Artikel ini ingin mengulas tentang kebijakan dan strategi politik Muawiyah bin Abi Sofyan dalam proses Arabisasi setelah menjadi khalifah pasca fitnah al-kubra. Fokus utamanya adalah mengeksplorasi bagaimana Muawiyah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara dan mendorong penyebarannya di wilayah-wilayah taklukan seperti Syam, Persia, dan lainnya.
Arabisasi tidak hanya menggeser pengaruh budaya Yunani (Hellenisme) yang dominan di wilayah tersebut, tetapi juga melahirkan perkembangan ilmu bahasa Arab yang kemudian menjadi pondasi penting bagi peradaban Islam. Mulai dari peran Abu Aswad al-Duali hingga Imam Subawaih, kita akan melihat bagaimana bahasa Arab berkembang dan menjadi alat ideologis dalam memperkuat dominasi Dinasti Umayyah.
Setelah Ali bin Abi Thalib dibunuh kelompok Khawarij, kepemimpinannya dilanjutkan oleh Hasan bin Ali. Namun kepemimpinan Hasan tidak berlangsung lama, ia memimpin kurang lebih hanya lima bulan, dan setelah itu kepemimpinannya ia serahkan kepada Muawiyah bin Abi Sofyan. Setelah itu Muawiyah melatik dirinya sendiri menjadi Amirul Mukminin. Karena kubu Muawiyah terdiri dari satu kabilah, solidaritas kesukuan mereka lebih kuat.
Sebagaimana telah disinggung di atas, tulisan ini akan mengungkap bagaimana Muawiyah membawa kekuasannya di mana Syam pada waktu itu adalah pusat suku Qurays yang dikelilingi oleh budaya Hellenisme atau tradisi Yunani.
Sekarang kita akan fokus pada kubu Muawiyah di Syam. Setelah Muawiyah menjadi khalifah, ia menetapkan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara. Pejabat negara diwajikan menggunakan bahasa Arab dalam forum-forum resmi kenegaraan. Dorongan untuk meresmikan bahasa Arab sebagai bahasa negara, juga disebabkan oleh kitab suci Al-Qur’an yang berbahasa Arab juga.
Pada kalangan tertentu, karena bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan Al-Qur’an, mereka memperlakukan bahasa Arab sampai pada tingkatan penyucian atau taqdis. Ada juga mitos yang berkembang terkait hal ini yaitu bahwa bahasa Arab adalah bahasa surga (Lughatun min lughatin ahlil jannah). Ini adalah awal dari proses Arabisasi yang menjadi arus utama dan fase krusial dalam mengarabisasi budaya non Arab.
Karena daerah Persia dan Syam masih menggunakan bahasa Aramaik, dan gramatika Arab belum dibakukan, Basroh kemudian menjadi lokasi pengembangan bahasa Arab. Perlu diingat bahwa Basroh waktu itu berada di bawah kekuasaan Dinasti Umayyah. Banyak barisan Ali masih berada di Kuffah dan ingin memberontak.
Penetapan Basroh sebagai pusat pengembangan bahasa, alasannya karena di Syam, markas Muawiyah, sudah mengakar kuat dalam budaya Yunani. Bahasa utama di Syam adalah Aramaik. Lebih dari itu, Syam termasuk dalam lingkar budaya Aleksandria, di mana ajaran filsafat seperti Platonisme dan ajaran filsafat Yunani lainnya digunakan secara luas. Lingkar wilayah Aleksandria mencakup wilayah Junisapur, Rukha, Harram, dan Antiox.
Ketika Muawiyah menetapkan bahasa Arab sebagai bahasa nasional, gramatika Arab belum baku. Untuk menyusunnya, mereka mengambil bahan baku dari suku-suku pedalaman Arab yang keasliannya masih terjaga, seperti suku Kinanah, Khuzail, Ghotafan, suku Salim, Tha’i, Tamim, Asad, dan Qows. Qurays yang dikenal sebagai suku paling fasih dalam bahasa Arab juga termasuk di dalamnya, karena telah menggunakan gramatika, atau fusha.
Proses penyusunan ini dimulai oleh Abu Aswad al-Duali, ia membentuk sebuah tim bersama Ziyyad bin Abihi, anak Muawiyah dari budak. Abu Aswad sudah berada di Basroh sejak masa Umar bin Khattab.
Muhammad Tantawi dalam kitab tarikhnya mengatakan, bahwa gramatika Arab pertama yang ditetapkan oleh Abu Aswad adalah Kana wa Ikhwatuha, yang dikenal dengan Tarfaul isma wa tansibul khabar. Lalu, inna wa ikhwatuha, yang fungsinya tansibul isma wa tarfaul khabar. Pembeda antara ma ta’ajub dan ma istifham serta i’rab.
Abu Aswad juga dikenal sebagai orang pertama yang meletakkan diakritik al-Qur’an, atau tanda pemisah huruf dan harkat. Apa yang dilakukan oleh Abu Aswad kemudian dilanjutkan oleh generasi-generasi setelahnya. Salah satu tokoh penting pada generasi pasca Abu Aswad adalah Nasir bin Asim. Ia melanjutkan pengembangan ilmu bahasa Arab dengan menambahkan diakritik atau harkat dalam huruf Arab.
Selain itu, pada masa ini juga dikembangkan sistem morfologi Arab yang dikenal dengan istilah tsulasi, kata kerja dengan tiga huruf dasar, ruba’i, empat huruf dasar, khumasi, lima huruf dasar, dan tsudasi, enam huruf dasar. Pengembangan ini semakin disempurnakan oleh Imam Kholil bin Ahmad al-Farahidi.
Puncak pengembangan bahasa Arab terjadi pada masa Imam Sibawaih. Seorang ahli linguistik yang hidup pada masa kekhalifahan Harun ar-Rasyid. Pada masa Sibawaih, kajian tentang bahasa Arab tidak lagi terbatas pada pengaturan tanda baca atau harkat dan diakritik, tetapi telah berkembang ke analisis logika bahasa, dan makna simantik.
Kontribusi besar para ahli linguistik Basroh ini akhirnya melahirkan cabang ilmu yang dikenal dengan ilmu nahwu, yaitu gramatika bahasa Arab. Namun, antara Basroh dan Kuffah terdapat perbedaa mendasar, karena keduanya di bawah kekuasaan yang berbeda. Basroh adalah wilayah yang dikuasai oleh Dinasti Umayyah, sementara Kuffah, mungkin masih banyak orang yang berasal dari barisan pendukung Ali.
Perbedaan ini juga tercermin dalam perkembangan ilmu bahasa Arab, khususnya dalam ilmu nahwu atau gramatika. Kuffah mengembangkan mazhab nahwu yang berbeda dari yang berkembang di wilayah Basroh.
Tokoh utama yang mewakili mazhab nahwu Kuffah adalah Ibn Sikin, yang dikenal sebagai lawan diskusi panjang Imam Subawaih di Basroh pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid. Perbedaan mazhab ini menunjukkan adanya sentimen ideologis yang mempengaruhi perkembangan bahasa di kedua wilayah tersebut. Basroh dan Kuffah masing-masing mempertahankan tradisi dan pendekatan yang berbeda dalam kajian bahasa.
Masa Muawiyah ini mulai muncul ilmu yang perkembang pada masa itu, yakni ilmu bahasa Arab itu sendiri. Pertumbuhan ilmu bahasa ini dipicu oleh ideologisasi Arab, yang berperan penting sebagai bagian dari penaklukan atau ekspansi Arab, atas budaya-budaya bangsa yang sebelumnya dominan; seperti Bizantium yang menggunakan budaya Yunani sebagai penopang utama peradabannya.
Dengan berdirinya Dinasti Umayyah yang berpusat di Syam, budaya Yunani mulai tersingkir dan Arabisasi menjadi arus utama. Meski demikian, budaya Yunani atau Hellenisme tidak sepenuhnya hilang, ia tetap hidup meskipun termarginalisasi oleh Arabisasi yang dipaksakan melalui otoritas kebijakan Dinasti Umayyah. Budaya Hellenis ini kelak mencapai puncak kejayaannya pada masa Harun ar-Rasyid, terutama dengan pendirian Baitul Hikmah dan munculnya kelompok filosof seperti Ikhwan as-Safa.
Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa naiknya Dinasti Umayyah sebagai penguasa pasca fitnah al-kubra, menandai munculnya ideologi baru yang sebelumnya tidak dikenal, yaitu Arabisme, atas wilayah-wilayah yang ditaklukkan. Bahasa Arab menjadi ilmu pertama yang berkembang dan di dalamnya tersimpan ideology Arabisme tersebut.
Bahasa Arab yang pada awalnya bukan merupakan bahasa agama, menjadi ilmu dasar yang muncul dalam dunia Islam, sebagai sarana untuk mendukung ideologisasi Arab di wilayah-wilayah taklikan dinasti penguasa.
Dengan demikian, semangat Ashabiyah, atau solidaritas kesukuan sangat mendominasi perkembangan Islam pada waktu itu. Hal ini penting untuk menjadi perhatian bahwa ilmu-ilmu agama itu bisa terkait dengan masalah Ashabiyah juga. Mengapa demikian? Karena ilmu itu tidak ada yang bebas nilai. Ia terkait dengan cara-cara mendominasi dan menguasai, ilmu-ilmu agama bukan pengecualian dalam hal ini.
Ahmad Lutfi. Doktor Studi Islam UIN Sunan Kalijaga dan Dosen Filsafat di IAIN Ponorogo