Islam dan Isu-isu Global: Fundamentalisme, Terorisme, dan Komodifikasi Agama
kompas.id

Islam dan Isu-isu Global: Fundamentalisme, Terorisme, dan Komodifikasi Agama

Globalisasi dengan segudang penawaran tanpa batas, khususnya di bidang politik dan ekonomi, ternyata tidak saja memberi dampak yang baik bagi kehidupan, beberapa masalah serius ternyata juga muncul beriringan dengan merebaknya globalisasi. Salah satu isu terpanas tentang isu-isu global yang juga menjadi masalah dunia adalah tentang fundamentalisme dan terorisme.

Artikel ini secara khusus ingin merekam bagaimana Islam bersentuhan dengan globalisasi dan seluruh nilai-nilainya. Salah satu tesis utama yang menjadi pegangan penulis adalah bahwa globalisasi pada hakikatnya memiliki wajah ganda, di satu sisi ia menawarkan tatanan kehidupan yang ideal, tetapi di sisi lain ia juga bisa menjadi jahat dan mampu menjadi pemangsa yang mematikan bagi tatanan kehidupan itu sendiri.

Bila melihat kebersentuhan antara agama dan globalisasi, paling tidak ada dua aspek utama yang perlu dilihat. Pertama tentang pengaruh globalisasi terhadap agama, dan kedua tentang respon agama terhadap globalisasi.

Pada yang pertama, globalisasi memang benar-benar memberi pengaruh terhadap agama. Misalnya dalam pesatnya arus penyebaran media-telekomunikasi, bahwa seringkali wajah agama dibentuk oleh media. Ini tentang bagaimana fenomena-fenomana agama itu dibentuk oleh citra media, sehingga baik tidaknya suatu agama bisa dilihat bagaimana media menarasikan fenomena agama tersebut.

Pengaruh globalisasi pada agama yang kedua bisa dilihat melalui munculnya banyak kepercayaan-kepercayaan baru. Ini tentang sesuatu yang disebut dengan diversitas agama alternatif, bahwa globalisasi dengan seluruh nilai-nilainya seringkali membuat seseorang kehilangan spiritualitas. Kekosongan spiritualitas itu terjadi karena globalisasi memang tidak pandang bulu dalam menyebarkan nilai-nilai modenitas sehingga nilai-nilai agama menjadi tergerus dan bisa jadi hilang. Ada semacam kerindungan untuk kembali ke nilai-nilai luruh, sebagian orang kembali ke agamanya, sebagian lagi membentuk keyakinan-keyakinan baru yang tanpak asing bagi agama tradisional, misalnya dengan kelahiran keyakinan baru bernama New Age yang cukup masif di Amerika.

Respon Agama terhadap Globalisasi

Karena spektrum agama terlalu luas dan perlu penjabaran yang luas pula, maka respon ini hanya akan menyinggung dalam konteks Islam saja. Salah satu alasannya, karena Islam adalah salah satu agama yang banyak diperbincangkan di ranah global, hal ini secara khusus terkait isu-isu yang berkaitan dengan fundamentalisme dan terorisme. Banyak peneliti beranggapan bahwa fundamentalisme dan terorisme adalah gerakan kebangkitan agama secara global yang merupakan bentuk respon terhadap globalisasi.

Dalam buku Theorization Religion in Globalization (2008), Cristian Karner dan Alan Aldridge membagi respon agama terhadap globalisasi menjadi tiga macam; fundamentalisme, radikal resisten, dan komodifikasi agama.

Pertama, fundamentalisme. Fenomena fundamentalisme bisa dilihat melalui menguatnya identitas atau sektarianisme dalam beragama. Fundamentalisme sendiri tak lain dari bentuk fanatisme dan kepercayaan yang berlebih-lebihan terhadap agama. Meskipun, watak fundamentalisme yang sesungguhnya tidaklah hanya berkutat pada penguatan identitas agama, tetapi lebih pada orientasi politik.

Bisa dipastikan, fundamentalisme merupakan sebentuk fanatisme yang membutuhkan kekuasaan. Mereka tidak saja mengembalikan agama ke jalur yang benar-benar suci, tetapi juga sekaligus mengambil kekuatan politik sebagai aspirasi untuk memperjuangkan agamanya. Sederhananya, ketika mereka telah mampu membendung globalisasi dengan seperangkat imannya, mereka lalu membutuhkan ruang sosial yang lebih besar, agar keyakinan tersebut memiliki kekuatan yang bisa diperhadapkan dengan globalisasi.

Namun, fundamentalisme seringkali lebih bersifat politis daripada agamis. Di banyak negara-negara berkebudayaan Islam, seperti di Timur Tengah, fundamentalisme mengambil banyak bentuk, tetapi semua gerakannya memiliki kemiripan satu sama lain, yakni sebuah agamisasi politik dan terkesan memanfaatkan agama untuk tujuan-tujuan politik. Sebut saja misalnya Hizbut Tahrir, Ihwanul Muslimin, dan Jemaat Islami, beberapa organisasi ini memang mengusung aspirasi Islam dan berkeinginan untuk membangun tatanan dunia yang lebih Islami, tetapi pada saat yang sama mereka terjebak pada kepentingan politik dan kekuasaan.

Kedua, radikal resisten. Bentuk dari radikal rasisten bisa berupa ekstremisme, tetapi kadang-kadang ia juga menjadi teroris. Tentu saja, kedua hal ini harus dibedakan agar kita tidak dikacaukan dengan pengertian agama yang dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan lain. Misalnya ekstremisme, ia tidak bisa disebut teroris, karena gerakannya tidak bercirikan pertumpahan darah. Seringkali, ekstremisme dipahami sebagai gerakan Islamis (fundamentalisme) tetapi dengan sedikit melakukan kekerasan secara sporadis. Mereka tidak melulu menggunakan kekerasan dalam perjuangannya, tetapi bila diperlukan, kekerasan itu menjadi halal dilakukan.

Wujud radikal resisten yang kedua disebut teroris. Memang harus diakui bahwa gerakan teroris umumnya dilakukan atas motif jahat yang tidak berembel-embel agama, tetapi harus diakui pula bahwa terosisme yang mendapat legitimasi dari agama juga ada banyak. Ciri utama gerakan teroris berbaju agama biasanya merupakan organisasi yang terorganisis dengan baik, misi-misi politisnya sedemikian terencana, dan seringkali faktor utama tumbuh suburnya terosisme adalah karena faktor ekonomi.

Dalam sebuah jurnal berjudul Predatory Globalization and Democraty in Islamic World (2002), Mustapha Kamal Pasha mengajukan sebuah tesis bahwa salah satu faktor utama tumbuh suburnya terorisme karena hegemoni Barat telah begitu mengakar kuat di negara-negara Muslim, salah satu ideologi globalisasi yang secara langsung berdampak pada umat Islam adalah neo-liberalisme. Melalui neo-liberalisme, dunia benar-benar telah mengecil dan tanpa sekat, pasar bebas meraja lela di mana, dan akhirnya negara tidak memiliki kontrol terhadap aktifitas perekonomian. Bila negara tidak memiliki kontrol, maka jurang antara si kaya dan si miskin akan semakin terjal dan memprihatikan.

Ketiga, komodifikasi agama. Tema ini memang agak berlainan dengan apa yang telah disinggung di atas, tetapi ini juga merupakan bagian penting dari respon agama terhadap globalisasi. Komodifikasi agama artinya bagaiamana agama dimodifikasi sedemikian rupa sehingga ia menjadi pantas dan relevan dengan globalisasi. Selain itu, komodifikasi agama juga bisa berarti bagaimana komunitas agama menjaga nilai-nilai agamanya agar ia tetap utuh di era globalisasi yang tak menentu.

Contoh terbaik dari munculnya fenomena komodifikasi agama adalah dengan munculnya tren-tren baru, misalnya tren munculnya film-film berbau religi, sertifikasi halal bagi produk-produk makanan, muncul bank-bank syariah tidak hanya di Indonesia tetapi juga pada tingkat internasional, munculnya beragam fasion agamis, dan terakhir merebaknya perumahan-perumahan yang bercirikan Muslim/syar’i.

Apa yang menjadi inti dari respon Islam terhadap globalisasi? Sederhananya, respon Islam terhadap globalisasi adalah sebuah keniscayaan. Ini terjadi karena umat Islam meyakini bahwa Islam adalah agama yang telah tuntas dan mampu menjawab segala problem yang lahir di setiap zaman. Untuk itu, respon ini tentu tidak bisa dilihat semata-mata sebagai sesuatu yang negatif, karena tidak selamanya nilai-nilai yang datang dari Barat itu baik dan bersifat universal.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *