Oleh: Husein Muhammad
“Sudah saatnya kita memahami kembali teks-teks keagamaan kita secara lebih terbuka. Dari konservatisme ke moderatisme, dari tekstualisme ke kontekstualisme, dari Tafsir ke Takwil dan dari langit ke bumi”.
Ali bin Abu Thalib pernah mengatakan :
وَهَذَا الْقُرْآنُ إِنَّمَا هُوَ خَطٌّ مَسْطُورٌ بين دَفَّتَينِ , لا يَنْطِقُ . إِنَّمَا يَتَكَلَّمُ بِهِ الرِّجَال
”Al-Qur’an yang ada adalah teks-teks yang tidak bisa berbicara/berucap sendiri. Yang berbicara/berucap adalah orang”. (Al Thabari, Tarikh al Umam wa al Muluk, III, h. 110).
Kalimat ini mengandung arti bahwa teks-teks al Qur’an hanya dapat dimengerti jika ia dipahami maknanya oleh pembacanya.
Dalam kurun waktu yang panjang cara memahami makna atau kandungan al Qur’an dikenal dengan Tafsir. Istilah ini meskipun hanya disebut satu kali dalam al Qur’an, akan tetapi popularitasnya mengalahkan istilah ”ta’wil” yang telah populer lebih dahulu dan disebutkan 17 kali dalam al Qur’an.
Perkembangan penggunaan istilah ta’wil ke tafsir ini telah membawa dampak penting dalam pamahaman kaum muslimin terhadap kita suci ini. Meskipun keduanya hampir dimaknai sama, akan tetapi keduanya berbeda.
Menurut al Bajili, tafsir berkaitan dengan riwayah (menukil teks), sementara ta’wil berkaitan dengan dirayah (memahami teks). Abu Nasr al Qusyairi mengatakan; dalam tafsir yang diutamakan adalah menukil dan mendengar, sementara dalam ta’wil yang diutamakan adalah ber-istinbath, atau ijtihad (aktifitas intelektual untuk mengeksplorasi makna)”.(Al Zarkasyi, al Burhan, II, h. 149-150).
Tampak jelas bahwa ta’wil merupakan metode pemahaman terhadap teks al Qur’an dengan memberikan perhatian tidak hanya pada makna harfiah teks (eksoteris) tetapi juga pada makna-makna yang tersembunyi (esoteris) di balik makna harfiyah teks, termasuk dalam hal ini makna alegoris atau metaforis.
Sedangkan tafsir adalah pemahaman terhadap makna literal teks dan didasarkan pada penjelasan riwayat, nukilan. Ta’wil pada sisi lain adalah memahami teks dengan melibatkan perenungan mendalam. Artinya dengan takwil seseorang melakukan pembacaan terhadap teks (nash al-Qur’an) berdasarkan naql/riwayat plus melakukan ijtihad intelektual untuk mengungkap makna, tujuan, atau maksud yang dikehendaki Yang Pertama (Tuhan). Ini sejalan dengan pengertian harfiah takwil, yakni kembali pada asal-usul sesuatu; apakah itu berbentuk kata-kata atau tindakan. Kembali pada asal-usul dimaksudkan untuk mengungkap makna dan signifikansinya.
Pemahaman terhadap al Qur’an, melalui metode ta’wil, dengan demikian, banyak menggunakan analisis rasional, terbuka (inklusif), berinteraksi atau berdialog dengan realitas-realitas yang berkembang, dan mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan arti teks.
Jadi ta’wil disamping menggunakan pemahaman intertekstualitas dan logika teks, juga fakta-fakta di luar teks (ekstratekstualitas). Ini berbeda dengan tafsir yang lebih memfokuskan diri pada pendekatan tekstualitas-intertekstualitas. Cara yang terakhir ini sering diungkapan dalam kaedah tafsir: “al Qur’an yufassiru ba’dhuhu b’dha” (teks-teks al Qur’an saling memberi makna/menafsirkan). Menurut kaedah ini untuk memahami al Qur’an cukuplah hanya dengan membaca ayat-ayatnya dalam al Mushaf, karena satu ayat dapat dipahami maksudnya melalui cara menghubungkannya dengan atau mencarinya pada ayat yang lain atau pada hadits (sunnah) Nabi yang menjadi penafsir otoritatifnya.
Dengan demikian memahami teks-teks suci al Qur’an menurut pendekatan ini tidak perlu dengan menggunakan akal pikiran atau ‘ra’yu’. Bahkan memahami al Qur’an dengan akal (ra’yu) justeru dipandang sebagai kekeliruan, penyimpangan dan membahayakan. Mereka mengutip sebuah hadits Nabi : “Siapa yang menafsirkan al Qur’an dengan akalnya, maka tempatnya sudah disiapkan di neraka”.
Pendekatan tekstualis-literalistik mendapat kritik tajam dari Imam al Ghazali. Menurutnya, memahami al Qur’an secara tekstual, dapat membatasi kandungan maknanya. Pembatasan ini tidak bisa dilakukan terhadap al Qur’an. Mengutip ucapan sahabat Nabi, al Ghazali mengatakan bahwa “Sesungguhnya ayat-ayat al Qur’an mengandung makna yang sangat luas. Setiap ayat al Qur’an memiliki makna lahir (eksoteris/harfiah), batin (esoteris/substansi), had (definitif) dan mathla’ (sumber inspirasi)”.
Al Ghazali kemudian mengutip ucapan Ibnu Mas’ud:
اراد علم الاولين والاخرين فليتدبر القرآن وذلك لا يحصل بمجرد تفسيره الظاهر”.( الاحياء 1/289).
”Barangsiapa ingin mengetahui pandangan para ahli tafsir generasi awal, maka pikirkanlah ayat-ayat al Qur’an secara mendalam. Ia tidak bisa diperoleh hanya memaknainya secara harfiah semata”. (al Ghazali, Ihya Ulum al Din, I/2).
Sumber: FB Husein Muhammad
Husein Muhammad. Cendekiawan Muslim Indonesia