Otoritas Keagamaan di Era New Media
tebuireng.online

Otoritas Keagamaan di Era New Media

Otoritas keagamaan merujuk pada personal atau kelompok yang mendapatkan pengakuan masyarakat untuk memberikan pandangan atau keputusan tentang masalah keagamaan. Sedangkan dalam Islam, otoritas keagamaan adalah hak untuk melaksanakan dan memerintahkan aturan yang dianggap sesuai dengan kehendak Allah. Dalam tulisan Marck Gaborieau disampaikan, “religious authority means therefore the right to impose rules which are deemed to be in consonance with the will of God”.

Berdasarkan definisi tersebut maka otoritas kegamaan dalam Islam dipegang oleh ulama secara pribadi atau organisasi yang memiliki kemampuan mengajak dan mengarahkan bertindak selaran dengan nilai-nilai Islam dalam Al-Qur’an dan Hadis.

Secara sederhana otoritas keagamaan dalam Islam dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu otoritas pada ajaran esoterik dan eksoterik. Pada ranah esoterik Islam, otoritas keagamaan dipegang oleh para ulama sufi, mursyid dan imam. Beliau adalah para sufisme yang menyambungkan ilmu dari Rasulullah sampai kepada murid. Sedangkan pada ranah eksoterik Islam, pemegang otoritas keaagamaan adalah para fuqaha, mufti, hakim dan ulama di daerah tertentu. Mereka menjadi panutan kaum muslimin dalam menjalankan syariah Islam melalui fatwa dan pendapat-pendapat fiqih. Selain dua kelompok di atas, otoritas keagamaan juga dipegang oleh para khalifah, sultan, dan raja, dimana mereka memiliki kewengan menentukan kebijakan terkait dengan agama dan berwenang mengangkat hakim-hakim kejaraan.

Di Indonesia otoritas keagamaan tidak berpusat pada satu individu atau lembaga, melainkan menyebar ke berbagai kalangan termasuk MUI, para kyai, Ormas NU, Muhammadiyah, serta Kementerian Agama sebagai lembaga pemerintah.

Sedangkan pengertian new media secara harfiah adalah new berarti baru dan media berarti alat yang digunakan kkomunikator untuk mengirim pesan kepada komunikan. Jadi new media adalah alat baru yang digunakan komunikator untuk menyampaikan pesan kepada komunikan. Kemudian secara istilah new media menurut Rahmanita Ginting, dkk, (2021) adalah media yang menggunakan internet berbasis teknologi online, berkarakter fleksibel, berpotensi interaktif, serta dapat berfungsi secara ptivat atau publik. Jadi new media menggambarkan proses informasi melalui teknologi digital, yakni media yang dikodekan dalam format yang dapat dibaca mesin, yang terhubung dengan internet, menggantikan media tradisional seperti media cetak, televisi dan radio.

Era new media telah menggeser otoritas keagamaan dari otoritas tradisional menuju otoritas impersonal seperti buku berbasis new media, website, blog, media sosial seperti YouTube, TikTok, Facebook, Twitter, Instagram dan lain sebagainya. Dalam era tersebut produk pemikiran muslim semakin kompleks dan dapat menjangkau audiens yang lebih luas seperti hypermarket dimana setiap individu memiliki kebebasan memilih varian produk pemikiran dan fatwa yang dibutuhkan.

Era new media banyak digemari dan disambut antusias oleh generasi milenial dan gen-Z karena menawarkan kemudahan akses, durasi pendek yang tidak menyita waktu dan tidak membosankan, menggunakan potongan teks, video pendek, dan lebih kreatif.

Penggunakan new media menjadi trend positif dalam dakwah Islam sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian Fadly Usman terhadap 200 responden dari beberapa kelompok masyarakat, untuk mengukur efektifitas dakwah Islam melalui media online. Dalam penelitiannya Fadly menjelaskan 90% pengguna smartphone dan 92% pengguna PC (personal computer) mendapatkan informasi terkini melalui media online. Rata-rata penggunaan telepon genggam untuk online lebih dari 18 jam sehari, dan 47% responden sangat sering menggunakan smartphone untuk mencari informasi tentang agama. Bahkan 100% pemilik smartphone memiliki aplikasi yang berhubungan dengan agama, seperti aplikasi pengingat salat, Al-Qur’an terjemah, do’a harian, penunjuk arah kiblat, penghitung zikir, dan lain sebagainya.

Selain itu para pelajar dan mahasiswa memiliki kecenderungan untuk mencari informasi dengan cara berselancar di internet dari pada datang ke perpustakaan.

Implikasi dari era new media adalalah potensi melemahnya simbol-simbol keagamaan konvensional seperti masjid, madrasah, dan pesantren sebagai tempat untuk menimba ilmu dari para ustad, guru, dan kyai. Mirip seperti ideom yang disampaikan Kuntowijoyo dalam bukunya “Muslim tanpa Masjid”.

Dalam arus new media, seharusnya para tokoh, ulama dan organisasi menyadari terjadinya diseminasi sumber pengetahuan yang memungkinkan adanya interpretasi keagamaan yang berjalan sangat cepat, bahkan berasal dari ulama muda yang kapasitas keilmuannya masih diragukan, bukan alumnus pesantren, bukan kyai atau ustad, tidak menguasai turats, namun memiliki latar belakang pendidikan umum dengan kelebihan memiliki akses yang luas terhadap sumber kajian Islam.

Maka sudah tepat para kyai dalam mererspon era new media yaitu dengan cara turut berdakwah menggunakan media digital, semisal Gus Mus yang menggunakan banyak plaform digital, yaitu Facebook dengan nama akun Ahmad Mustofa Bisri (Simbah Kakung) dan GusMus Channel. Twitter dengan nama akun @gusmusgusmu dan @GusmusChannel. Instagram dengan nama akun s.kakung dan GusMus Channel. Dan YouTube dengan nama akun GusMus Channel. Juga telah tepat yang dilakukan oleh NU dengan membuat situs web dan aplikasi mobile NU Online, dan LTN NU Lampung Timur yang membuat website Islamadina.org yang menyajikan konten-konten keislaman yang moderat dan toleran.

Tujuan dari penggunaan new media dari para kyai dan organisasi NU adalah untuk membentengi masyarakat muslim dari kemungkinan munculnya “pemahaman liar” akibat belajar dari sumber-sumber impersonal. Maka di tengah derasnya arus informasi dan varian paham keagamaan yang ditawarkan, seharusnya kaum muslimin membatasi diri dalam mengakses informasi hanya dari pakar dan sumber yang terpercaya kapasitas keilmuannya, dan mencari rujukan fatwa dari lembaga-lembaga yang jelas semisal hasil Bahtsu Masail Nahdlatul Ulama dan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Membatasi akses informasi dalam kondisi sekarang selaras dengan bunyi kaidah fikih ‘idza attasa’a al-amru dlâqa.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *