Takdir, Bisakah Diubah?
gkdi.org

Takdir, Bisakah Diubah?

Oleh: Hasanudin Abdurakhman

Pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini mungkin merupakan pertanyaan abadi. Abadi karena sangat sulit menjawabnya. Tak ada yang pernah memberi jawaban memuaskan. Tapi, apakah sesulit itu masalahnya?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, saya ingin mengubah sedikit pertanyaannya. Apakah takdir itu? Sesuatu yang buruk terjadi menimpa kita. Sulit bagi kita untuk menerimanya. Kita sedih, kita kecewa. Satu-satunya hiburan buat kita adalah kata takdir. Bahwa apa yang menimpa kita merupakan takdir dari Yang Maha Kuasa. Kalau dia sudah berkehendak, maka kita tak bisa menolaknya. Ia sudah menetapkan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada kita. Sebuah kebetulan yang sulit dicerna.

Sebuah pesawat kecelakaan. Seluruh penumpang tewas, kecuali seorang bayi. Allah telah menetapkan takdirNya. Penumpang lain ditetapkan mati pada hari itu, sedangkan si bayi tidak. Itulah takdir, kata banyak orang. Konon, rezeki, jodoh, maut, adalah takdir yang sudah ditentukan Allah, dan tak bisa diubah. Tentu kita bertanya, kalau rezeki sudah tertentu, buat apa kita kerja? Kalau jodoh sudah ditetapkan, tentu kita tak perlu cari jodoh. Dan seterusnya.

Tapi, benarkah demikian? Saya lakukan pencarian cepat pada ayat-ayat di Quran dengan kata kunci “taqdiir”. Muncul beberapa ayat (mungkin tidak semua), yang mengandung kata tersebut, antara lain Al-An’am 96, Al-Furqaan 2, Yaasin 38, Fussilat 12, dan Al-Insaan 16. Menariknya, semua ayat itu bicara tentang alam. Contoh tipikalnya adalah surat Yaasin 38, “wa syamsu tajri limustaqarri laha zaalika taqdiirul aziizil aliim”. Dan matahari berjalan menuju tempat mustaqarnya, dan itulah takdir dari yang maha perkasa dan maha mengetahui.

Apa yang dimaksud takdir dalam ayat-ayat tersebut? Apakah Allah menetapkan suatu skenario besar, story besar, bahwa pada detik ini matahari harus melewati titik ini? Boleh jadi. Tapi bagi yang mengerti sains, “lebih mudah” bagi Allah untuk membuat hukum ketimbang skenario. Dia tetapkan saja hukum, dalam hal ini manusia kemudian memberinya nama hukum gravitasi. “Dua buah benda bermassa akan saling tarik menarik dengan gaya yang sebanding dengan massa keduanya dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara keduanya.”

Yang lebih rumit adalah teori medan gravitasi yang dirumuskan Einstein. Dengan hukum gravitasi, bersama hukum-hukum lain tentunya,  interaksi semua benda bermassa di jagat raya ini ditentukan. Itulah yang membuat bumi beredar mengelilingi matahari, bulan mengelilingi bumi, asteorid, komet, dan lain-lainnya bergerak. Yang saya pahami itulah yang sedang ditunjukkan Allah melalui ayat-ayat tentang takdir tadi. Bahwa ada seperangkat hukum yang mengatur benda-benda itu sehingga kita menyaksikan mereka bergerak dan berkelakuan seperti itu.

Dapatkah takdir itu diubah? Lebih tepatnya, akankah Allah mengubah hukum itu? Sejauh yang bisa diamati manusia, hukum alam itu tidak berubah. Kadang ada anomali, tapi anomali itu sendiri bagian dari hukum tersebut. Apakah Allah misalnya, menghentikan peredaran bulan sesekali? Dia Maha Kuasa, Maha Berkehendak. Kalau dia mau pasti bisa. Iya. Tapi Allah sendiri menegaskan bahwa Dia menciptakan segala sesuatu secara haqq, artinya tidak main-main.

Dengan hukum haqq itu Allah menetapkan hukum gravitasi tadi tidak dia ubah-ubah. “Agar kamu dapat membuat perhitungan tahun.” itu salah satu manfaat yang Dia janjikan. Kalau Allah iseng mengubah arah perjalanan matahari, misalnya, itu berarti Dia melanggar janji itu.

Jadi, takdir itu tidak dapat diubah. Lalu, apa yang bisa berubah? Atau tepatnya, apa yang bisa kita ubah? Yang bisa kita ubah, atau yang jadi hak kita adalah mengubah akibat dari sebuah takdir. Jatuh ke bawah itu adalah takdir, sesuai hukum gravitasi tadi. Bagaimana caranya agar tidak jatuh, itu adalah hak kita untuk menentukan. Pekerja di bangunan tinggi menghadapi takdir jatuh tadi. Tapi ia bisa mengubah akibat takdir itu dengan memakai sabuk pengaman. Gaya tegangan tali yang menahan berat tubuhnya itu mengikut pada hukum Allah yang lain, dan itu suatu bentuk takdir juga.

Jadi, kita bisa menghindari akibat buruk dari suatu takdir, dengan memanfaatkan takdir yang lain. Contoh lain. Karena gravitasi, posisi kita selalu ada di muka bumi. Kita tidak bisa melayang-layang di angkasa. Tapi Allah menyediakan takdir yang lain, yaitu gesekan udara. Dengan memanfaatkan gesekan udara manusia menciptakan pesawat terbang yang membuatnya bisa melayang di udara.

Kita tidak mengubah satupun hukum Allah dalam hal ini. Kita hanya bersikap, memilih takdir Allah yang mana yang baik untuk kita. Dalam suatu riwayat diceritakan, Umar bersama pasukannya pergi ke suatu kota. Ketika sudah dekat ia diberitahu bahwa di kota itu sedang terjadi wabah penyakit. Lalu Umar membatalkan rencana masuk ke kota tadi. Ia diprotes oleh salah satu anggota rombongan. “Bukankah Allah menakdirkan kita untuk masuk ke kota ini?” kata anggota tadi. “Iya, tapi kita memilih untuk menuju takdir Allah yang lain.” jawab Umar.

Rezeki, menurut saya tidak ditentukan. Yang ditentukan adalah hukum-hukum tentang pencarian rezeki. Yang berusaha keras, tentu dapat rezeki yang lebih baik, walau hukumnya tentu tak sesederhana itu. Demikian pula halnya dengan jodoh. Bahkan maut sekalipun, kita sebagai manusia tetap punya hak untuk menentukan kapan kita mati. Bila Anda ambil pistol dan Anda tembak kepala Anda sendiri, maka Anda sedang memilih waktu kematian Anda. Bila Anda jaga kesehatan, boleh jadi umur Anda akan panjang.

Sumber: Kompasiana.com

Hasanudin Abdurakhman. Cendekiawan Muslim Indonesia

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *