Oleh: M.S Arifin
Ketika dulu saya selesai membaca dua ‘Tahafut’ (Tahafut al-Falasifah dan Tahafut at-Tahafut) secara berurutan, saya sempat berkata kepada salah satu kawan bahwa Ibn Rusyd seperti kurang pede dalam mengkritik Al-Ghazali, sehingga kritikan Ibn Rusyd atas kritikan Al-Ghazali tampak tidak lebih meyakinkan daripada kritikan Al-Ghazali atas (beberapa masalah) filsafat. Tentu komentar saya tersebut tidak ilmiah sama sekali, hanya mengandalkan perasaan saja. Di kemudian hari, seiring bertambahnya bacaan, kesimpulan saya soal perdebatan dua filsuf yang mewakili region yang berbeda di atas (Timur dan Barat) tidak jauh berbeda, meskipun dengan alasan yang lebih rasional dan ilmiah.
Di banyak bukunya, Ibn Rusyd sering menyatakan bahwa kritik Al-Ghazali atas filsafat sesungguhnya memakai metode dialektika (mujadalah). Metode ini, dalam logika, adalah pengambilan kesimpulan dari premis yang diterima lawan debat. Sehingga daripada itu kebenaran menjadi tersamarkan dan terbatas pada apa yang diterima dalam perdebatan. Dalam strata intensitas kebenaran, metode dialektika berada di tengah-tengah: paling atas ada hikmah (burhan) dan paling bawah ada petuah (mau’idlah). Metode yang paling unggul, yakni burhani, tidak boleh disebarkan dengan sembarangan ke khalayak ramai, karena tingkatan intelektual mereka belum bisa menerima kebenaran demonstratif. Metode dialektika pun tidak boleh sembarangan disebar, karena rawan mendatangkan keraguan bagi orang awam yang sesungguhnya imannya telah mantap tanpa mengetahui takwil dialektis.
Tetapi sejarah membuktikan bahwa Al-Ghazali dengan ‘Tahafut’-nya lebih diterima di antara khalayak. Sebab-sebabnya, bagi saya, ialah dua hal berikut ini:
- Metode dialektika Al-Ghazali lebih mudah dipahami oleh awam daripada metode demonstratif ala Ibn Rusyd, sehingga meskipun kritikan Al-Ghazali sudah dikritik oleh Ibn Rusyd, orang awam lebih percaya kepada Al-Ghazali.
- Al-Ghazali mewakili penafsiran ideologis umat Islam, sementara Ibn Rusyd mewakili (berulang kali ditegaskan sendiri olehnya) penafsiran filosofis yang benar, yang tidak lain adalah filsafat Aristoteles.
Selain dua alasan di atas, proyek kritik Al-Ghazali dilihat dari asas metodologi perlu disinggung di sini. Benar bahwa dari sisi penggunaan logika, metode Al-Ghazali adalah dialektis. Namun, dalam membangun kritiknya, Al-Ghazali tidak berdiri di atas metode maupun mazhab khusus. Ia akan menggunakan pendapat dan metode apa pun selagi hal itu dapat meruntuhkan klaim-klaim kaum filsuf soal 20 masalah metafisika dan fisika yang diketengahkan dalam Tahafut. Hal ini ditegaskan oleh Al-Ghazali sendiri dalam Prawacana Ketiga Tahafut:
“Mesti diketahui bahwa tujuan kajian ini adalah membuka mata orang-orang yang selama ini begitu yakin dengan pemikiran para filsuf, mengira bahwa jalan yang mereka tempuh terlepas dari inkonsistensi. Kajian ini hendak mengganti pandangan itu dengan mengekspos kerancuan pemikiran para filsuf. Untuk itu, kami masuk ke dalam gelanggang dengan menyerang, bukan mempertahankan keyakinan sendiri. Keyakinan aksiomatik yang dipegang oleh para filsuf telah ditentang oleh elemen-elemen ajaran yang beragam, misalnya dari Muktazilah, Karramiyyah, dan Waqifiyyah. Kami datang bukan atas nama aliran tertentu, namun kami akan menjadikan elemen-elemen tersebut sebagai satu kesatuan.”
Dalam mengkritik para filsuf, Al-Ghazali tidak berpegang pada aliran tertentu (beserta dengan metodenya), melainkan mengambil aliran apa saja yang berada dalam posisi kritis terhadap filsafat. Para filsuf diletakkan oleh Al-Ghazali sebagai ‘musuh bersama’, sehingga lawan pemikiran Al-Ghazali dalam akidah, semisal Muktazilah, dikesampingkan dan pandangan mereka dipakai untuk tujuan menyerang musuh bersama tersebut.
Kita, sebagai pembaca modern, harus menaruh hormat yang luar biasa atas kejujuran intelektual Al-Ghazali di atas. Namun, terlepas dari apakah kita setuju dengan Al-Ghazali atau tidak soal ijtihad dalam mengukuhkan ideologi Islam, masalah absennya pijakan metodologis sungguh merupakan perkara yang serius. Dilihat dari nilainya sebagai karya ideologis, Tahafut sungguh merupakan karya yang luar biasa. Tetapi kecacatan Tahafut sebagai suatu kajian ilmiah yang tidak berpijak pada metodologi tertentu adalah kecatatan yang serius. Tidak banyak yang menyadari kecacatan ini karena basis iman-ideologis kadang menutup mata kita dari melihat kebenaran yang hakiki.
Ibn Rusyd jauh-jauh hari sudah mengkritik kecacatan Al-Ghazali soal metodologi. Kegagalannya dalam mengembalikan ‘marwah’ filsafat barangkali bukan terletak pada internal pandangan filosofisnya, namun melibatkan masalah eksternal, terutama politik. Bani Seljuk yang memimpin umat Islam pada masa itu adalah pembela aliran Sunni. Kritik Al-Ghazali atas kelompok lain kebanyakan didasarkan pada pondasi politis Bani Seljuk. Pun hal itu terjadi kepada Ibn Rusyd. Kalau saja Ibn Rusyd bukan seorang fakih maliki, niscaya ia akan mendapatkan ‘mihnah’ (kemalangan) yang lebih besar daripada yang sementara ini tercatat sejarah.
Dalam konteks Indonesia sendiri, Al-Ghazali diletakkan di atas menara gading, lebih-lebih di dalam dunia pesantren. Mengkritik Al-Ghazali, jika boleh melebih-lebihkan, seolah sama saja mengkritik Islam. Harus saya tegaskan bahwa Al-Ghazali—dengan tetap menghormati sumbangsihnya terhadap Islam—bukanlah tokoh yang tidak bisa dikritik.
Kritik atas Al-Ghazali di masa kontemporer ini datang dari Syekh Ahmad At-Tayyib. Dalam bukunya ‘Al-Janib an-Naqdi fi Falsafah Abi al-Barakat al-Baghdadi’, Syekh menyatakan bahwa lantaran Al-Ghazali tidak berpegang pada mazhab maupun manhaj (metodologi) tertentu dalam mengkritik para filsuf, maka hal itu dapat menciderai nilai kritiknya. Dua alasan perlu disebutkan di sini:
- Kritik yang tidak berpegang pada metodologi tertentu tidak bersifat menyeluruh, hanya menyentuh masalah-masalah tertentu yang diperdebatkan.
- Kritik yang tidak berpegang pada metodologi tertentu tidak berfokus pada satu pijakan yang kokoh dan pasti, maka memakai semua mazhab untuk menghantam suatu pemikiran jelas akan menciderai keilmiahan kritik, karena kita tahu bahwa tidak ada mazhab tertentu kecuali ia memiliki tandingannya.
Dari kritikan Syekh At-Tayyib di atas, terlihat bahwa kritikan yang memiliki pondasi tertentu adalah kritik yang berhasil secara ilmiah. Akan sangat panjang jika saya membahas bagaimana seharusnya kritik metodologis itu. Yang jelas, di tulisan ini, saya ingin menekankan bahwa kritik metodologis tidak banyak dipahami (digemari) oleh orang-orang. Dalam kontestasi sejarah peradaban Islam, kemenangan Al-Ghazali boleh jadi lantaran generasi penerus tidak terbiasa membicarakan metodologi an sich.
Sampai akhirnya datanglah masa modern dan para peneliti yang memiliki akses ke kitab-kitab dari seorang pemikir, semisal Al-Ghazali, bisa membandingkan satu pernyataan dalam satu kitab dengan pernyataan lain di kitab yang lain. Dari sanalah kebingungan kemudian muncul.
Al-Ghazali amat menyita perhatian para peneliti karena inkonsistensinya. Sulaiman Dunya adalah salah seorang pengkaji yang menemukan inkonsistensi tersebut. Saya pernah menulis masalah ini di tulisan-tulisan yang lampau. Untuk kepentingan tema dalam tulisan ini, yang perlu saya garis bawahi adalah pernyataan Al-Ghazali dalam kitab lain soal kritikannya dalam Tahafut. Nilai Tahafut bagi Al-Ghazali terletak pada pembagiannya atas karya-karayanya sendiri. Ada karya yang tidak boleh disebarkan kepada khalayak ramai, dan dengan demikian hanya dikhususkan bagi orang-orang yang kompeten. Ada karya yang boleh dikonsumsi khalayak awam. Karya-karya ilmu kalamnya masuk ke bagian kelompok kedua, di dalamnya termasuk Tahafut. Karya-karya Kalam, bagi Al-Ghazali, sebagaimana yang ditegaskan oleh Sulaiman Dunya, bertujuan untuk melawan dan membantah orang-orang kafir dan para pembuat bid’ah. Al-Ghazali berkata dalam ‘Jawahir al-Qur’an’:
“Tujuan ilmu ini (ilmu kalam—MSA) adalah menjadi akidah masyarakat awam dari gangguan para pembuat bid’ah. Tapi ilmu ini tidak membantu menyingkap hakikat-hakikat. Yang juga termasuk jenis ini adalah kitab ‘Tahafut al-Falasifah’…”
Kesimpulannya, kritik yang tujuannya hanya untuk membuktikan lawannya keliru tidak bisa serta merta menunjukkan ke jalan kebenaran yang sejati. Al-Ghazali menyadari kelemahan Tahafut-nya di kemudian hari, setelah ia konsisten menempuh jalan suluk. Menunjukkan inkonsistensi dalam pemikiran seseorang memang mudah, dan itulah tujuan kritik Al-Ghazali dalam Tahafut. Yang susah justru adalah menemukan kebenaran dari sumber yang kita pelajari, memilah isinya dan memisahkan kebenaran dari kekeliruan. Mempelajari Al-Ghazali hanya dari Tahafutnya adalah kekeliruan yang nyata, pun menyandarkan keutuhan bangunan filsafat Al-Ghazali dari Tahafutnya merupakan ketidak-adilan dalam meneliti.
Mengungkapkan kebenaran tidak selalu harus dengan menyatakan kesalahan atau kekeliruan orang lain. Adagium yang masyhur ini bisa menjadi pedoman: “Ketahuilah kebenaran, maka kamu akan mengetahui mana yang tidak benar.” Ini adalah kebijaksanaan tertinggi, dan Al-Ghazali menyadari hal tersebut di masa akhir hidupnya. Dalam ‘Mizan al-‘Amal’ ia berkata:
“Lemparkanlah mazhab-mazhab, karena tidak satu pun dari mereka yang memiliki mukjizat yang dengannya dapat mengalahkan yang lainnya. Carilah kebenaran dengan jalan penalaran yang lurus, agar kamu menjadi punggawa mazhab dan bukan pentaklid buta. Ambillah kebenaran di mana pun kamu menemukannya dan dalam kondisi apa pun. Carilah kebenaran dengan penalaran yang lurus bukan taklid buta, karena hikmah (kebenaran tertinggi) adalah objek pencarian orang beriman yang dapat ditemukan di mana saja.”
Sumber: Akun Fb M.S Arifin
M.S Arifin. Alumni Universitas Al-Azhar Mesir