Nomenklatur “Agama” dalam Diskursus Keagamaan di Indonesia
proprofs.com

Nomenklatur “Agama” dalam Diskursus Keagamaan di Indonesia

(Review Perbandingan atas artikel Agama, Adat, and Pancasila karya Michel Picard dan the Politics of Religion the Invention of “Agama” in Indonesia karya Sita Hidayah)

Tulisan ini secara khusus merupakan studi perbandingan atas dua artikel yang telah disebutkan di atas yakni tentang pergolakan intelektual yang memungkinkan lahirnya istilah “agama” dalam konteks tatanan politik dan pengetahuan di Indonesia. Jadi bukan secara khusus membincangkan agama dalam konteks keyakinan dan ajaran-ajarannya, tetapi lebih pada pendefinisian istilah “agama” itu sendiri sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.

Bahwa “agama” sebagai sebuah istilah ternyata memiliki proses pembentukan historis yang panjang yang seringkali tidak murni lahir dari pemahaman ajaran agama itu sendiri tetapi lebih pada bagaimana agama itu dikaji pada wilayah ilmu pengetahuan lalu direkonstruksi kembali sesuai selera akademis dan juga sarat dengan kepentingan politik.

Dalam konteks keindonesiaan, wacana tentang agama sangat lekat dengan kajian orientalis-kolonialistik, di mana awal mula yang membawa prospek kajian keagamaan memang di bawa oleh orang-orang Barat yang kemudian melahirkan pemahaman istilah agama yang dikenal seperti sekarang.

Misalnya, sesuatu disebut agama apabila ia memenuhi syarat-syarat seperti memiliki kitab suci, umat, Nabi, Tuhan, dan lain sebagainya. Padahal. Tidak semua keyakinan yang merujuk pada dimensi transendental memiliki syarat-syarat itu, sehingga seringkali apa yang disebut tradisi dan keyakinan lokal diabaikan sebagai sesuatu yang bukan agama.

Hal ini terlihat dalam penjelasan artikel berjudul Agama, Adat, and Pancasila yang menerangkan bahwa istilah “agama” banyak direkonstruksi oleh orang-orang Barat yang bercorak euro-kristiani, artinya para akademisi Barat sudah memiliki gagasan tentang agama sesuai apa yang mereka alami di Barat yang bercorak Kristen, lalu pemahaman ini berpengaruh pada studi akademik mereka dalam mendefinisikan ulang tentang agama di wilayah-wilayah lain termasuk Indonesia. Akibatnya, banyak keyakinan-keyakinan lokal menjadi tidak relevan ketika berhadapan dengan konteks agama seperti Kristen.

Jadi, “agama” yang semula merupakan wilayah yang berada pada konteks preskriptif dan normative menjadi sesuatu yang bersifat deskriptif dan analitis. Maksudnya, seharusnya, agama dipahami dalam konteks normatifnya, tetapi dalam konteks akademik kemudian ini bergeser menjadi wilayah deskriptif dan analitis oleh kalangan akademis.

Dengan demikian, kita seolah-olah dihadapkan pada suatu pemahaman bahwa istilah “agama” yang dikenali sekarang semata-mata adalah hasil murni dari kajian para sarjana akademis yang kurang mempertimbangkan aspek normatifnya.

Istilah agama yang semula bersifat lentur dan fleksibel, kemudian menjadi sangat deskriptif dan ketat ketika orang-orang Barat memperluas kategori “agama” melalui kajian-kajian akademik. Padahal, bila melihat doktrin normatif dalam interanal agama, seperti Islam misalnya, kita hampir-hampir tidak menemukan definisi agama yang paten dan terkonstruk dengan jelas. Sehingga dari sinilah para akademisi memiliki celah untuk merekonstruksi ulah apa itu apa dan bagaimana bentuk agama yang seharusnya.

Dalam konteks keindonesiaan, istilah “agama” yang telah dibuat-buat oleh para sarjana menemukan kesulitan-kesulitannya ketika berhadapan dengan realitas spesifik. Misalnya, ketika salah satu definisi agama mengaruskan adanya Tuhan yang diyakini, ini mempersulit agama Budha yang sedari awal menolak konsepsi tentang Tuhan, apalagi ketika sudah masuk pada ranah konstitusi yang juga termuat pada sila pertama.

Jangankan agama-agama lokal yang kurang diakomodir oleh negara, bahkan pemahaman “agama” secara konstitusional tidak mengakomodir agama resmi sekalipun. Inilah salah satu ketimpangan antara realitas akademis dan realitas faktual di masyarakat.

Terlepas dari itu semua, konsep agama yang kita kenal sekarang sudah selayaknya direkonstruksi ulang agar terkesan tidak terlalu memaksakan dan bersifat politis. Adanya keputusan MK yang mengakomodir kepercayaan lokal non agama resmi yang tertulis di KTP dapat diapresiasi bahwa ini merupakan langkah baik dalam mengakomodir berbagai agama dan keyakinan secara luas.

Sebab, ketika agama dipersempit menjadi seperangat keyakinan yang harus memiliki syarat-syarat tertentu, maka ini akan menindas bagi keyakinan-keyakinan lain yang tidak memenuhi syarat-syarat itu. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan hak konstitusional sebagaimana agama resmi yang dianggap lebih sah untuk hidup subur di Indonesia. Padahal, bila melihat konteks sejarahnya, agama lokal ini sudah jauh ada sebelum agama-agama besar datang.

Di sisi yang lain, kita juga dihadapkan pada wacana “agama” yang sedikit banyak bercorak politik kekuasaan. Misalnya, di Indonesia, untuk menyebut masyarakat hanya ada dua istilah, yakni rakyat dan umat. Istilah “rakyat” merujuk pada pendefinisian masyarakat secara ketatanegaraan, sedangkan umat murni dalam konteks wacana agamis. Itu artinya, wacana “agama” dalam konteks Indonesia menjadi isu penting karena dari situlah nantinya kebijakan-kebijakan politis juga akan diurai dan dieksekusi.

Menurut Sita Hidayah, wacana agama sangat berpengaruh dalam sistem pemerintahan Indonesia. Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa wacana ini menjadi kekuatan besar bagi pemerintah untuk mengontrol rakyatnya.

Bagi pemerintah Indonesia, agama tidaklah cukup hanya sebatas seperangkat keyakinan dan tradisi, dan tentu saja ini terpengaruh dari segi wacana akademis. Antara wacana akademis dan politis sama-sama memiliki kekuatan dalam mewacanakan agama yang kemudian dipakai untuk kepentingan politik kenegaraan.

Akibat terburuknya, pemerintah hanya peduli dengan agama-agama mayoritas atau yang telah diresmikan, sementara adat dan kepercayaan lokal cenderung diabaikan. Pada titik ini, ada semacam ketidakadilan objektif dari pemerintah yang terlalu mengedapankan mayoritas dan mengabaikan minoritas, padahal mereka sama-sama punya hak kebebasan sebagaimana penganut agama-agama yang lain.

Dengan demikian, harus ada kesadaran dari pemerintah bahwa apa yang disebut agama tidaklah melulu menyasar pada kelompok mayoritas dan harusnya lebih bersikap adil untuk tidak selalu mengunakan agama untuk kepentingan-kepentingan mereka.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *