Gus Yahya: Pentingnya Tugas dan Tanggung Jawab Ulama
nu.or.id

Gus Yahya: Pentingnya Tugas dan Tanggung Jawab Ulama

Sebagai pewaris Nabi, ulama memiliki tugas dan tanggung jawab yang amat besar dalam menjaga agama. Tugas ulama juga bukan hanya dakwah dan menyebarkan ilmu, tetapi juga memastikan bahwa ilmu yang disebarkan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.

Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Gus Yahya, ketika menerima kunjungan PWNU Jawa Barat dan PCNU se-Jabar di lantai 8 Gedung PBNU, Jakarta, pada Kamis (26/9/24).

Di hadapan para pengurus NU se-Jabar, Gus Yahya menyampaikan pentingnya tugas dan tanggung jawab ulama dalam hal selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Sebab, ulama-ulama memiliki ruh untuk bertanggung jawab terhadap umat, terutama bagi warga Nahdliyin.

“Saya ingin kita semua ingat kembali tentang apa tujuan hakiki dari muassis (pendiri) mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama. Jangan sampai karena perkembangan apapun yang terjadi, apapun yang terjadi pada perjalanan NU ini membuat kader-kader NU lupa pada tujuan hakiki itu dan lalu terseret menjadikan NU berjalan ke arah yang tidak sesuai dengan tujuan hakiki sebagai kader jam’iyah,” kata Gus Yahya, dikutip dari Liputan9.id.

Gus Yahya menegaskan bahwa NU didirikan oleh para ulama untuk menguatkan khidmah atau pengabdian ulama sesuai dengan tugas dan kewajiban ulama. Menurut Gus Yahya, tugas ulama mirip dengan Nabi, hanya saja beda pada sekala kekuatannya.

“Tugasnya adalah melaksanakan tabligh dan riayah. Tabligh menyampaikan dengan cara-cara yang terhormat dan mengasuh (riayah) umat itu tugas ulama,” jelasnya.

Pada kesempatan silaturahim itu, Gus Yahya juga mengatakan bahwa dalam perkembangan sejarah NU, sikap politik NU selalu menyesuaikan dengan kebutuhan zaman yang terjadi. Hal ini disesuaikan dengan peluang, tantangan, dan kesempatan yang ada. Sebagaimana dulu NU pernah menjadi partai politik, hal itu karena NU menyesuaikan dengan kebutuhan zamannya.

“NU pernah menjadi partai politik karena tuntutan zaman, pada waktu itu bahwa pilihan yang terbaik adalah melibatkan diri dalam politik sebagai partai politik, itu dilakukan,” begitu ujar Gus Yahya.

Gus Yahya lalu mejelaskan, pembedanya adalah roh dari amalan dari NU itu tidak berubah meski pernah menjadi partai politik, karena yang dilakukan adalah penyesuaian dengan tugas dan tanggung jawab keulamaan sehingga ketika tidak berpolitik, NU tetap melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.

“Karena roh ini tidak berubah ketika pada satu titik kemudian model partai politik tidak lagi mampu melayani tugas hakiki dari ulama itu, NU kembali ke khittah berhenti dari politik,” paparnya.

“Kalau lupa ya nggak akan ada gagasan untuk mencari atau mengoreksi arah perkembangan politik dari partai politik ke khittah itu tidak akan terjadi, kalau tidak ingat pada hakikat wadzifah ulama,” pungkasnya.

Oleh karenanya, menyesuikan diri dengan perkembangan zaman merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Sebab, ajaran Islam sifatnya selalu tetap, tetapi zaman terus berubah, bila ajaran Islam tidak disesuaikan dengan perubahan-perubahan zaman, maka khawatir akan ketinggalan zaman. Itulah pentingnya kontekstualisasi ajaran sehingga dapat menjadi solusi bagi problem kekinian yang semakin kompleks.

Sumber: Liputan9.id dan NUOnline

Islamadina.org – News

Editor: Rohmatul Izad

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *