Oleh: Mun’im Sirry
Dalam buku “Think Outside the Box” saya menyebut “critical thinking” sebagai mantra dalam dunia akademis. Tanpanya kita tak akan mampu menyelam ke dasar samudra pengetahuan yang maha luas. Dalam beberapa status ke depan, saya akan share beberapa pikiran tentang “critical thinking” itu.
“Thinking out of the box” itu sendiri merupakan bagian dari “critical thinking.” Sebab, salah satu implikasi dari “critical thinking” ialah munculnya kreativitas. Kita akan terbiasa melihat masalah tidak secara simplistik, hitam-putih, terjebak ke dalam “either-or fallacy.”
“Critical thinking” akan mendorong kita melihat masalah dari berbagai perspektif, mempertimbangkan berbagai bukti, dan merenungkan beragam argumen. Dengan cara tersebut, kita akan membuat kesimpulan yang masuk akal dan juga well-informed.
Nah, kenapa perlu “critical thinking”? Sebab yang pertama dan utama ialah karena “critical thinking” meerupakan kunci membuka dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Pengetahuan itu buah dari pikiran yang kreatif. Tanpa kreativitas, maka pengetahuan akan mendeg, tidak berkembang.
Di era Google and AI sekarang ini, “critical thinking” justeru lebih diperlukan lagi. Serbuan informasi yang datang kepada kita begitu cepat dan dari berbagai arah. Dari HP kita mendapatkan informasi dan pengetahuan melimpah. Saat ini hampir setiap individu, di tempat terpencil sekalipun, dapat mengakses informasi dan pengetahuan dengan mudah.
Tentu saja semua itu perkembangan bagus. Namun demikian, kemudahan akses informasi yang difasilitasi oleh gadgets juga dapat meninabobokan kita. Ketergantungan pada informasi dari HP, lewat whatsapp, X, Facebook, dan media sosial lainnya, dapat mengurangi kemampuan kita berpikir kritis.
Dari berbagai grup WA yang saya ikuti tampak betapa mudah orang-orang menerima informasi tanpa memverifikasi kebenarannya. Mereka ikut menyebarkan berita hoax, asalkan sesuai keinginan dan pandangannya. Mereka tak perduli apakah berita hoax itu relevan atau tidak dengan grup WA (dalam banyak kesempatan, saya memang memilih keluar!).
Media sosial, seperti grup WA, kerap menydiakan solusi instan, siap-saji. Soal hukum ucapan Natal, misalnya, langsung tersedia pendapat dan daftar ayat atau hadis-nya. Kita tak perlu mengolahnya sendiri. Yang diperlukan dari kita tak lebih dari menerimanya saja. Mereka yang lebih aktif ya ikut menyebarkan (dengan harapan dapat pahala).
Bahkan, jika dihadapkan dengan beberapa pilihan pandangan, yang kita pilih bukan pendapat yang argumennya paling kuat. Melainkan pendapat yang paling viral, paling banyak di-liked. Seringkali pendapat yang viral dan dielu-elukan ialah yang disampaikan oleh ustadz yang banyak followersnya.
Sebagian orang tidak berhenti pada memilih pendapat yang paling viral dari ustadz idolanya. Mereka akan mem-bully orang lain yang punya pandangan berbeda. Kultur semacam ini sangat berbahaya karena berpotensi tidak memberdayakan. Seseorang menjadi pengikut fanatik tanpa “agency”.
Juga, luapan informasi yang disediakan oleh teknologi mutakhir dapat menggiring kita menjadi manusia pemalas. Kita malas mengevaluasi data. Kita malas mencari informasi “tandingan”. Kita malas melakukan riset lanjutan. Pada akhirnya, ya sudah terima saja apa yang sudah tersedia. Konsekwensi selanjutnya ialah “critical thinking” tergantikan oleh ketergantungan pada gadgets.
Poin yang ingin saya sampaikan ialah betapa pentingnya “critical thinking” di era sekarang ini. Melebihi era-era sebelumnya.
Namun, “critical thinking” bisa berperan lebih dari sekadar bersikap kritis terhadap informasi yang sampai kepada kita. Kita perlu “critical thinking” agar dapat mengoreksi bias-bias kita sendiri. Disadari atau tidak, di samping sebagai makhluk reflektif, manusia diselumuti oleh bias-bias personal dan sosial.
Banyak pilihan yang kita ambil bukan karena didasarkan pada hasil pertimbangan dan refleksi yang panjang. Kerapkali kita menjatuhkan pilihan dahulu, baru cari-cari alasan kemudian. Apalagi kalau sudah menyangkut urusan keimanan.
Para sarjana menggunakan beragam istilah untuk mengilustrasikan bias-bias kita itu. Ada yang menggunakan istilah “prakonsepsi”. Ada yang menggunakan istilah “prasangka” (prejudice). Prakonsepsi dan prasangka itu memang melekat dalam diri manusia, karena manusia terkait dan terikat dengan konteks sosio-historisnya.
Nah, “critical thinking” akan mendorong kita supaya menyadari bias dan prakonsepsi kita sendiri. Dengan “critical thinking” kita akan dapat mempersoalkan pandangan dan keyakinan yang kita warisi dan membentuk prakonsepsi dan prasangka tersebut.
Akhir dari semua itu akan tercipta pandangan terbuka (open-mind) untuk terus belajar, termasuk menata-ulang apa yang kita pelajari selama ini. Proses ini biasanya disebut “unlearning.” Yakni, belajar lagi seolah-olah kita tak pernah mengetahui sebelumnya.
Mun’im Sirry. Dosen di Universitas Dotre Dame, Amerika Serikat