumbuhkan sentimen supremasi ras, ilusi, dan delusi yang merugikan jiwa. Teologi ini sangat terkait erat dengan kesucian ‘Ahlul Bait’, yang menunjuk pada keturunan Nabi Muhammad. Ketika diterapkan tanpa batasan, ini bertentangan dengan kesucian Nabi, yang tidak berakar pada pemahaman biologis-material tentang kemurnian. Dia khawatir bahwa gagasan tentang kemurnian nasab dapat diselewengkan untuk meraup keuntungan ekonomi dan politik dengan “cek kosong” (hlm. 173–175).
Sebagai negara yang religius, masyarakat kepulauan Indonesia memiliki kesadaran spiritual yang mengakar kuat. Hal ini memudahkan kaum Alawiyyin untuk merasuki kesadaran kolektif masyarakat geografis kepulauan tersebut.
Status terhormat kaum Alawiyyin ini telah mendorong beberapa individu dari kelompok ini untuk terjun ke ranah sosial politik dengan memanfaatkan klaim otoritas keagamaan. Sekalipun klaim otoritas keagamaan dianggap normal sampai batas tertentu, klaim tersebut menjadi bermasalah ketika kaum Alawiyyin saat ini dihadapkan pada tekanan politik yang telah mendorong mereka ke pragmatisme ekstrem (hlm. 214). Pragmatisme ini menyebabkan sebagian kaum Alawiyyin mengabaikan kebajikan penting yang terkandung dalam diri para pendahulu mereka, yaitu integritas moral dan keunggulan intelektual.
Buku ini, menurut saya, tidak hanya mewakili dialog batin penulis, tetapi juga tinjauan kritis terhadap dirinya sendiri (otokritik) dan masyarakatnya. Pengamatan Musa Kazhim yang paling mencolok adalah bahwa rasa hormat terhadap masyarakat Alawiyyin telah mulai memudar.
Di masa lalu, penghormatan itu bersifat spiritual, yang berasal dari kedalaman hati, tetapi sekarang dianggap bersifat sementara dan duniawi. Masyarakat lokal dan Alawiyyin telah menunjukkan pola keterlibatan pragmatis, yang menyebabkan penurunan intelektualitas dan spiritualitas.
Musa Kazhim berpendapat bahwa untuk menghentikan penurunan identitas yang cepat, diperlukan pemeriksaan komprehensif terhadap paradigma dan orientasi budaya. Ia memperingatkan dengan tegas bahwa rasa superioritas Alawiyyin tidak lebih dari sekadar ilusi, yang menekankan etnisitas dan keturunan—dua konstruksi kontemporer yang dipengaruhi oleh epistemologi kolonial. Penegasan superioritas melalui label “Arab” dan “Habib” ini menjauhkan mereka dari identitas nasional dan berbasis tanah air, Indonesia yang multikultural.
Sumber: Diterjemahkan dari Artikel Review Buku Berjudul “Book Reviews” karya Ahmad Khotim Muzzaka, terbitan Brill: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 180 (2024) 275–309
Identitas Buku: Musa Kazhim Alhabsyi, Identitas Arab Itu Ilusi: Saya Habib, Saya Indonesia, Bandung: Penerbit Mizan, 2022, 222 pp, isbn: 9786024412791, price: idr 67,150.00 (paperback).
Ahmad Khotim Muzakka. UIN KH. Abdurrahma Wahid, Pekalongan, Indonesia; UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Indonesia

