Hikmah Dibalik Polemik Nasab Ba’alawi

Hikmah Dibalik Polemik Nasab Ba’alawi

Fenomena panas dan penuh kontroversi tentang polemik Ba’alawi telah bergulir lebih dari setahun terakhir, tetapi belum ada tanda-tanda polemik ini akan usai. Malahan berbagai irisan dari fenomena ini telah berdampak besar bukan hanya pada tataran wacana yang meragukan asal-usul nasab Ba’alawi, tetapi merembet ke hal-hal lain seperti wacana tentang sejarah Ba’alawi di Indonesia, peran mereka dalam dakwah Islam, dan merebet pula ke soal pemalsuan makam atau politisasi kuburan.

Polemik Ba’alawi ini pertama kali muncul saat Kyai Imad, seorang ulama asal Banten, mengungkap hasil kajian ilmiahnya tentang asal-usul kelompok yang mengatasnamakan keturunan Nabi Muhammad Saw, yakni Ba’alawi. Menurut Kyai Imad, Nasab Ba’alawi terputus dari Nabi lantaran nenek moyang Ba’alawi bernama Ubaidillah, yang dianggap putra dari Ahmad al-Muhajid bin Ahmad bin Isa (w. 345 H/956 M), di mana Ahmad al-Muhajir merupakan keturuan Nabi yang tertulis di kitab-kitab nasab, ternyata Ubaidillah bukanlah putra darinya.

Pendapat Kyai Imad ini didukung dengan data-data historis yang sezaman dengan Ahmad al-Muhajir bin Ahmad bin Isa di mana tidak ada satu kitab pun yang menyebutkan bahwa Ubaidillah merupakan anak dari Ahmad al-Muhajir. Baru beberapa abad kemudian, muncul sebuah kitab yang menyebutkan bahwa Ubaidillah merupakan anak dari Ahmad al-Muhajir. Fakta ini menunjukkan bahwa Ubaidillah yang dianggap keturunan dari Ahmad al-Muhajir otomatis batal karena tidak didukung oleh data-data sejarah yang otentik, khususnya data sejarah yang sezaman dengan masa hidup Ahmad al-Muhajir.

Temuan Kyai Imad ini sontak mengegerkan umat Islam Indonesia, khususnya di kalangan tradisionalis. Bagaimana tidak, habaib (Ba’alawi) yang selama ini sangat dihormati, dipuja-puja, dan banyak kitab-kitab yang ditulis dari kalangan mereka dikaji oleh kalangan Islam santri, ternyata nasabnya tidak tersambung dengan Nabi alias direkayasa semata. Akhirnya, status validitas nasab Ba’alawi dan lembaga yang menaunginya, Rabithah ‘Alawiyyin, berada di ujung tanduk. Bagi yang percaya dengan temuan Kyai Imad, mereka merasa tertipu dan dibodohi oleh Ba’alawi, tetapi bagi yang tidak percaya, mereka relatif tenang-tenang saja dan tetap menaruh rasa hormat terhadap Ba’alawi (habaib).

Tulisan singkat ini tidaklah dimaksudkan untuk mengurai polemik Ba’alawi yang menjadi diskursus panas dalam setahun terakhir. Sebab tulisan tentang polemik Ba’alawi sudah sangat melimpah di internet dan media sosial. Penulis hanya akan mengurai hikmah dibalik fenomena ini. Mengingat, wacana nasab Ba’alawi tampaknya sudah tidak sehat dan justru melahirkan kubu-kubuan yang saling kontras; antara yang pro-Ba’alawi dan kontra. Sehingga melahirkan wacana yang tidak produktif hingga saling serang dan memicu kebencian atar kubu umat Islam.

Boleh di bilang, polemik Ba’lawi telah berdampak besar bagi umat Islam Indonesia, khususnya bagi kalangan NU yang begitu dekat dengan para Habaib. Dikatakan dekat dengan NU karena perkumpulan habaib ini relatif memiliki ikatan mesra di kalangan NU, khusunya pada level Islam kultural dan kurang – untuk tidak mengatakan sama sekali – menjalin hubungan dengan ormas-ormas Islam lainnya. Sehingga NU sendiri yang terdampak, baik dari segi positif maupun negatif. Ibaratnya, kalangan NU sendiri yang pertama kali memunculkan polemik ini dan warga NU pula yang terkena dampaknya. Jadi persoalannya cenderung hanya berputar-putar di kalangan Nahdliyin saja.

Memetik Hikmah dari Kekacauan yang Terlanjur Terjadi

Terlepas dari pro dan kotra terhadap dinamika polemik Ba’alawi, yang jelas polemik ini memiliki banyak hikmah. Misalnya, banyak melahirkan kesadaran-kesadaran baru, kajian-kajian baru, serta umat menjadi sangat melek pada ilmu sejarah. Baik yang pro maupun yang kontra, mereka semua pasti sama-sama akan berpikir tentang sejarah Ba’alawi, minimal terbersit dalam pikirannya untuk memikirkan polemik ini. Apalagi, polemik Ba’alawi ini menggiring pada wacana-wacana baru yang tidak kalah pentingnya, yakni soal dugaan narasi pembelokan sejarah NU dan politisasi kuburan.

Boleh dibilang, di kalangan Islam tradisional seperti NU, ilmu sejarah bukan termasuk bidang favorit, bahkan cenderung diabaikan. Hal ini lantaran ilmu sejarah tidak terlalu memiliki nilai praktis dalam hal ibadah maupun muamalah. Tidaklah mengherankan bila kurikulum kajian Islam di pesantren tidak mengajarkan materi-materi sejarah yang cukup, hanya beberapa kitab standar saja yang diajarkan tetapi tidak cukup baik bagi pemahaman sejarah para santri.

Singkatnya, kajian-kajian Islam di kalangan Islam tradisional lebih banyak dipusatkan pada dimensi Islam normatif ketimbang Islam historis. Islam normatif adalah Islam sebagai ajaran agama yang tertuang dalam kitab suci dan berikut turunanannya, seperti akidah dan syariah. Adapun Islam historis, yakni Islam ditinjau dari aspek kesejarahan; meliputi aspek sosiologi, sejarah, antropologi, filsafat, dan sebagainya.

Nah, pada aspek Islam historis inilah pemahaman kalangan tradisionalis sangat kurang memadai. Hal ini terjadi lantaran Islam historis dianggap ilmu fardhu kifayah, artinya bukan ilmu yang benar-benar wajib dipelajari secara individual karena tidak berdampak langsung bagi pengamalan ajaran Islam. Hal ini berbeda dengan Islam normatif, yang dipelajari dan diproduksi secara terus-menerus karena menyangkut hal esensial dalam agama, di mana orang yang tidak mempelajarinya maka Islamnya dianggap tidak sempurna.

Persis pada titik inilah pangkal persoalannya, bahwa mempelajari Islam secara normatif saja tidaklah cukup. Kita semua ini hidup di dunia, agama lahir dan juga diamalkan di dunia, tidaklah mungkin melepaskan syariat agama dari peranan-peranan duniawi yang mengitarinya. Sebab, agama tidak akan berkembang dengan sempurna tanpa melibatkan dimensi historis dan sosiologis dari agama tersebut.

Islam bukanlah agama yang ujuk-ujuk datang dari langit lalu langsung diamalkan oleh umatnya. Di dalam proses pewahyuan dan pembentukannya, ada dimensi historis yang mengitarinya. Islam secara perlahan berevolusi dari tahapan yang paling awal hingga menjadi agama sempurna seperti yang kita saksikan sekarang. Itu semua dilalui melalui tahapan-tahapan historis dan sosiologis yang menjadikan Islam membentuk sebuah agama yang paten. Sehingga menganggap Islam hanya akidah dan syariat saja sama halnya mencerabut iman dari akarnya, yakni mencerabut ajaran Islam dari nilai-nilai yang mengitarinya, yakni aspek kesejarahan.

Terbukti dengan mencuatnya polemik Ba’alawi ini, banyak umat Islam terkaget-kaget, antara percaya atau tidak, antara yakin atau ragu. Sehingga melahirkan percekcokan antar sesama umat Islam sehingga melahirkan perpecahan dan konflik yang tidak perlu. Semua ini terjadi lantaran kurangnya pemahaman, atau lebih tepatnya, kurangnya kesadaran akan dimensi ilmu sejarah. Memang, soal polemik Nasab ini tidak ada hubungan langsung dengan akidah dan syariat agama, tetapi polemik ini berimplikasi pada cara beragama umat Islam di Indonesia, dan itu sudah masuk ke ranah pengamalan agama itu sendiri.

Adanya polemik nasab ini, paling tidak ada hikmah yang bisa dipetik, yakni membangkitkan gairah akan ilmu kesejarahan. Kesadaran akan ilmu sejarah ini akan menggiring kita untuk membuka lembaran-lembaran masa lalu yang akan mengungkap kebenaran yang diperdebatkan di masa kini sehingga menjadi pijakan yang benar dalam beragama. Tidak hanya itu, kesadaran akan sejarah kiranya dapat pula untuk menjadi renungan bersama tentang bagaimana upaya mempelajari sejarah yang lebih sistematis di kalangan santri, khususnya terkait kurikulum pengajaran di pesantren.

Apalagi, terkait dengan pembelokan narasi sejarah NU yang dipengarai ada peran para habaib, PBNU telah membuat keputusan untuk mengkaji ulang sejarah NU. Hal-hal seperti ini harusnya sudah selesai sejak beberapa dekade yang lalu, karena ada begitu banyak ahli sejarah dari kalangan NU. Kenapa ini baru dilakukan? Lagi-lagi, kita secara masif dan berkelanjutkan kurang melek terhadap dimensi sejarah, atau kurang menghargai betapa pentingnya ilmu sejarah. Sehingga apa-apa yang kita terima selama ini seolah memang begitu adanya, benar dengan sendirinya. Padahal, di balik itu semua, ada begitu banyak hal yang perlu diperjelas dan diluruskan.

Dengan kesadaran akan ilmu sejarah ini, kiranya dapat membangkitkan gairah intelektual yang masif dan permanen di kalangan Islam tradisional, bahwa Islam historis sama pentingnya dengan Islam normatif. Bila pemahaman terhadap Islam historis keliru – apalagi sama sekali tidak tahu –, maka ada kemungkinan pengamalan Islam normatif juga keliru. Di sinilah arti penting memahami dimensi kesejarahan dalam agama.

2 Comments

  1. keren, menggugah semangat untuk lebih “gandrung” pada ilmu sejarah. karena bagaimanapun, itu menjadi pijakan hasil hari ini. kupas lebih dalam Gus, supaya lebih seimbang membaca kondisi yang ada…

    • M. Dani Habibi

      Ghasken pak ditunggu karyanya hehe

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *