Oleh: M. S Arifin
Islamadina.org – Dalam ruang publik hari ini, kita sering bingung suara mana yang harus kita ikuti. Semua orang bisa berkomentar atas suatu isu tanpa dasar keilmuan yang mumpuni. Kita bagaikan berjalan di lorong gelap dengan iming-iming cahaya lilin di ujung sana, tetapi kita tak bisa menemukan ujung lorong—harapan dari ketakutan, kegelisahan, dan ketidakpastian. Kita akhirnya bingung membedakan mana yang pakar mana yang sekadar ngomong tanpa dasar. Inilah era yang pada 2017 disebut oleh Tom Nichols sebagai Matinya Kepakaran (The Death of Expertise). Delapan tahun kemudian, di saat kecerdasan buatan (AI) semakin ‘cerdas’, sabda Tom Nichols tampak tak terbantahkan.
Selama kurang lebih sebulan menghilang dari peredaran Sosmed, saya menemukan arti menjadi ‘diri sendiri’. Aktivitas saya sudah sangat jauh dari perdebatan dan ‘gelut’ di dunia maya. Hari-hari saya isi dengan membaca, menulis, dan menerjemah. Sekilas-kilas saya juga menyimak ‘yang lagi viral’, selebihnya ‘masa bodo amat’. Tidak semua hal harus kita ketahui, dan tidak semua hal harus kita komentari. Di dalam fase seperti ini, kejernihan pikiran kemudian datang. Kita tidak lagi hanya berurusan dengan runtuhnya kepakaran, tapi kita juga menghadapi gelombang ‘gembala isu’.
Menghadapi ombak informasi di ruang publik hari ini, saya memilih sikap skeptis. Belum tentu orang yang mengomentari suatu isu dengan panjang lebar itu mengetahui hakikat yang dibicarakannya. Lebih banyak orang yang berkomentar hanya berdasar letupan emosional yang dibumbui dengan bias pembenaran, kendati mengutip sumber sana dan sini. Cobalah untuk sesekali bermain AI, dan masukkan entri isu terpanas, kamu akan menemukan begitu mudahnya copy-paste dilakukan, seolah-olah kamu menjadi pakar. Jika semua variable kemungkinan diterapkan dalam menanggapi suatu isu, praktis kita tak akan sanggup untuk berkomentar, saking luasnya cakupan kebenaran yang bermain di sana.
Apalagi era tulis digital detik ini sudah menyuguhkan sekian banyak bias informasi. Letakkan bingkai (frame) dalam suatu isu, maka kebenaran akan bisa kamu setir sendiri, tergantu kamu geser kemana bingkai itu. Maka, detik-detik ini kita jauh dari berbicara ilmu. Kita menggembala dari satu maklumat ke maklumat yang lain, tetapi tak menemukan temali yang menghubungkan antarmaklumat. Lulus dari gembala maklumat, kita tak mungkin jadi ‘alim’, paling banter jadi ‘pengamat’.
Ilmu berisi pecahan maklumat-maklumat yang terseleksi, ada yang dikumpulkan dan ada yang didepak. Penyeleksian membutuhkan ketajaman berpikir yang terasah bertahun-tahun. Belum lagi kumpulan pecahan maklumat tadi harus diramu dalam suatu metode, sehingga dari metode memunculkan hukum, dan dari hukum memunculkan kaidah, dan dari kaidah realitas ditata dalam semesta diskursus. Semua tatanan ini boleh dikata lenyap dalam tradisi literal kita di media sosial. Alhasil kita remuk redam terserang ledakan opini yang muncul dari letupan emosional belaka.
Dan di tengah era AI, di tengah kebingungan siapa pakar siapa bukan, kita harus kembali kepada istilah al-Qur’an untuk menyebut siapa Sang Pakar itu: ar-rasikhuna fi al-‘ilm (QS. Ali Imran: 7). Ibn ‘Asyur dalam tafsirnya ‘At-Tahrir wa at-Tanwir’ menyatakan bahwa kata ‘rusukh’ secara etimologis bermakna: ats-tsabat dan at-tamakkun, stabil dan kokoh. Dikatakan, orang yang kakinya rasikh adalah orang yang berjalan dengan stabil dan tidak gontai. Makna rasikh dipinjam secara metaforis untuk menggambarkan orang yang “sempurna akal dan ilmunya, sehingga tidak bisa disesatkan oleh syubhat (perkara yang samar, yang tak pasti benar dan tidaknya).” Lebih jauh, ar-rasikhuna fi al-‘ilm adalah “orang-orang yang menetap di dalam ilmu dan mengetahui rahasia-rahasia terkecilnya.”
Itulah kenapa sikap saya terhadap komentar orang di sosial media detik ini adalah skeptis. Begitu susahnya kita menemukan sosok ‘rasikh’ itu ketika bahkan seolah-olah isi kepala seseorang bisa diwakilkan oleh AI, dengan hanya memasukkan entri sesuai perintah. Cara menguji apakah orang itu raskih atau bukan adalah dengan menjauhkannya dari akses instan kepada pengetahuan (gadget, komputer, AI, dst.). Detik ini kita mestinya tersindir dengan omongan begal yang pernah mau mengambil lembar-lembar kitab daras Imam Al-Ghazali ini:
كيف تزعم أنك عرفت عِلمها وعندما أخذناها منك أصبحتَ لا تعلم شيئًا وبقيتَ بلا علم؟
“Bagaimana mungkin engkau mengaku mengetahui ilmu yang ada di lembaran itu, sementara ketika aku mengambilnya darimu, engkau tak tahu apa-apa dan jadi plonga-plongo?
M. S Arifin. Alumni Universitas Al-Azhar Mesir

