Hakekat Ruh yang Jarang Diketahui Manusia

Hakekat Ruh yang Jarang Diketahui Manusia

Suatu hari Rasulullah berjalan di tanah perkebunan Madinah sambil bertumpu pada tongkat. Kemudian beliau bertemu dengan sekelompok Yahudi. Sebagian dari mereka berkata kepada yang lain, “Bertanyalah kalian kepada Rasulullah tentang Ruh!” Sebagian yang lain mengatakan, “Janganlah kalian bertaya kepada Rasulullah!”. Akhirnya mereka bertanya, “Wahai Muhammad! Apakah ruh itu?” Rasulullah tetap bertumpu pada tongkat, kemudian membacakan firman Allah:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلا قَلِيلا

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (Q.S. Al-Isra’ [17] : 85)

Ayat di atas mengandung pengertian, bahwa ruh adalah rahasia penciptaan yang hanya diketahui oleh Allah, akan tetapi manusia diberi sedikit pengetahuan tentangnya. Ketidakmampuan memahami hakikat dan kondisi ruh akan menyadarkan manusia akan kelemahannya memahami dirinya sendiri, apalagi untuk memahami Tuhannya.

Menurut Imam Ghazali, ruh bukanlah jisim yang bertempat dalam tubuh, sebagaimana menempatnya air dalam wadah. Ruh juga bukan sifat yang bertempat dalam hati atau otak, sebagaimana menempatnya warna hitam pada benda hitam, atau ilmu pengetahuan pada orang alim. Ruh adalah jauhar (esensi), bukan sifat, karena ruh bisa mengetahui keberadaan dirinya sendiri dan penciptanya, dia juga bisa memahami perkara-perkara yang rasional. Pengetahuan-pengetahuan ruh tersebut adalah ilmu, sementara ilmu adalah sifat. Jadi, seandainya kita menganggap ruh adalah sifat, berarti ilmu yang menjadi sifat akan berada pada ruh yang juga merupakan sifat. Tentu kesimpulan semacam ini tidak rasional.

Masih menurut Imam Ghazali, ruh tidak berada dalam diri manusia, juga tidak berada di luarnya, tidak terpisah (munfashil) juga tidak bersentuhan (muttashil). Karena sesuatu yang bisa memiliki sifat ittishal dan infishal adalah sesuatu yang berbentuk fisik dan bertempat. Sementara itu, ruh tidak berbentuk fisik tidak juga memiliki tempat, sehingga ruh tidak bisa disebut muttashil atau munfashil dengan tubuh manusia. Sebagaimana benda mati, tidak bisa disebut pandai atau bodoh, karena yang bisa memiliki sifat tersebut adalah sesuatu yang hidup. Ketika sifat hidup itu tidak ada, maka sifat pandai dan bodoh itu juga tidak ada.

Ruh juga tidak berada pada suatu tempat, tidak bersentuhan dengan jisim, dan tidak berada pada satu arah secara khusus, karena kesemuanya adalah ciri-ciri dari jisim dan sifat, sementara ruh bukanlah keduanya. Ruh dikuduskan dari perkara-perkara tersebut.

Sedangkan menurut al-Farabi, ruh manusia berasal dari jauhar (esensi) pada alam al-amr (realitas diluar jangkauan indra dan imajinasi, tanpa tempat, arah dan ruang) yang tidak berupa, tidak berbentuk, tidak bisa ditunjuk, dan tidak diam atau bergerak. Karena itulah, ruh bisa memahami sesuatu, dan menanti sesuatu yang akan datang. Ruh bertasbih di alam malakut dan berdialog di alam jabarut.

Hidupnya jasad lahiriyah adalah atsar (pengaruh) dari hidupnya ruh, seperti cahaya matahari di muka bumi yang berasal dari matahari. Ketika matahari berlalu, maka cahayanya akan mengikuti, dan bumi akan menjadi gelap. Demikian pula ruh, ketika dia meninggalkan jasad, menuju alam dimana dia berasal, maka kehidupan yang semula menyinari jasad juga akan pergi mengikuti ruh. Sehingga dalam pandangan kasatmata, jasad manusia akan menjadi seperti jamad (tubuh tak bernyawa). Orang-orang akan mengatakan, “fulan telah mati”, padahal pada hakikatnya ruh itu sedang kembali pada tempat asalnya, “minhaa khalaqnaakum wa fiihaa nu’iidukum wa minhaa nukhrijukum taataran ukhra”.

Sedangkan menurut ulama mutaakhkirin ruh adalah jisim yang berupa nur (cahaya), yang ulwi (dari tempat yang tinggi dan mulia), yang hidup, dan berbeda dengan jisim fisik. Dia mengalir dalam jasad atas izin dan perintah Allah sebagaimana mengalirnya air dalam bunga, minyak dalam zaitun, dan api dalam batu bara. Ruh tidak bisa mengurai, bertranformasi, terbelah atau terbagi. Ruh meberikah kehidupan pada tubuh fisik dan segala macam konsekuensinya, selama tubuh tersebut mampu menerima emanasi ruh, dan tidak ada sesuatu yang menghalang alirannya. Ketika aliran ruh terhalang oleh sesutu, semisal gumpalan dalam tubuh, maka jasad akan mati, karena ruh tidak lagi mengalir.

Ats-Tsa’alibi dalam tafsirnya mengutip pendapat ulama mutaakhkhirin, bahwa pengertian ruh adalah jisim yang berupa cahaya yang transparan, dia mengalir dalam jasad sebagaimana mengalirnya api dalam batu bara. Dalil bahwa ruh itu berada dalam tubuh adalah firman Allah:

فَلَوْلا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ, وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ

“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan. Padahal kamu ketika itu melihat” (Q.S. Al-Waqi’ah [56] : 83-84)

Ats-Tsa’alibi menguatkan pendapat tersebut dengan menyampaikan sebuah kisah yang diriwayatkan dari Muhammad al-Barjini dari Syekh Saleh abi Thahir ar-Rakraki. Beliau, Syekh Abi Thaher ar-Rakrari adalah wali terkenal dan sangat dihormati oleh penduduk Tunis. Suatu ketika ar-Rakraki hadir di samping salah satu wali yang akan meninggal dunia. Kemudian dia melihat ruh wali tersebut keluar dari jasadnya. Ruh tersebut berwujud seperti rupa sang wali dan berada di atas kepalanya, lalu terbang ke langit. Ketika itu, ruh ar-Rakraki juga ikut terbang ke langit bersama ruh sang wali. Ketika sampai ke langit dunia, ar-Rakraki melihat sebuah pintu, dan kaki malaikat direntangkan pada pintu tersebut. Malaikat itu kemudian menarik kakinya dan berkata kepada ruh sang wali: “Naiklah!”. Maka ruh itu pun naik. Ketika itu ruh ar-Rakraki ingin naik bersama ruh sang wali, kemudian dicegah oleh malaikat, dia mengatakan: “Kembalilah, karena engkau masih memiliki sisa waktu di dunia!”. Ruh ar-Rakraki kemudian turun, dan dia melihat banyak orang telah mengerumuni jasadnya. Sebagian ada yang mengatakan: “Dia telah meninggal”, sebagian lagi mengatakan: “Dia belum meninggal”. Kemudian ruh ar-Rakraki masuk kembali dari lubang hidung atau kelopak mata.

Menurut ar-Razi, pendapat yang mengatakan ruh adalah jisim berbentuk nur yang mengalir dalam tubuh adalah pendapat yang kuat dan wajib direnungkan, karena pendapat ini sangat sesuai dengan keterangan dalam kitab Ilahiyyah yang menjelaskan tentang hakikat kehidupan dan kematian.

Refrensi 

Al-Ajwibah al-Ghazaliyyah, dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali, h. 383.

Al-Ajwibah al-Ghazaliyyah, h. 384.

Al-Ajwibah al-Ghazaliyyah, h. 385.

Fushush al-Hikam, dalam ats-Tsamrah al-Mardhiyyah. 271.

Ibnu Arabi, Futuhat al-Makiyyah, j. 1, h. 90.

Fatawa Azhar, j. 7, h. 353/al-Alusi, Tafsir Ruhul Ma’ani, j. 15., h. 155.

Al-Jawaair al-Hisaan fi Tafsiir al-Qur’an, j. 2., h. 358

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *