Oleh: M.S Arifin
Salah satu sebab dari kemunduran Islam adalah ‘macetnya’ jalan menuju pelahiran ilmu-ilmu baru. Kemacetan tersebut sebenarnya bukan atas dasar bahwa umat Islam kehilangan prasyarat, namun lebih mengarah kepada kehilangan ‘perangkat’. Di abad-abad keemasan, antara abad ke-2 sampai ke-5 H., umat Islam membutuhkan ilmu-ilmu untuk mengawal peradaban. Untuk mengatasi ‘kekeliruan’ dalam memahami teks suci, Ilmu Ushul Fikih lahir dari tangan Asy-Syafi’i. Prasyarat lahirnya ilmu menentukan dalam pelahiran ilmu yang dalam konteks ini adalah ‘fenomena’ ijtihad atas teks-teks keagamaan. Di zaman ini kita tidak kehilangan prasyarat itu dan bahkan jika mau dibandingkan, prasyarat itu justru bersifat akumulatif dan mencapai titik kulminasinya. Tapi kenapa umat Islam ‘seolah’ tidak mampu menjawab tantangan zaman dengan melahirkan ilmu-ilmu baru?
Guru saya, Syekh Ali Jum’ah dalam salah satu kitabnya, menyatakan bahwa ‘termasuk kewajiban kita hari ini (sebagai umat Islam) adalah melahirkan ilmu-ilmu baru’. Perkataan ini bukanlah sebuah ajakan, melainkan sebuah ‘fatwa’ yang bersifat menyeluruh bagi mereka yang mampu. Dalam strata hukum agama, melahirkan ilmu baru bisa disemati sebagai ‘fardhu kifayah’. Kenapa melahirkan ilmu baru menjadi fardhu kifayah? Karena peradaban kita selalu harus dikawal oleh ilmu agar berdiri tegak sesuai dengan tuntunan Islam. Tanpa ilmu-ilmu baru, peradaban kita akan pincang dan berjalan lambat. Fatwa dari guru saya itu saya tafsiri sebagai ajakan untuk berani, dalam bahasa Syekh Ahmad At-Tayyib, merekonstruksi rumah (Islam) tanpa meninggalkan rumah tersebut. Berbeda dari para pemikir liberal yang cenderung meruntuhkan rumah dan membangunnya kembali, rekonstruksi yang dimaksudkan guru saya adalah upaya ‘mengganti’ batu bata yang lapuk dengan batu bata baru yang lebih kokoh.
Demi menuju pelahiran ilmu-ilmu baru di zaman ini kita butuh perangkat. Ibarat seorang programer yang mau membuat sebuah aplikasi baru ia harus menyiapkan perangkat yang mendukung programnya. Dalam konteks ini, perangkat yang dimaksud adalah metode atau metodologi. Maka, sebelum jauh-jauh membicarakan ilmu baru apa yang perlu dilahirkan, kita harus bisa memilah ‘prasyarat’ lahirnya ilmu, yakni problem-problem aktual yang dihadapi umat Islam dewasa ini, sekaligus di waktu yang sama, menciptakan ‘metodologi’ apa yang cocok bagi problem-problem tersebut. Rumusan singkat ini tentunya tak semulus yang dibayangkan, karena kita juga menghadapi ‘sikap jumud’ yang akhir-akhir ini menimpa umat Islam. Maka dari itu, membongkar problem kejumudan lebih masuk akal dibahas daripada jauh-jauh melahirkan ilmu baru—karena ilmu baru tak akan lahir dari sikap jumud.
Kejumudan, bagi saya, bukanlah suatu sikap yang kolot dalam mempertahankan tradisi (turats)—seperti yang diungkapkan oleh para pemikir liberal. Kejumudan lahir karena kelatahan dalam ‘mengambil’ dan ‘mempertahankan’. Bagi saya, untuk membongkar kejumudan, kita harus menempuh jalur ‘via paradoksa’. Artinya umat Islam harus memiliki spirit untuk tetap mempertahankan tradisi (karena inilah ciri khasnya) dan tidak menutup diri dari ‘pemikiran’ di luar tradisi mereka. Hal ini memang mengarah kepada sikap mendua, tetapi sejarah keemasan Islam justru dicapai dengan menempuh jalur ini.
Pertama, dalam urusan pemahaman atas teks, kita tidak usah terlalu silau dengan metode-metode Barat hari ini (hermeneutika, destruksi, dekonstruksi, dst). Imam Syafi’i di abad kedua telah memunculkan suatu ilmu yang komprehensif soal bagaimana ‘seharusnya’ teks suci itu diperlakukan dan dipahami. Saya tidak sedang menyatakan bahwa Asy-Syafi’i benar seratus persen, dan dengan demikian, mengkultuskannya (taqdis). Asy-Syafi’i adalah potret original embrio ilmu Islam yang lahir tanpa intervensi dari ‘perangkat’ asing dari peradaban antah berantah. Asy-Syafi’i memahami betul bahasa yang digunakan oleh teks suci (Arab) beserta dengan karakteristik dasarnya. Dari sebab itu, ia melahirkan konsep ‘Al-Bayan’. Kejumudan umat Islam justru dikarenakan mereka tidak bisa mengembangkan apa yang telah dirintis oleh Asy-Syafi’i. Ilmu Ushul Fikih bukanlah ilmu yang beku dan final. Sebaliknya, Ushul Fikih justru adalah medan keilmuan yang paling relevan untuk ditambal-sulam. Nah, dari sinilah sikap ‘mendua’ harus kita ketengahkan. ‘Teks’ suci telah selesai 1400 tahun yang lalu, tak ada penambahan dan tak ada pengurangan lagi. Teks itu tak akan berubah, yang berubah justru adalah ‘konteks’, dan dari perubahan ‘konteks’ inilah ‘pemahaman’ ikut berkembang. Dalam membaca konteks yang berubah, kita perlu ‘mengambil’ metodologi keilmuan kontemporer, khususnya di bidang humaniora. Dari sinilah guru saya, Syekh Ali Jum’ah, menciptakan ilmu baru yang diberi isim ‘Ilmu Ushul Fikih Peradaban’ sebagai tindak lanjut dari upaya Asy-Syafi’i dengan ‘Ilmu Ushul Fikih Tekstual’.
Jadi, sebagai umat Islam, kita harus memiliki sikap mendua dan paradoksal. Kita harus bisa mempertahankan tradisi dan sekaligus menambal tradisi yang sudah lapuk tersebut. Di sini kita memerlukan pemahaman mendalam soal ‘Ats-Stawabit’ (mana ajaran Islam yang laten)—atau boleh saya katakan sebagai ‘pondasi’, dan soal ‘Al-Mutahawwil/Al-Mutaghayyir (mana ajaran Islam yang bisa berubah)—atau boleh saya katakan sebagai ‘batu bata’. Tanpa pemahaman ini, upaya kita tidak bisa disemati sebagai ‘pembaharuan’ (tajdid/reneval), melainkan ‘peruntuhan’ (tabdid). Dengan demikian, kita harus memandang Islam sebagai agama yang inklusif (terbuka) sekaligus eksklusif (tertutup).
Kedua, era keemasan Islam di semua bidang lahir di masa pre-sekterian (sebelum mazhab) dan out of sekterian (di luar mazhab). Di era pre-sekterian, umat Islam berada di puncak gelora keilmuan dengan inspirasi Islam sebagai dasarnya. Wahyu pertama ‘Bacalah!’ benar-benar menelusup ke relung terdalam mereka sehingga menuntun mereka kepada jalan lahirnya ilmu-ilmu baru. Ilmu Ushul Fikih tak mungkin lahir dari Asy-Syafi’i jika ia terkungkung oleh garis damarkasi sekterian. Memang benar bahwa di masa Asy-Syafi’i sudah muncul berbagai mazhab teologis (dan bahkan mazhab fikih), namun ia tak mau terpaku kepada perdebatan soal ‘status’ Al-Qur’an yang diperdebatkan oleh mazhab-mazhab tersebut; soal apakah Al-Qur’an adalah qadim atau hadits, dst., di mana mempersoalkan hal ini hanyalah membuang-buang tenaga dan waktu. Al-Biruni dan Al-Khawarizmi (dua ilmuan besar Islam) tak mungkin bisa melahirkan ilmu baru jika mereka terpaku pada garis-garis mazhab yang beredar. Mereka meneliti tentang gejala di alam semesta dengan spirit ‘Afala Ta’qilun dan Afala Tatafakkarun’. Mereka tidak terjebak pada perdebatan ‘memikirkan Tuhan’ namun menyibukkan diri memikirkan ciptaan Tuhan. Inilah yang menjadikan peradaban umat Islam maju dan berkembang di masa itu—tentu dengan tidak mengesampingkan berbagai faktor yang lain.
Bahkan di abad-abad kemunduran Islam pun kelahiran Ilmu ternyata berjalan di luar sekterian. Syekh Ahmad At-Tayyib, dalam bukunya ‘Hadits fi al’Ilal wa al-Maqashid’, menyatakan bahwa Imam Asy-Syathibi, sang petintis Ilmu Maqashid asy-Syari’ah, ternyata lepas dari ordo-ordo sekterian demi melahirkan ilmu baru. Maqashid ays-Syari’ah terkait erat dengan ilmu kalam (teologi) dalam hal ‘perbuatan Tuhan’. Yakni apakah ‘tindakan Tuhan’ yang tertuang dalam teks suci sesuai dengan maslahat manusia dalam pengertian yang laten atau tidak. Muktazilah menyatakan bahwa tindakan Tuhan harus (wajib) sesuai dengan maslahat manusia, sementara Asy’ariyah tidak mewajibkannnya. Syekh At-Tayyib menyimpulkan:
“Asy-Syatibi bukanlah seorang Asy’ari dalam pengertian yang sebenarnya, juga bukan seorang Mu’tazilah, juga bukan seorang Zahiri, dan dia tidak mengikuti tradisi para ahli hukum dalam berbicara tentang hikmah (syariat), dia juga bukan satu-satunya yang menemukan pondasi baru yang tidak diketahui oleh orang-orang terdahulu. Meskipun demikian, dia mampu merumuskan sebuah teori ‘Maqashid’, yang tanpanya sebagian besar keindahan dan manfaat syariat akan tetap tersembunyi dan tersamar.”
Singkat kata, dalam proyeksi ‘melahirkan ilmu-ilmu’ baru, umat Islam harus berani keluar dari pakem-pakem sekterianisme yang mayoritas berkutat pada masalah ‘dzanniyyat’ (ajaran yang belum pasti kebenarannya) vis-a-vis ‘qath’iyyat’ (ajaran yang sudah pasti kebenarannya dan disepakati mayoritas umat Islam). Dengan keberanian semacam ini, kita akan melihat begitu luasnya spirit kemajuan yang diinginkan oleh Islam lewat kitab hidayahnya (Al-Qur’an) dan lewat tradisi nubuahnya (hadis). Sebaliknya, tanpa keberanian itu, kita justru akan terus berkutat pada masalah yang ‘itu-itu saja’ seolah-olah agama Islam tidak mengurusi hal ihwal bangunan kehidupan manusia lewat spirit berperadaban.
M.S Arifin. Alumni Universitas Al-Azhar Mesir