Oleh: Husein Muhammad
(Seorang teman minta aku bicara tentang Aswaja (Ahlussunnah wa al Jama’ah) . Lalu aku ingat presentasiku tentang tema ini di masjid Muktamar NU ke 30. Tanggal 21-26 November 1999). Sebagai berikut ini dalam 3 episode).
Terma Aswaja atau Ahlussunnah wal Jama’ah pada awalnya merupakan istilah untuk kajian teologis (Kalam), atau yang berhubungan dengan aspek keyakinan dalam Islam. Terma ini dirumuskan pertama kali oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H/936 M) dan Abu Manshur al-Maturidi (w.333 H/944 M). Banyak orang kemudian menyebutnya sebagai Asy’arisme (Asy’ariyah) dan Maturidisme (Maturidiyyah). Keduanya adalah teolog terkemuka pada masanya di tempatnya masing-masing. Asy’ari di Irak, Maturidi di Samarkand.
Dalam perkembangan sejarahnya kemudian istilah tersebut mencakup paham keagamaan dalam dimensi yang lebih luas, meliputi dimensi Islam eksoteris: hukum atau fiqh dan dimensi esoteris (akhlaq, tasawuf/mistisisme). Dalam aspek hukum Aswaja menganut system yang dirumuskan para pendiri mazhab besar terutama : Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sementara dalam aspek tasawuf-akhlaq menganut aturan-aturan yang disusun oleh Abu Qasim al-Junaidi (w. 298 H) dan Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H/1111 M).
Melihat latarbelakang sejarah awal pembentukannya, sistem doktrin Aswaja, lahir dalam kerangka merespon perkembangan pemikiran umat Islam pada masanya yang cenderung telah bersifat ekstrim baik kanan maupun kiri terutama dalam persoalan-persoalan Kalam (Teologi). Beberapa di antaranya adalah ekstrimitas golongan Qadariyah (free will) versus Jabariyah (predestinasi) dalam isu kebebasan bertindak, soal liberalitas kaum rasionalis versus konservatisme kaum tekstualis, dan ekstrimitas kebertubuhan Tuhan (Mujassimah) versus Nihilisme Tuhan (Mu’atthilah).
Problem-problem inilah yang paling krusial dan paling sering mengemuka dalam perdebatan-perdebatan kalam (teologi) sepanjang sejarahnya. Asy’ari dan Maturidi hadir untuk menengahi kedua pikiran ekstrim itu.
Dalam isu kebebasan bertindak (Af’al al-‘Ibad), golongan Qadariyah mempercayai kebebasan manusia. Tuhan menurut mereka telah menitipkan akal-intelektual kepada manusia. Dengannya manusia memiliki kemampuan untuk mencipta dan bertindak bebas untuk melakukan apa saja, dan oleh karena itu ia harus bertanggungjawab atas akibat-akibatnya.
Sementara golongan Jabariyah meyakini bahwa manusia tidak bebas. Seluruh tindakan manusia sudah ditentukan dan diatur Tuhan. Jadi tindakan manusia adalah keterpaksaan (Majbur) bagaikan kapas yang ditiup angin. Maka seluruh manusia tidak bertanggungjawab atas segala tindakannya. Asy’ari dan Maturidi menengahi keduanya melalui teori “Kasb” (perolehan). Menurut teori ini perbuatan manusia tidak dilakukan dalam keadaan bebas tetapi juga tidak dalam keterpaksaan.
Baca juga: https://islamadina.org/2024/08/22/nu-dan-representasi-islam-tradisional-di-indonesia/
Perbuatan manusia pada akhirnya tetap ditentukan Tuhan tetapi manusia diberikan hak untuk memilih (Ikhtiar). Dalam bahasa masyarakat : Manusia berencana Tuhan yang menentukan”. Di Pesantren doktrin Aswaja ini dikemukakan misalnya dalam kitab Jauhar al Tauhid:
وَعِنْدَنَا لِلْعَبْدِ كَسْبٌ كُلْفَا وَلَمْ يَكُنْ مُؤَثْرِاً فَالْتَعْرِفَا
فَلَيْسَ مَجْبُوراً وَلاَ اخْتِيَاراً وَلَيْسَ كُل يَفْعَلُ اخْتِياَراً
“Manusia menurut Aswaja diberikan Kasb (perolehan), meski tidak memengaruhi tindakannya. Maka manusia bukanlah makhluk yang terpaksa dan bukan pula bebas. Namun tidak seorangpun mampu berbuat sekehendaknya”.
Husein Muhammad, Cendekiawan Muslim Indonesia dan Pendiri Lembaga Studi Islam Fahmina Cirebon
Sumber: Status Facebook Buya Husein Muhammad, 7 September 2024